Wikibuku
idwikibooks
https://id.wikibooks.org/wiki/Halaman_Utama
MediaWiki 1.44.0-wmf.2
first-letter
Media
Istimewa
Pembicaraan
Pengguna
Pembicaraan Pengguna
Wikibuku
Pembicaraan Wikibuku
Berkas
Pembicaraan Berkas
MediaWiki
Pembicaraan MediaWiki
Templat
Pembicaraan Templat
Bantuan
Pembicaraan Bantuan
Kategori
Pembicaraan Kategori
Resep
Pembicaraan Resep
Wisata
Pembicaraan Wisata
TimedText
TimedText talk
Modul
Pembicaraan Modul
Resep membuat Chai di rumah
0
23918
99895
95785
2024-11-10T05:14:13Z
Ning Gusti
39167
99895
wikitext
text/x-wiki
== Bahan-bahan ==
* 2 cangkir air
* 2 cangkir susu
* 2 sendok teh teh hitam (atau teh Chai khusus)
* 1-2 sendok teh gula (sesuai selera)
* 1 potong jahe, dipotong tipis
* 4-5 biji cengkeh
* 4-5 biji kapulaga hijau
* 1 batang kayu manis
== Langkah-langkah ==
# Haluskan kayu manis, cengkeh, biji pala, dan kapulaga untuk mengeluarkan aroma dan rasa maksimal.
# Panaskan air dalam panci hingga mendidih, lalu masukkan teh hitam ke dalam air mendidih dan biarkan merebus selama 2-3 menit.
# Tambahkan rempah-rempah yang sudah disiapkan ke dalam air teh yang mendidih. Aduk rata dan biarkan mendidih selama beberapa menit.
# Tuangkan susu ke dalam campuran teh dan rempah-rempah lalu tambahkan gula sesuai selera. Aduk rata dan biarkan campuran mendidih.
# Saring Chai untuk memisahkan ampas teh dan rempah-rempah. Kemudian tuangkan Chai ke dalam gelas atau cangkir. Nikmati Chai selagi hangat!
Kamu dapat menyesuaikan takaran rempah-rempah, susu, dan gula sesuai dengan preferensi rasa pribadi kamu. Selamat mencoba membuat Chai di rumah!
3ueay87fbzhuqr7jrtxirsq3x9hklsg
Serba-Serbi Budidaya Ikan Nila
0
24298
99901
99169
2024-11-10T06:10:00Z
Nafisathallah
35868
99901
wikitext
text/x-wiki
[[File:Tilapia fish at Siantar Zoo.jpg|500px|Tilapia fish at Siantar Zoo|center]]
Di Indonesia sendiri, ikan yang memiliki nama ilmiah ''Oreochromis niloticus'' telah menjadi primadona di dalam industri perikanan domestik. Para peternak ikan di Indonesia pada umumnya hanya memiliki tiga opsi untuk memilih ikan apa yang bakal ia budidayakan, kalau bukan lele atau gurame biasanya ya nila. Di dalam buku ini, kita akan membahas semua hal yang anda perlu ketahui dalam memelihara dan apa saja yang perlu dilakukan selama proses budidaya berlangsung!
== Karakteristik ikan nila ==
== Persiapan wadah budidaya ==
== Penyebaran benih ikan ==
== Pengendalian kualitas air ==
Kualitas air yang dimaksud meliputi beberapa aspek seperti kadar oksigen terlarut, tingkat keasaman (Ph), kadar ammonia, salinitas (kadar garam) dan material organik yang mengotori air (keruh).
Tips saat akan menguras air, pastikan ikan tidak dalam keadaan perut penuh dengan kata lain hindari pemberian pangan dekat dengan proses pengurasan. Karena dalam proses pengurasan air, ikan-ikan dapat stres atau panik dan biasanya bergerak lebih cepat pada biasanya karena berkurangnya volume air secara mendadak.
== Pemilihan pakan ==
Pemberian pakan dapat dipengaruhi oleh suhu karena ikan adalah hewan berdarah dingin. Saat cuaca mendung dan temperatur air menurun, ikan cenderung menjadi tidak aktif (tidak banyak bergerak dan makan lebih sedikit) karena metabolismenya yang melambat. Saat-saat seperti inilah sebaiknya kita tidak memberi pakan dengan jumlah normal (seperti pada biasanya), karena nafsu makan ikan yang menurun. Sehingga akan mubazir jika banyak pakan tidak termakan dan hanya berakhir menjadi material organik yang mengendap di dasar kolam, lalu membusuk dan meningkatkan kandungan ammonia dan nitrat di dalam air yang bisa berbahaya bagi ikan.
== Penanganan hama ==
Hama adalah segala macam jenis organisme hidup yang mengganggu aktivitas budidaya hewan atau tumbuhan yang diusahakan oleh manusia. Gangguan yang terjadi dapat berupa kerugian dalam bentuk kematian atau berkurangnya nilai guna hewan atau tumbuhan yang sedang dibudidayakan. Beberapa organisme yang menjadi hama dalam budidaya ikan nila baik itu fase larva, burayak ataupun dewasa antara lain:
=== Kini-kini ===
Kini-kini adalah larvanya capung. Capung adalah serangga yang menghabiskan sebagian masa hidupnya di dalam air dalam bentuk nimfa. Kini-kini adalah predator dalam air yang mampu memangsa anakan ikan nila dan larva ikan nila. Penanganan hama kini-kini dapat dilakukan dengan
== Menangani penyakit ==
== Penyortiran ==
== Pemijahan ==
== Penjualan ==
gl2xoms3ycqb2sr81sdovr8ar6httq2
99905
99901
2024-11-10T06:23:32Z
Nafisathallah
35868
99905
wikitext
text/x-wiki
[[File:Tilapia fish at Siantar Zoo.jpg|500px|Tilapia fish at Siantar Zoo|center]]
Di Indonesia sendiri, ikan yang memiliki nama ilmiah ''Oreochromis niloticus'' telah menjadi primadona di dalam industri perikanan domestik. Para peternak ikan di Indonesia pada umumnya hanya memiliki tiga opsi untuk memilih ikan apa yang bakal ia budidayakan, kalau bukan lele atau gurame biasanya ya nila. Di dalam buku ini, kita akan membahas semua hal yang anda perlu ketahui dalam memelihara dan apa saja yang perlu dilakukan selama proses budidaya berlangsung!
== Karakteristik ikan nila ==
== Persiapan wadah budidaya ==
== Penyebaran benih ikan ==
== Pengendalian kualitas air ==
Kualitas air yang dimaksud meliputi beberapa aspek seperti kadar oksigen terlarut, tingkat keasaman (Ph), kadar ammonia, salinitas (kadar garam) dan material organik yang mengotori air (keruh).
Tips saat akan menguras air, pastikan ikan tidak dalam keadaan perut penuh dengan kata lain hindari pemberian pangan dekat dengan proses pengurasan. Karena dalam proses pengurasan air, ikan-ikan dapat stres atau panik dan biasanya bergerak lebih cepat pada biasanya karena berkurangnya volume air secara mendadak.
== Pemilihan pakan ==
Pemberian pakan dapat dipengaruhi oleh suhu karena ikan adalah hewan berdarah dingin. Saat cuaca mendung dan temperatur air menurun, ikan cenderung menjadi tidak aktif (tidak banyak bergerak dan makan lebih sedikit) karena metabolismenya yang melambat. Saat-saat seperti inilah sebaiknya kita tidak memberi pakan dengan jumlah normal (seperti pada biasanya), karena nafsu makan ikan yang menurun. Sehingga akan mubazir jika banyak pakan tidak termakan dan hanya berakhir menjadi material organik yang mengendap di dasar kolam, lalu membusuk dan meningkatkan kandungan ammonia dan nitrat di dalam air yang bisa berbahaya bagi ikan.
== Penanganan hama ==
Hama adalah segala macam jenis organisme hidup yang mengganggu aktivitas budidaya hewan atau tumbuhan yang diusahakan oleh manusia. Gangguan yang terjadi dapat berupa kerugian dalam bentuk kematian atau berkurangnya nilai guna hewan atau tumbuhan yang sedang dibudidayakan. Beberapa organisme yang menjadi hama dalam budidaya ikan nila baik itu fase larva, burayak ataupun dewasa antara lain:
=== Kini-kini ===
Kini-kini adalah larvanya capung. Capung adalah serangga yang menghabiskan sebagian masa hidupnya di dalam air dalam bentuk nimfa. Kini-kini adalah predator dalam air yang mampu memangsa anakan ikan nila dan larva ikan nila. Penanganan hama kini-kini dapat dilakukan dengan
=== Ular kadut ===
=== Ikan gabus ===
=== Biawak ===
== Menangani penyakit ==
== Penyortiran ==
== Pemijahan ==
== Penjualan ==
evw27ny3wrk1eh0hpayhg84s0dh9xje
Sejarah Filipina/Bab 5
0
24548
99893
99892
2024-11-09T14:29:29Z
Glorious Engine
9499
99893
wikitext
text/x-wiki
<center>'''Bab V'''</center>
<center>'''Masyarakat Filipina Sebelum Kedatangan Spanyol'''</center>
Posisi Suku-suku.—Kala kedatangan Spanyol, masyarakat Filipina nampak tersebar menurut suku-suku sebagaimana kebiasaan yang sama pada saat ini. Kemudian, seperti sekarang, Bisaya menduduki pulau-pulau tengah dari kepulauan tersebut dan beberapa pulau di pantai utara Mindanao. Bicol, Tagálog, dan Pampango berada pada bagian yang sama di Luzon sebagaimana kami temukan mereka pada saat ini. Ilocano menduduki dataran pesisir menghadap Laut Tiongkok, namun sejak kedatangan Spanyol, mereka menyebar dan pemukiman mereka kini tersebar di Pangasinan, Nueva Vizcaya, dan lembah Cagayan.
Jumlah Orang.—Suku-suku tersebut yang pada saat ini berjumlah sekitar 7.000.000 jiwa, pada masa penemuan Magellan, mungkin, tak lebih dari 500.000. Penjumlahan populasi pertama dibuang oleh Spanyol pada 1591, dan meliputi seluruh suku tersebut, memberikan angka kurang dari 700.000. (Lihat Bab VIII., Filipina Tiga Ratus Tahun Lalu.)
Terdapat juga beberapa fakta yang ditunjukkan pada kami bagaimana persebaran penduduk terjadi. Ekspedisi Spanyol mendapati banayk pesisir dan pulau di kelompok Bisayan tanpa penduduk. Terkadang, kapal layar atau perahu akan nampak, dan kemudian akan lenyap di beberapa “estero” kecil atau rawa bakau dan tanah nampak tak berpenduduk seperti sebelumnya. Pada titik tertentu, seperti Limasaua, Butúan, dan Bohol, penduduk asli berjumlah lebih banyak, dan Cebu merupakan komunitas yang besar dan beragam; namun Spantol nyaris menemukannya dimana-aman untuk mencari tempat pemukiman dan lahan penanaman.
Persebaran penduduk juga ditnadai oleh kelimpahan pangan yang besar. Spanyol memiliki banyak kesulitan dalam mengamankan tujuan-tujuannya. Sejumlah kecil beras, seekor babi dan beberapa ayam, didapatkan disini dan disana, namun Filipina tak memiliki suplai yang besar. Usai pemukiman Manila dibuat, sebagian besar pangan kota didatangkan dari Tiongkok. Sangat mudah bagi Spanyol bergerak ke tempat mereka hendaki dan mengurangi masyarakat Filipina untuk setia menunjukkan bahwa orang Filipina berjumlah sedikit. Laguna dan Camarines nampaknya merupakan wilayah paling berpenduduk di kepulauan tersebut. Seluruh hal dan lainnya menunjukkan bahwa masyarakat Filipina hanyalah fraksi kecil dari jumlah mereka saat ini.
Di sisi lain, Negrito nampak berjumlah lebih banyak, atau setidaknya lebih banyak bukti. Mereka secara langsung tercatat pada pulau Negros, tempat kami saat ini mendapati sedikit orang dan memasuki pelosok; dan di sekitaran Manila dan di dalam Batangas, tempat mereka tak lagi ditemukan, wilaayh tersebut diisi dengan masyarakat Tagálog.
Kondisi Budaya.—Budaya dari berbagai suku, yang kini nyaris sama di seluruh kepulauan, menunjukkan beberapa perbedaan. Di Bisaya selatan, tempat Spanyol pertama kali memasuki kepulauan tersebut, nampak ada dua jenis penduduk asli: penghuni bukit, yang tinggal di pelosok kepulauan dalam jumlah sedikit, yang mengenakan rajutan dari pelepah pohon dan yang terkadang membangun rumah mereka di pohon; dan penghuni laut, yang nampak berjumlah lebih banyak seperti suku-suku Moro saat ini di selatan Mindanao, yang dikenal sebagai Sámal, dan yang membangun desa-desa mereka di laut atau pesisir dan banyak tinggal di perahu. Terdapat kemungkinan kedatangan berikutnya pada orang-orang hutan. Dari kedua unsur tersebut, masyarakat Bisaya Filipina turun, namun walau orang pesisir sepenuhnya meninggalkan, beberapa pinggiran bukit masih menganut pagan dan belum berabad, dan harusnya mereka berjumlah lebih banyak kala Spanyol pertama kali datang.
Tingkat budaya tertinggi di pemukiman berada pada perdagangan reguler dengan Kalimantan, Siam dan Tiongkok, dan khususnya sekitaran Manila, tempat banyak Muslim Melayu memiliki koloni-koloni.
Rumpun Bahasa Orang Melayu.—Dengan pengecualian Negrito, seluruh rumpun bahasa Filipina masih satu keluarga besar, yang disebut “Melayu-Polinesia.” Semuanya diyakini berasal dari satu bahasa ibu yang sangat kuno. Ini menunjukkan bagaimana penuturan Melayu-Polinesia tersebut tersebar. Di wilaayh paling jauh di Pasifik, terdapat masyarakat Polinesia, yang kala itu berkelompok pada kepulaaun kecil; yang dikenal sebagai Mikronesia; kemudian Melanesia atau Ppaua; Melayu sepanjang kepulauan Hindia Timur, dan utara rumpun bahasa Filipina. Namun ini bukanlah semuanya; untuk wilayah paling barat di pesisir Afrika adalah pualu Madagaskar, banyak peribahasa dari rumpun bahasa disana yang tak memiliki hubungan dengan Afrika namun masuk pada keluarga Melayu-Polinesia.
Bahasa Tagálog.—Ini harus menjadi persoalan peminatan besar pada Filipina yang peneliti besar Baron William von Humboldt menganggap Tagálog merupakan bahasa terkaya dan paling sempurna dari seluruh bahasa dari keluarga Melayu-Polinesia, dan mungkin jenis dari mereka semua. “Bahasa tersebut menghimpun,” ujarnya, “seluruh bentuk yang secara kolektif berasal dari kata-kata tertentu yang ditemukan secara tunggal dalam dialek lainnya; dan menyajikan mereka semua dengan pengecualian tak terpatahkan, dan sepenuhnya selaras dan simetri.” Para frater Spanyol, kala kedatangan mereka di Filipina, sempat mencurahkan diri mereka untuk mempalajarid ialek asli dan persiapan doa dan katekisme dalam bahasa asli tersebut. Mereka sangat sukses dalam pembelajaran mereka. Padri Chirino berujar pada kami tentang seorang Yesuit yang mempelajari Tagálog dalam tujuh puluh hari untuk berkotbah dan mendengarkan pengampunan dosa. Dalam cara ini, Bisayan, Tagálog, dan Ilocano kemudian dinaungi.
Dalam menyoroti wacana Von Humboldt, ini dinunjukkan bahwa orang-orang Spanyol awal mengucapkan Tagálog dengan sangat sulit dan sangat mengagumkan. “Dari semua itu,” ujar Padre Chirino, “bahasa yang sangat menarik perhatianku dan mengisiku dengan kekaguman adalah Tagálog. Karena, kala ia ditunjuk menjadi uskup agung pertama, dan setelah itu orang serius lainnya, baik disana maupun disini, aku mendapati empat kualitas dari empat bahasa terbaik di dunia: Ibrani, Yunani, Latin, dan Spanyol; dari Ibrani, misteri dan berintang; dari Yunani, artikel-artikel dan prosisisinya tak hanya terapan namun juga pengucapan sebenarnya; dari latin, kekayaan dan elegan, dan dari Spanyol; berlaku baik, jujur dan berani.”
Hubungan Awal dengan Hindu.—Rumpun bahasa Melayu juga berisi sejumlah besar kata yang dipinjam dari Sanskerta, dan di dalamnya meliputi Tagálog, Bisayan, dan Ilocano. Apapun kata yang berlalu selaras dari satu kelompok Melayu ke kelompok lainnya, atau apa yang mereka perkenalkan lewat keberadaan dan kekuatan sebenarnya Hindu di kepulauan tersebut, berlandasan adil untuk perdebatan; namun kasus untuk posisi tersebut berjalan baik dan sempurna oleh Dr. Pardo de Tavera bahwa kesimpulannya disampaikan dalam kata-katanya sendiri. “Kata-kata yang dipinjam Tagálog,” ujarnya, “adalah kata-kata yang menunjukkan tindakan intelektual, pembentukan moral, emosi, penaungan, nama desa, planet, bilangan jumlah tinggi, botani, perang dan hasil dan dampaknya, dan pada akhirnya gelar dan martabat, beberapa hewan, alat industri, dan nama-nama uang.”
Dari bukti karya-karya tersebut, Dr. Pardo berpendapat bahwa pada suatu waktu dalam sejaraha wal Filipina, yang sebetulnya bukanlah hubungan perdagangan, seperti Tionghoa, namun dominasi politik dan sosial Hindu. “Aku tak yakin,” ujarnya, “dan aku melandasi opininya pada kata-kata ayng sama bahwa aku membawa serta dalam pengucapan tersebut, bahwa Hindu singkatnya adalah pedagang, namun mereka mendominasi bagian berbeda dari kepulauan tersebut, tempat saaat ini menuturkan banyak bahasa berbudaya,—Tagálo, Visayan, Pampanga, dan Ilocano; dan bahwa budaya yang lebih tinggi dari rumpun bahasa tersebut secara pasti datang dari pengaruh ras Hindu pada Filipina.”
Hindu di Filipina.—“Tak mungkin untuk meyakini bahwa Hindu, jika mereka datang hanya sebagai pedagang, namun jumlah mereka besar, akan menekan diri mereka sendiri dalam cara semacam itu untuk memberikan jumlah kepada penduduk pulau tersebut dan jenis kata yang mereka berikan. Nama-nama hadirin, cacique, fungsioner tinggi istana, bangsawati, menandakan bahwa seluruh jabatan tinggi dengan nama-nama asal Sanskerta pada suatu saat diduduki oleh orang yang menuturkan bahasa tersebut. Kata-kata bercikal bakal serupa untuk obyek-obyek perang, benteng dan lagu tempur, untuk obyek-obyek rancangan kepercayaan agama, untuk penaungan, emosi, perasaan, kegiatan industrial dan perkebunan, menunjukkan kami dengan jelas bahwa perang, agama, sastra, industri dan pertanian pada suatu waktu berada di tangan Hindu, dan bahwa ras tersebut secara efektif menjadi dominan di Filipina.”
Sistem Penulisan di kalangan Filipina.—Kala Spanyol datang ke Filipina, masyarakat Filipina memakai sitem penulisan yang dipinjam dari sumber-sumber Hindu atau Jawa. Persoalan tersebut sangat penting bahwa tak ada orang yang dapat melakukan hal yang lebih baik ketimbang yang dikutip sepenuhnya pada catatan Padre Chirino, karena ia merupakan penulsi Spanyol pertama yang menyebutkannya dan catatannya sangat lengkap.
“Sehingga memberikan para penduduk pulau tersebut untuk membaca dan menulis sangatlah uslit selaku manusia, dan lebih kurang seorang wanita, yang tak membaca dan menulis huruf yang selaras dengan pulau Manila, sangat berbeda dari Tiongkok, Jepang, dan india, karena akan nampak dari abjad berikut.
Namun dengan semuanya, dan tanpa banyak perombakan, mereka membuat diri mereka sendiri mengerti, dan mereka sendiri memahami secara menakjubkan. Dan pembaca mensuplai, dengan keterampilan dan kemudahan besar, konsonan yang kurang. Kami mempelajari dari mereka unruk menulis baris dari tanagn kiri ke kanan, namun dulunya mereka hanya menulsi dari atas ke bawah, menempatkan baris pertama (jika aku ingat dengan benar) di sisi kiri, dan melanjutkannya dengan lainnya di kanan, berbeda dengan Tionghoa dan Jepang.... Mereka menulis pada batang atau daun kelapa, memakai pena ujung besi. Kini dalam penulisan tak hanya milik mereka sendiri namun juga huruf mereka, mereka memakai bulu yang dipotong dengan sangat baik, dan keras seperti milik kami sendiri.
Kami memahami bahasa dan pengucapan mereka, dan mereka mampu menulis dengan baik, dan bahkan lebih baik; karena mereka sangat menerangi bahwa mereka memahami segala hal dengan kemudahan terbesar. Aku membawa denganku tulisan tangan dengan penulisan yang sangat baik dan benar. Di Tigbauan, aku memiliki sekolah anak yang sangat kecil, yang dalam waktu tiga bulan memahami, dengan salinan dari tulisan yang ditulis dengan baik yang aku rancang oadanya, untuk menulis lebih baik ketimbang aku, dan mentranskripsikan untukku tulisan-tulisan penting yang sangat terpercaya, tanpa kesalahan atau kekeliruan. Namun kebutuhan bahasa dan tata tulis; kini menggerakkan kami kembali ke perkajaan kami dengan jiwa manusia.”
Sumber Sanskerta dari Abjad Filipina.—Disamping Tagálog, Bisaya, Pampango, Pangasinan, dan Ilocano memiliki abjad, atau lebih tepatnya silabus yang mirip dengannya. Dr. Pardo de Tavera mengumpulkan banyak data terkait mereka, dan menunjukkan bahwa mereka tanpa ragu diraih oleh Filipina dari sumber Sanskerta.
Penulisan Filipina Awal.—Masyarakat Filipina memakai penulisan tersebut untuk merancang syair dan lagu mereka, yang merupakan satu-satunya sastra mereka. Namun, tak ada darinya yang didapati datang dari mereka, dan Filipina kemudian mengadopsi abjad Spanyol, menulis silabus yang dibutuhkan untuk menulis bahasa mereka dari huruf-huruf tersebut. Sebagaimana seluruh nilai-nilai fonetik, ini masih sangat mudah bagi seorang Filipina untuk belajar berucap dan membaca dengan bahasanya sendiri. Karakter-karakter lama digantungkan selama dua abad, di tempat-tempat tertentu. Padre Totanes berujar pada kami bahwa jarang pada 1705 untuk mendapati orang yang dapat menggunakannya; namun Tagbanua, sebuah suku pagan di pulau Paragua, memakai silabus serupa sampai saat ini. Disamping syair, mereka memiliki lagu yang mereka nyanyikan kala mereka mengayuh perahu mereka, kala mereka menumbuk beras dari sekamnya, dan kala mereka berkumpul untuk berpesta atau hiburan; dan secara khusus terdapat lagu-lagu untuk orang mati. Dalam lagu-lagu tersebut, ujar Chirino, mereka mendendangkan perbuatan leluhur mereka atau dewa mereka.
Tionghoa di Filipina.—Perdagangan Awal.—Hal yang sangat berbeda dari Hindu adalah pengaruh awal Tionghoa. Tak ada bukti bahwa, sebelum penaklukan Spanyol, Tionghoa menetap atau mengkolonisasikan kepulauan tersebut secara keseluruhan; dan bahkan tiga ratus tahun sebelum kedatangan Magellan, armada dagang mereka giat datang kesini dan beberapa pulau juga mengenal mereka. Satu bukti perdagangan prasejarah berada pada guci dan tembikar Tionghoa kuno yang diangkat di sekitaran Manila, namun tulisan Tionghoa mereka sendiri menghiasnya bahkan dengan sangat baik. Sekitar permulaan abad ketiga belas, walau tak lebih awal ketimbang 1205, seorang penulis Tionghoa bernama Chao Ju-kua menulis karya tentang perdaagngan maritim orang Tionghoa. Satu bab dari karyanya ditujukan untuk Filipina. yang ia sebut negara Mayi. Menurut catatan tersebut, ini menandakan bahwa Tionghoa familiar dengan pulau-pulau di kepulauan tersebut pada tujuh ratus tahun silam.
Tionghoa, Deskripsi Masyarakat.—“Negara Mayi,” ujar karya klasik tersebut, “berada di utara Poni (Burney, atau Kalimantan). Sekitar seribu keluarga mendiami tepi gelombang yang sangat berangin. Penduduk asli mengenakan diri mereka dengan lapisan kain yang mengingatkan pada lembar kasur, atau menutup tubuh mereka dengan sarong. (sarong berwarna abu-abu, rajutan khas Melayu.) Di sekitaran hutan luar, terdapat gambar-gambar Buddha tembaga, namun tak ada orang yang mengetahui bagaimana benda tersebut berada disana.
“When the merchant (Chinese) ships arrive at this port they anchor in front of an open place ... which serves as a market, where they trade in the produce of the country. When a ship enters this port, the captain makes presents of white umbrellas (to the mandarins). The merchants are obliged to pay this tribute in order to obtain the good will of these lords.” The products of the country are stated to be yellow wax, cotton, pearls, shells, betel nuts, and yuta cloth, which was perhaps one of the several cloths still woven of abacá, or piña. The articles imported by the Chinese were “porcelain, trade gold, objects of lead, glass beads of all colors, iron cooking-pans, and iron needles.”
The Negritos.—Very curious is the accurate mention in this Chinese writing, of the Negritos, the first of all [99]accounts to be made of the little blacks. “In the interior of the valleys lives a race called Hai-tan (Acta). They are, of low stature, have round eyes of a yellow color, curly hair, and their teeth are easily seen between their lips. (That is, probably, not darkened by betel-chewing or artificial stains.) They build their nests in the treetops and in each nest lives a family, which only consists of from three to five persons. They travel about in the densest thickets of the forests, and, without being seen themselves, shoot their arrows at the passers-by; for this reason they are much feared. If the trader (Chinese) throws them a small porcelain bowl, they will stoop down to catch it and then run away with it, shouting joyfully.”
Increase in Chinese Trade.—These junks also visited the more central islands, but here traffic was conducted on the ships, the Chinese on arrival announcing themselves by beating gongs and the Filipinos coming out to them in their light boats. Among other things here offered by the natives for trade are mentioned “strange cloth,” perhaps cinamay or jusi, and fine mats.
This Chinese trade continued probably quite steadily until the arrival of the Spaniards. Then it received an enormous increase through the demand for Chinese food-products and wares made by the Spaniards, and because of the value of the Mexican silver which the Spaniards offered in exchange.
Trade with the Moro Malays of the South.—The spread of Mohammedanism and especially the foundation of the colony of Borneo brought the Philippines into important commercial relations with the Malays of the south. Previous to the arrival of the Spaniards these relations seem to have been friendly and peaceful. The Mohammedan [100]Malays sent their praos northward for purposes of trade, and they were also settling in the north Philippines as they had in Mindanao.
When Legaspi’s fleet, soon after its arrival, lay near the island of Bohol, the “Maestro de Campo” had a hard fight with a Moro vessel which had come up for trade, and took six prisoners. One of them, whom they call the “pilot,” was closely interrogated by the Adelantado and some interesting information obtained, which is recorded by Padre San Augustin.9 Legaspi had a Malay slave interpreter with him and San Augustin says that Padre Urdaneta “knew well the Malayan language.” The pilot said that “those of Borneo brought for trade with the Filipinos, copper and tin, which was brought to Borneo from China, porcelain, dishes, and bells made in their fashion, very different from those that the Christians use, and benzoin, and colored blankets from India, and cooking-pans made in China, and that they also brought iron lances very well tempered, and knives and other articles of barter, and that in exchange for them they took away from the islands gold, slaves, wax, and a kind of small seashell which they call ‘sijueyes,’ and which passes for money in the kingdom of Siam and other places; and also they carry off some white cloths, of which there is a great quantity in the islands.”
Butúan, on the north coast of Mindanao, seems to have been quite a trading-place resorted to by vessels from all quarters. This country, like many other parts of the Philippines, has produced from time immemorial small quantities of gold, and all the early voyagers speak of the gold earrings and ornaments of the natives. Butúan also produced sugarcane and was a trading-port for [101]slaves. This unfortunate traffic in human life seems to have been not unusual, and was doubtless stimulated by the commerce with Borneo. Junks from Siam trading with Cebu were also encountered by the Spaniards.
Moro Brass Cannon, or “Lantaka.”
Result of this Intercourse and Commerce.—This intercourse and traffic had acquainted the Filipinos with many of the accessories of civilized life long before the arrival of the Spaniards. Their chiefs and datos dressed in silks, and maintained some splendor of surroundings; nearly the whole population of the tribes of the coast wrote and communicated by means of a syllabary; vessels from Luzon traded as far south as Mindanao and Borneo, although the products of Asia proper came through the fleets of foreigners; and perhaps what indicates more clearly than anything else the advance the Filipinos were making through their communication with outside people is their use of firearms. Of this point there is no question. Everywhere in the vicinity of Manila, on Lubang, in Pampanga, at Cainta and Laguna de Bay, the Spaniards encountered forts mounting small cannon, or “lantakas.”10 The Filipinos seem to have understood, moreover, [102]the arts of casting cannon and of making powder. The first gun-factory established by the Spaniards was in charge of a Filipino from Pampanga.
Early Political and Social Life.—The Barangay.—The weakest side of the culture of the early Filipinos was their political and social organization, and they were weak here in precisely the same way that the now uncivilized peoples of northern Luzon are still weak. Their state did not embrace the whole tribe or nation; it included simply the community. Outside of the settlers in one immediate vicinity, all others were enemies or at most foreigners. There were in the Philippines no large states, nor even great rajas and sultans such as were found in the Malay Archipelago, but instead on every island were a multitude of small communities, each independent of the other and frequently waging war.
The unit of their political order was a little cluster of houses from thirty to one hundred families, called a “barangay,” and which still exists in the Philippines as the “barrio.” At the head of each barangay was a chief known as the “dato,” a word no longer used in the northern Philippines, though it persists among the Moros of Mindanao. The powers of these datos within their small areas appear to have been great, and they were treated with utmost respect by the people.
The barangays were grouped together in tiny federations including about as much territory as the present towns, whose affairs were conducted by the chiefs or datos, although sometimes they seem to have all been in obedience to a single chief, known in some places as the “hari,” at other times by the Hindu word “raja,” or the Mohammedan term “sultan.” Sometimes the power of one of these rajas seems to have extended over the [103]whole of a small island, but usually their “kingdoms” embraced only a few miles.
Changes Made by the Spaniards.—The Spaniards, in enforcing their authority through the islands, took away the real power from the datos, grouping the barangays into towns, or “pueblos,” but making the datos “cabezas de barrio,” or “gobernadorcillos.” Something of the old distinction between the dato, or “principal,” and the common man may be still represented in the “gente illustrada,” or the more wealthy, educated, and influential class found in each town, and the “gente baja,” or the poor and uneducated.
Classes of Filipinos under the Datos.—Beneath the datos, according to Chirino and Morga, there were three classes of Filipinos; the free persons, or “maharlica,” who paid no tribute to the dato, but who accompanied him to war, rowed his boat when he went on a journey, and attended him in his house. This class is called by Morga “timauas.”11
Then there was a very large class, who appear to have been freedmen or liberated slaves, who had acquired their own homes and lived with their families, but who owed to dato or maharlica heavy debts of service; to sow and harvest in his ricefields, to tend his fish-traps, to row his canoe, to build his house, to attend him when he had guests, and to perform any other duties that the chief might command. These semi-free were called “aliping namamahay,” and their condition of bondage descended to their children.
Beneath these existed a class of slaves. These were the “siguiguiliris,” and they were numerous. Their slavery [104]arose in several ways. Some were those who as children had been captured in war and their lives spared. Some became slaves by selling their freedom in times of hunger. But most of them became slaves through debt, which descended from father to son. The sum of five or six pesos was enough in some cases to deprive a man of his freedom.
These slaves were absolutely owned by their lord, who could theoretically sell them like cattle; but, in spite of its bad possibilities, this Filipino slavery was ordinarily not of a cruel or distressing nature. The slaves frequently associated on kindly relations with their masters and were not overworked. This form of slavery still persists in the Philippines among the Moros of Mindanao and Jolo. Children of slaves inherited their parents’ slavery. If one parent was free and the other slave, the first, third, and fifth children were free and the second, fourth, and sixth slaves. This whole matter of inheritance of slavery was curiously worked out in minute details.
Life in the Barangay.—Community feeling was very strong within the barangay. A man could not leave his own barangay for life in another without the consent of the community and the payment of money. If a man of one barrio married a woman of another, their children were divided between the two barangays. The barangay was responsible for the good conduct of its members, and if one of them suffered an injury from a man outside, the whole barangay had to be appeased. Disputes and wrongs between members of the same barangay were referred to a number of old men, who decided the matter in accordance with the customs of the tribe, which were handed down by tradition.12[105]
The Religion of the Filipinos.—The Filipinos on the arrival of the Spaniards were fetish-worshipers, but they had one spirit whom they believed was the greatest of all and the creator or maker of things. The Tagálog called this deity Bathala,13 the Bisaya, Laon, and the Ilocano, Kabunian. They also worshiped the spirits of their ancestors, which were represented by small images called “anitos.” Fetishes, which are any objects believed to possess miraculous power, were common among the people, and idols or images were worshiped. Pigafetta describes some idols which he saw in Cebu, and Chirino tells us that, within the memory of Filipinos whom he knew, they had idols of stone, wood, bone, or the tooth of a crocodile, and that there were some of gold.
They also reverenced animals and birds, especially the crocodile, the raven, and a mythical bird of blue or yellow color, which was called by the name of their deity Bathala.14 They had no temples or public places of worship, but each one had his anitos in his own house and performed his sacrifices and acts of worship there. As sacrifices they killed pigs or chickens, and made such occasions times of feasting, song, and drunkenness. The life of the [106]Filipino was undoubtedly filled with superstitious fears and imaginings.
The Mohammedan Malays.—The Mohammedans outside of southern Mindanao and Jolo, had settled in the vicinity of Manila Bay and on Mindoro, Lubang, and adjacent coasts of Luzon. The spread of Mohammedanism was stopped by the Spaniards, although it is narrated that for a long time many of those living on the shores of Manila Bay refused to eat pork, which is forbidden by the Koran, and practiced the rite of circumcision. As late as 1583, Bishop Salazar, in writing to the king of affairs in the Philippines, says the Moros had preached the law of Mohammed to great numbers in these islands and by this preaching many of the Gentiles had become Mohammedans; and further he adds, “Those who have received this foul law guard it with much persistence and there is great difficulty in making them abandon it; and with cause too, for the reasons they give, to our shame and confusion, are that they were better treated by the preachers of Mohammed than they have been by the preachers of Christ.”15
Material Progress of the Filipinos.—The material surroundings of the Filipino before the arrival of the Spaniards were in nearly every way quite as they are to-day. The “center of population” of each town to-day, with its great church, tribunal, stores and houses of stone and wood, is certainly in marked contrast; but the appearance of a barrio a little distance from the center is to-day probably much as it was then. Then, as now, the bulk of the people lived in humble houses of bamboo [107]and nipa raised on piles above the dampness of the soil; then, as now, the food was largely rice and the excellent fish which abound in river and sea. There were on the water the same familiar bancas and fish corrals, and on land the rice fields and cocoanut groves. The Filipinos had then most of the present domesticated animals,—dogs, cats, goats, chickens, and pigs,—and perhaps in Luzon the domesticated buffalo, although this animal was widely introduced into the Philippines from China after the Spanish conquest. Horses came with the Spaniards and their numbers were increased by the bringing in of Chinese mares, whose importation is frequently mentioned.
The Spaniards introduced also the cultivation of tobacco, coffee, and cacao, and perhaps also the native corn of America, the maize, although Pigafetta says they found it already growing in the Bisayas.
The Filipino has been affected by these centuries of Spanish sovereignty far less on his material side than he has on his spiritual, and it is mainly in the deepening and elevating of his emotional and mental life and not in the bettering of his material condition that advance has been made.
beimtrj29zzdvx9gnygv0mwtr7tksbv
99894
99893
2024-11-10T01:49:38Z
Glorious Engine
9499
99894
wikitext
text/x-wiki
<center>'''Bab V'''</center>
<center>'''Masyarakat Filipina Sebelum Kedatangan Spanyol'''</center>
Posisi Suku-suku.—Kala kedatangan Spanyol, masyarakat Filipina nampak tersebar menurut suku-suku sebagaimana kebiasaan yang sama pada saat ini. Kemudian, seperti sekarang, Bisaya menduduki pulau-pulau tengah dari kepulauan tersebut dan beberapa pulau di pantai utara Mindanao. Bicol, Tagálog, dan Pampango berada pada bagian yang sama di Luzon sebagaimana kami temukan mereka pada saat ini. Ilocano menduduki dataran pesisir menghadap Laut Tiongkok, namun sejak kedatangan Spanyol, mereka menyebar dan pemukiman mereka kini tersebar di Pangasinan, Nueva Vizcaya, dan lembah Cagayan.
Jumlah Orang.—Suku-suku tersebut yang pada saat ini berjumlah sekitar 7.000.000 jiwa, pada masa penemuan Magellan, mungkin, tak lebih dari 500.000. Penjumlahan populasi pertama dibuang oleh Spanyol pada 1591, dan meliputi seluruh suku tersebut, memberikan angka kurang dari 700.000. (Lihat Bab VIII., Filipina Tiga Ratus Tahun Lalu.)
Terdapat juga beberapa fakta yang ditunjukkan pada kami bagaimana persebaran penduduk terjadi. Ekspedisi Spanyol mendapati banayk pesisir dan pulau di kelompok Bisayan tanpa penduduk. Terkadang, kapal layar atau perahu akan nampak, dan kemudian akan lenyap di beberapa “estero” kecil atau rawa bakau dan tanah nampak tak berpenduduk seperti sebelumnya. Pada titik tertentu, seperti Limasaua, Butúan, dan Bohol, penduduk asli berjumlah lebih banyak, dan Cebu merupakan komunitas yang besar dan beragam; namun Spantol nyaris menemukannya dimana-aman untuk mencari tempat pemukiman dan lahan penanaman.
Persebaran penduduk juga ditnadai oleh kelimpahan pangan yang besar. Spanyol memiliki banyak kesulitan dalam mengamankan tujuan-tujuannya. Sejumlah kecil beras, seekor babi dan beberapa ayam, didapatkan disini dan disana, namun Filipina tak memiliki suplai yang besar. Usai pemukiman Manila dibuat, sebagian besar pangan kota didatangkan dari Tiongkok. Sangat mudah bagi Spanyol bergerak ke tempat mereka hendaki dan mengurangi masyarakat Filipina untuk setia menunjukkan bahwa orang Filipina berjumlah sedikit. Laguna dan Camarines nampaknya merupakan wilayah paling berpenduduk di kepulauan tersebut. Seluruh hal dan lainnya menunjukkan bahwa masyarakat Filipina hanyalah fraksi kecil dari jumlah mereka saat ini.
Di sisi lain, Negrito nampak berjumlah lebih banyak, atau setidaknya lebih banyak bukti. Mereka secara langsung tercatat pada pulau Negros, tempat kami saat ini mendapati sedikit orang dan memasuki pelosok; dan di sekitaran Manila dan di dalam Batangas, tempat mereka tak lagi ditemukan, wilaayh tersebut diisi dengan masyarakat Tagálog.
Kondisi Budaya.—Budaya dari berbagai suku, yang kini nyaris sama di seluruh kepulauan, menunjukkan beberapa perbedaan. Di Bisaya selatan, tempat Spanyol pertama kali memasuki kepulauan tersebut, nampak ada dua jenis penduduk asli: penghuni bukit, yang tinggal di pelosok kepulauan dalam jumlah sedikit, yang mengenakan rajutan dari pelepah pohon dan yang terkadang membangun rumah mereka di pohon; dan penghuni laut, yang nampak berjumlah lebih banyak seperti suku-suku Moro saat ini di selatan Mindanao, yang dikenal sebagai Sámal, dan yang membangun desa-desa mereka di laut atau pesisir dan banyak tinggal di perahu. Terdapat kemungkinan kedatangan berikutnya pada orang-orang hutan. Dari kedua unsur tersebut, masyarakat Bisaya Filipina turun, namun walau orang pesisir sepenuhnya meninggalkan, beberapa pinggiran bukit masih menganut pagan dan belum berabad, dan harusnya mereka berjumlah lebih banyak kala Spanyol pertama kali datang.
Tingkat budaya tertinggi di pemukiman berada pada perdagangan reguler dengan Kalimantan, Siam dan Tiongkok, dan khususnya sekitaran Manila, tempat banyak Muslim Melayu memiliki koloni-koloni.
Rumpun Bahasa Orang Melayu.—Dengan pengecualian Negrito, seluruh rumpun bahasa Filipina masih satu keluarga besar, yang disebut “Melayu-Polinesia.” Semuanya diyakini berasal dari satu bahasa ibu yang sangat kuno. Ini menunjukkan bagaimana penuturan Melayu-Polinesia tersebut tersebar. Di wilaayh paling jauh di Pasifik, terdapat masyarakat Polinesia, yang kala itu berkelompok pada kepulaaun kecil; yang dikenal sebagai Mikronesia; kemudian Melanesia atau Ppaua; Melayu sepanjang kepulauan Hindia Timur, dan utara rumpun bahasa Filipina. Namun ini bukanlah semuanya; untuk wilayah paling barat di pesisir Afrika adalah pualu Madagaskar, banyak peribahasa dari rumpun bahasa disana yang tak memiliki hubungan dengan Afrika namun masuk pada keluarga Melayu-Polinesia.
Bahasa Tagálog.—Ini harus menjadi persoalan peminatan besar pada Filipina yang peneliti besar Baron William von Humboldt menganggap Tagálog merupakan bahasa terkaya dan paling sempurna dari seluruh bahasa dari keluarga Melayu-Polinesia, dan mungkin jenis dari mereka semua. “Bahasa tersebut menghimpun,” ujarnya, “seluruh bentuk yang secara kolektif berasal dari kata-kata tertentu yang ditemukan secara tunggal dalam dialek lainnya; dan menyajikan mereka semua dengan pengecualian tak terpatahkan, dan sepenuhnya selaras dan simetri.” Para frater Spanyol, kala kedatangan mereka di Filipina, sempat mencurahkan diri mereka untuk mempalajarid ialek asli dan persiapan doa dan katekisme dalam bahasa asli tersebut. Mereka sangat sukses dalam pembelajaran mereka. Padri Chirino berujar pada kami tentang seorang Yesuit yang mempelajari Tagálog dalam tujuh puluh hari untuk berkotbah dan mendengarkan pengampunan dosa. Dalam cara ini, Bisayan, Tagálog, dan Ilocano kemudian dinaungi.
Dalam menyoroti wacana Von Humboldt, ini dinunjukkan bahwa orang-orang Spanyol awal mengucapkan Tagálog dengan sangat sulit dan sangat mengagumkan. “Dari semua itu,” ujar Padre Chirino, “bahasa yang sangat menarik perhatianku dan mengisiku dengan kekaguman adalah Tagálog. Karena, kala ia ditunjuk menjadi uskup agung pertama, dan setelah itu orang serius lainnya, baik disana maupun disini, aku mendapati empat kualitas dari empat bahasa terbaik di dunia: Ibrani, Yunani, Latin, dan Spanyol; dari Ibrani, misteri dan berintang; dari Yunani, artikel-artikel dan prosisisinya tak hanya terapan namun juga pengucapan sebenarnya; dari latin, kekayaan dan elegan, dan dari Spanyol; berlaku baik, jujur dan berani.”
Hubungan Awal dengan Hindu.—Rumpun bahasa Melayu juga berisi sejumlah besar kata yang dipinjam dari Sanskerta, dan di dalamnya meliputi Tagálog, Bisayan, dan Ilocano. Apapun kata yang berlalu selaras dari satu kelompok Melayu ke kelompok lainnya, atau apa yang mereka perkenalkan lewat keberadaan dan kekuatan sebenarnya Hindu di kepulauan tersebut, berlandasan adil untuk perdebatan; namun kasus untuk posisi tersebut berjalan baik dan sempurna oleh Dr. Pardo de Tavera bahwa kesimpulannya disampaikan dalam kata-katanya sendiri. “Kata-kata yang dipinjam Tagálog,” ujarnya, “adalah kata-kata yang menunjukkan tindakan intelektual, pembentukan moral, emosi, penaungan, nama desa, planet, bilangan jumlah tinggi, botani, perang dan hasil dan dampaknya, dan pada akhirnya gelar dan martabat, beberapa hewan, alat industri, dan nama-nama uang.”
Dari bukti karya-karya tersebut, Dr. Pardo berpendapat bahwa pada suatu waktu dalam sejaraha wal Filipina, yang sebetulnya bukanlah hubungan perdagangan, seperti Tionghoa, namun dominasi politik dan sosial Hindu. “Aku tak yakin,” ujarnya, “dan aku melandasi opininya pada kata-kata ayng sama bahwa aku membawa serta dalam pengucapan tersebut, bahwa Hindu singkatnya adalah pedagang, namun mereka mendominasi bagian berbeda dari kepulauan tersebut, tempat saaat ini menuturkan banyak bahasa berbudaya,—Tagálo, Visayan, Pampanga, dan Ilocano; dan bahwa budaya yang lebih tinggi dari rumpun bahasa tersebut secara pasti datang dari pengaruh ras Hindu pada Filipina.”
Hindu di Filipina.—“Tak mungkin untuk meyakini bahwa Hindu, jika mereka datang hanya sebagai pedagang, namun jumlah mereka besar, akan menekan diri mereka sendiri dalam cara semacam itu untuk memberikan jumlah kepada penduduk pulau tersebut dan jenis kata yang mereka berikan. Nama-nama hadirin, cacique, fungsioner tinggi istana, bangsawati, menandakan bahwa seluruh jabatan tinggi dengan nama-nama asal Sanskerta pada suatu saat diduduki oleh orang yang menuturkan bahasa tersebut. Kata-kata bercikal bakal serupa untuk obyek-obyek perang, benteng dan lagu tempur, untuk obyek-obyek rancangan kepercayaan agama, untuk penaungan, emosi, perasaan, kegiatan industrial dan perkebunan, menunjukkan kami dengan jelas bahwa perang, agama, sastra, industri dan pertanian pada suatu waktu berada di tangan Hindu, dan bahwa ras tersebut secara efektif menjadi dominan di Filipina.”
Sistem Penulisan di kalangan Filipina.—Kala Spanyol datang ke Filipina, masyarakat Filipina memakai sitem penulisan yang dipinjam dari sumber-sumber Hindu atau Jawa. Persoalan tersebut sangat penting bahwa tak ada orang yang dapat melakukan hal yang lebih baik ketimbang yang dikutip sepenuhnya pada catatan Padre Chirino, karena ia merupakan penulsi Spanyol pertama yang menyebutkannya dan catatannya sangat lengkap.
“Sehingga memberikan para penduduk pulau tersebut untuk membaca dan menulis sangatlah uslit selaku manusia, dan lebih kurang seorang wanita, yang tak membaca dan menulis huruf yang selaras dengan pulau Manila, sangat berbeda dari Tiongkok, Jepang, dan india, karena akan nampak dari abjad berikut.
Namun dengan semuanya, dan tanpa banyak perombakan, mereka membuat diri mereka sendiri mengerti, dan mereka sendiri memahami secara menakjubkan. Dan pembaca mensuplai, dengan keterampilan dan kemudahan besar, konsonan yang kurang. Kami mempelajari dari mereka unruk menulis baris dari tanagn kiri ke kanan, namun dulunya mereka hanya menulsi dari atas ke bawah, menempatkan baris pertama (jika aku ingat dengan benar) di sisi kiri, dan melanjutkannya dengan lainnya di kanan, berbeda dengan Tionghoa dan Jepang.... Mereka menulis pada batang atau daun kelapa, memakai pena ujung besi. Kini dalam penulisan tak hanya milik mereka sendiri namun juga huruf mereka, mereka memakai bulu yang dipotong dengan sangat baik, dan keras seperti milik kami sendiri.
Kami memahami bahasa dan pengucapan mereka, dan mereka mampu menulis dengan baik, dan bahkan lebih baik; karena mereka sangat menerangi bahwa mereka memahami segala hal dengan kemudahan terbesar. Aku membawa denganku tulisan tangan dengan penulisan yang sangat baik dan benar. Di Tigbauan, aku memiliki sekolah anak yang sangat kecil, yang dalam waktu tiga bulan memahami, dengan salinan dari tulisan yang ditulis dengan baik yang aku rancang oadanya, untuk menulis lebih baik ketimbang aku, dan mentranskripsikan untukku tulisan-tulisan penting yang sangat terpercaya, tanpa kesalahan atau kekeliruan. Namun kebutuhan bahasa dan tata tulis; kini menggerakkan kami kembali ke perkajaan kami dengan jiwa manusia.”
Sumber Sanskerta dari Abjad Filipina.—Disamping Tagálog, Bisaya, Pampango, Pangasinan, dan Ilocano memiliki abjad, atau lebih tepatnya silabus yang mirip dengannya. Dr. Pardo de Tavera mengumpulkan banyak data terkait mereka, dan menunjukkan bahwa mereka tanpa ragu diraih oleh Filipina dari sumber Sanskerta.
Penulisan Filipina Awal.—Masyarakat Filipina memakai penulisan tersebut untuk merancang syair dan lagu mereka, yang merupakan satu-satunya sastra mereka. Namun, tak ada darinya yang didapati datang dari mereka, dan Filipina kemudian mengadopsi abjad Spanyol, menulis silabus yang dibutuhkan untuk menulis bahasa mereka dari huruf-huruf tersebut. Sebagaimana seluruh nilai-nilai fonetik, ini masih sangat mudah bagi seorang Filipina untuk belajar berucap dan membaca dengan bahasanya sendiri. Karakter-karakter lama digantungkan selama dua abad, di tempat-tempat tertentu. Padre Totanes berujar pada kami bahwa jarang pada 1705 untuk mendapati orang yang dapat menggunakannya; namun Tagbanua, sebuah suku pagan di pulau Paragua, memakai silabus serupa sampai saat ini. Disamping syair, mereka memiliki lagu yang mereka nyanyikan kala mereka mengayuh perahu mereka, kala mereka menumbuk beras dari sekamnya, dan kala mereka berkumpul untuk berpesta atau hiburan; dan secara khusus terdapat lagu-lagu untuk orang mati. Dalam lagu-lagu tersebut, ujar Chirino, mereka mendendangkan perbuatan leluhur mereka atau dewa mereka.
Tionghoa di Filipina.—Perdagangan Awal.—Hal yang sangat berbeda dari Hindu adalah pengaruh awal Tionghoa. Tak ada bukti bahwa, sebelum penaklukan Spanyol, Tionghoa menetap atau mengkolonisasikan kepulauan tersebut secara keseluruhan; dan bahkan tiga ratus tahun sebelum kedatangan Magellan, armada dagang mereka giat datang kesini dan beberapa pulau juga mengenal mereka. Satu bukti perdagangan prasejarah berada pada guci dan tembikar Tionghoa kuno yang diangkat di sekitaran Manila, namun tulisan Tionghoa mereka sendiri menghiasnya bahkan dengan sangat baik. Sekitar permulaan abad ketiga belas, walau tak lebih awal ketimbang 1205, seorang penulis Tionghoa bernama Chao Ju-kua menulis karya tentang perdaagngan maritim orang Tionghoa. Satu bab dari karyanya ditujukan untuk Filipina. yang ia sebut negara Mayi. Menurut catatan tersebut, ini menandakan bahwa Tionghoa familiar dengan pulau-pulau di kepulauan tersebut pada tujuh ratus tahun silam.
Tionghoa, Deskripsi Masyarakat.—“Negara Mayi,” ujar karya klasik tersebut, “berada di utara Poni (Burney, atau Kalimantan). Sekitar seribu keluarga mendiami tepi gelombang yang sangat berangin. Penduduk asli mengenakan diri mereka dengan lapisan kain yang mengingatkan pada lembar kasur, atau menutup tubuh mereka dengan sarong. (sarong berwarna abu-abu, rajutan khas Melayu.) Di sekitaran hutan luar, terdapat gambar-gambar Buddha tembaga, namun tak ada orang yang mengetahui bagaimana benda tersebut berada disana.
“Kala kapal-kapal pedagang (Tionghoa) datang ke pelabuhan ini, mereka belabuh di depan sebuah tempat terbuka ... yang dijadikan sebagai pasar, tempat mereka berdagang dengan hasil bumi dari wilayah tersebut. Kala kapal memasuki pelabuhan, kapten menghadirkan payung-payung putih (kepada para mandarin). Para pedagang diminta untuk membayar upeti tersebut dalam rangka menerima kehendak baik dari para tuannya.” Produk-produk wilayah tersebut dikatakan adalah malam kuning, kapas, mutiara, kerang, buah pinang, dan busana yuta, yang mungkin merupakan salah satu dari beberapa busana yang masih dirajut abacá, atau piña. Barang-barang yang diimpor oleh Tionghoa adalah “porselen, emas dagang, bahan timbal, manik-manik kaca dari segaal warna, pansi masak besi, dan jarum besi.”
Negrito.—Hal yang paling membuat penasaran adalah penyebutan akurat dalam penulisan Tionghoa mengenai Negrito, catatan pertama dari seluruh catatan mengenai orang kulit hitam kecil tersebut. “Di pelosok lembah, tinggal sebuah ras bernama Hai-tan (Acta). Mereka memiliki ukuran badan yang rendah, mata bulat warna kuning, rambut keriting, dan gigi mereka mudah nampak di antara bibir mereka. (Ini mungkin tak dihitamkan dengan mengunyah pinang atau bahan buatan.) Mereka membangun sangkar di atas pohon dan masing-masing sangkar dihuni satu keluarga, yang hanya terdiri dari tiga sampai lima orang. Mereka berjelajah di sekitaran wilayah terdalam hutan, dan, tanpa melihat diri mereka sendiri, menembakkan panah mereka kepada para pelintas; karena alasan tersebut, mereka sangat ditakuti. Jik pedagang (Tionghoa) membawakan mereka mangkuk porselen kecil, mereka akan memutuskan untuk menangkapnya dan kemudian melarikannya, berteriak dengan bahagia.”
Peningkatan dalam Perdagangan Tionghoa.—Kapal-kapal jung juga mengunjungi kepulauan yang lebih tengah, namun disini lalu lintas dilakukan pada kapal-kapal tersebut, Tionghoa yang datang mengumumkan diri mereka sendiri dengan memukul gong dan masyarakat Filipina berdatangan kepada mereka dengan perahu-perahu penerangan mereka. Salah satu hal lainnya yang ditawarkan disini oleh penduduk asli untuk perdagangan disebut “busana aneh,” mungkin cinamay atau jusi, dan tikar halus.
Perdagangan Tionghoa tersebut mungkin terus berlanjut sampai kedatangan Spanyol. Kala itu, wilayah tersebut menerima peningkatan melalui tawaran untuk produk pangan dan perangkat Tionghoa yang dibuat oleh Spanyol, dan karena nilai perak Meksiko yang ditawarkan Spanyol dalam pertukaran.
Perdagangan dengan Melayu Moro di Selatan.—Penyebaran Islam dan khususnya pembentukan koloni Kalimantan membawa Filipina menjadi hubungan komersial penting dengan Melayu di selatan. Sebelum kedatangan Spanyol, hubungan tersebut nampak bersahabat dan damai. Muslim Melayu mengirim perahu ke utara untuk keperluan dagang, dan mereka juga bermukim di Filipina utara sebagaimana mereka berada di Mindanao.
Kala armada Legaspi, tak lama usai kedatangannya, singgah di dekat pulau Bohol, “Maestro de Campo” mengalami pertarungan sengit dengan kapal Moro yang datang untuk berdagang, dan mengambil enam tahanan. Salah satu dari mereka, yang mereka sebut “pilot,” sering diinterogasi oleh Adelantado dan beberapa informasi penting diterima, yang dicatat oleh Padre San Augustin. Legaspi memiliki seorang penerjemah budak Melayu dengannya dan San Augustin berujar bahwa Padre Urdaneta “memahami bahasa Melayu dengan baik.” Pilot berujar bahwa “orang-orang di Kalimantan dibawa untuk berdagang dengan Filipina, tembaga dan timah, yang dibawa dari Tiongkok ke Kalimantan, porselen, hidangan dan lonceng yang dibuat dalam gaya mereka, sangat berbeda dari orang-orang yang dipakai umat Kristen, dan benzoin, dan jubah-jubah berwarna dari India, dan alat-alat masak yang dibuat di Tiongkok, dan yang mereka juga membawa tombak besi yang diolah dengan sangat baik, dan pisau dan barang barter lainnya, dan bahwa dalam pertukaran untuk mereka, mereka menempatkan emas, budak, malam dan jenis kerang laut kecil yang mereka sebut ‘sijueyes’ dari kepulauan tersebut, dan yang melintas untuk uang di kerajaan Siam dan tempat lainnya; dan juga menghantarkan mereka beberapa busana putih, yang berjumlah besar di kepulauan tersebut.”
Butúan, di pantai utara Mindanao, nampak merupakan tempat dagang yang disinggahi oleh kaapl-kapal dari segala penjuru. Wilaayh tersebut, seperti kebanyakan belahan Filipina lainnya, menghasilkan sejumlah kecil emas, dan seluruh pelayaran awal mencari emas dan hiasan penduduk asli. Butúan juga menghasilkan tebu dan merupakan pelabuhan dagang untuk para budak. Lalu lintas tak menguntungkan dalam kehidupan manusia nampak bukanlah hal yang tak lazim, dan tanpa ragu dilakukan lewat perdagangan dengan Kalimatan. Kapal-kapal jung dari Siam berdagang dengan Cebu juga dilawan oleh Spanyol.
Result of this Intercourse and Commerce.—This intercourse and traffic had acquainted the Filipinos with many of the accessories of civilized life long before the arrival of the Spaniards. Their chiefs and datos dressed in silks, and maintained some splendor of surroundings; nearly the whole population of the tribes of the coast wrote and communicated by means of a syllabary; vessels from Luzon traded as far south as Mindanao and Borneo, although the products of Asia proper came through the fleets of foreigners; and perhaps what indicates more clearly than anything else the advance the Filipinos were making through their communication with outside people is their use of firearms. Of this point there is no question. Everywhere in the vicinity of Manila, on Lubang, in Pampanga, at Cainta and Laguna de Bay, the Spaniards encountered forts mounting small cannon, or “lantakas.”10 The Filipinos seem to have understood, moreover, [102]the arts of casting cannon and of making powder. The first gun-factory established by the Spaniards was in charge of a Filipino from Pampanga.
Early Political and Social Life.—The Barangay.—The weakest side of the culture of the early Filipinos was their political and social organization, and they were weak here in precisely the same way that the now uncivilized peoples of northern Luzon are still weak. Their state did not embrace the whole tribe or nation; it included simply the community. Outside of the settlers in one immediate vicinity, all others were enemies or at most foreigners. There were in the Philippines no large states, nor even great rajas and sultans such as were found in the Malay Archipelago, but instead on every island were a multitude of small communities, each independent of the other and frequently waging war.
The unit of their political order was a little cluster of houses from thirty to one hundred families, called a “barangay,” and which still exists in the Philippines as the “barrio.” At the head of each barangay was a chief known as the “dato,” a word no longer used in the northern Philippines, though it persists among the Moros of Mindanao. The powers of these datos within their small areas appear to have been great, and they were treated with utmost respect by the people.
The barangays were grouped together in tiny federations including about as much territory as the present towns, whose affairs were conducted by the chiefs or datos, although sometimes they seem to have all been in obedience to a single chief, known in some places as the “hari,” at other times by the Hindu word “raja,” or the Mohammedan term “sultan.” Sometimes the power of one of these rajas seems to have extended over the [103]whole of a small island, but usually their “kingdoms” embraced only a few miles.
Changes Made by the Spaniards.—The Spaniards, in enforcing their authority through the islands, took away the real power from the datos, grouping the barangays into towns, or “pueblos,” but making the datos “cabezas de barrio,” or “gobernadorcillos.” Something of the old distinction between the dato, or “principal,” and the common man may be still represented in the “gente illustrada,” or the more wealthy, educated, and influential class found in each town, and the “gente baja,” or the poor and uneducated.
Classes of Filipinos under the Datos.—Beneath the datos, according to Chirino and Morga, there were three classes of Filipinos; the free persons, or “maharlica,” who paid no tribute to the dato, but who accompanied him to war, rowed his boat when he went on a journey, and attended him in his house. This class is called by Morga “timauas.”11
Then there was a very large class, who appear to have been freedmen or liberated slaves, who had acquired their own homes and lived with their families, but who owed to dato or maharlica heavy debts of service; to sow and harvest in his ricefields, to tend his fish-traps, to row his canoe, to build his house, to attend him when he had guests, and to perform any other duties that the chief might command. These semi-free were called “aliping namamahay,” and their condition of bondage descended to their children.
Beneath these existed a class of slaves. These were the “siguiguiliris,” and they were numerous. Their slavery [104]arose in several ways. Some were those who as children had been captured in war and their lives spared. Some became slaves by selling their freedom in times of hunger. But most of them became slaves through debt, which descended from father to son. The sum of five or six pesos was enough in some cases to deprive a man of his freedom.
These slaves were absolutely owned by their lord, who could theoretically sell them like cattle; but, in spite of its bad possibilities, this Filipino slavery was ordinarily not of a cruel or distressing nature. The slaves frequently associated on kindly relations with their masters and were not overworked. This form of slavery still persists in the Philippines among the Moros of Mindanao and Jolo. Children of slaves inherited their parents’ slavery. If one parent was free and the other slave, the first, third, and fifth children were free and the second, fourth, and sixth slaves. This whole matter of inheritance of slavery was curiously worked out in minute details.
Life in the Barangay.—Community feeling was very strong within the barangay. A man could not leave his own barangay for life in another without the consent of the community and the payment of money. If a man of one barrio married a woman of another, their children were divided between the two barangays. The barangay was responsible for the good conduct of its members, and if one of them suffered an injury from a man outside, the whole barangay had to be appeased. Disputes and wrongs between members of the same barangay were referred to a number of old men, who decided the matter in accordance with the customs of the tribe, which were handed down by tradition.12[105]
The Religion of the Filipinos.—The Filipinos on the arrival of the Spaniards were fetish-worshipers, but they had one spirit whom they believed was the greatest of all and the creator or maker of things. The Tagálog called this deity Bathala,13 the Bisaya, Laon, and the Ilocano, Kabunian. They also worshiped the spirits of their ancestors, which were represented by small images called “anitos.” Fetishes, which are any objects believed to possess miraculous power, were common among the people, and idols or images were worshiped. Pigafetta describes some idols which he saw in Cebu, and Chirino tells us that, within the memory of Filipinos whom he knew, they had idols of stone, wood, bone, or the tooth of a crocodile, and that there were some of gold.
They also reverenced animals and birds, especially the crocodile, the raven, and a mythical bird of blue or yellow color, which was called by the name of their deity Bathala.14 They had no temples or public places of worship, but each one had his anitos in his own house and performed his sacrifices and acts of worship there. As sacrifices they killed pigs or chickens, and made such occasions times of feasting, song, and drunkenness. The life of the [106]Filipino was undoubtedly filled with superstitious fears and imaginings.
The Mohammedan Malays.—The Mohammedans outside of southern Mindanao and Jolo, had settled in the vicinity of Manila Bay and on Mindoro, Lubang, and adjacent coasts of Luzon. The spread of Mohammedanism was stopped by the Spaniards, although it is narrated that for a long time many of those living on the shores of Manila Bay refused to eat pork, which is forbidden by the Koran, and practiced the rite of circumcision. As late as 1583, Bishop Salazar, in writing to the king of affairs in the Philippines, says the Moros had preached the law of Mohammed to great numbers in these islands and by this preaching many of the Gentiles had become Mohammedans; and further he adds, “Those who have received this foul law guard it with much persistence and there is great difficulty in making them abandon it; and with cause too, for the reasons they give, to our shame and confusion, are that they were better treated by the preachers of Mohammed than they have been by the preachers of Christ.”15
Material Progress of the Filipinos.—The material surroundings of the Filipino before the arrival of the Spaniards were in nearly every way quite as they are to-day. The “center of population” of each town to-day, with its great church, tribunal, stores and houses of stone and wood, is certainly in marked contrast; but the appearance of a barrio a little distance from the center is to-day probably much as it was then. Then, as now, the bulk of the people lived in humble houses of bamboo [107]and nipa raised on piles above the dampness of the soil; then, as now, the food was largely rice and the excellent fish which abound in river and sea. There were on the water the same familiar bancas and fish corrals, and on land the rice fields and cocoanut groves. The Filipinos had then most of the present domesticated animals,—dogs, cats, goats, chickens, and pigs,—and perhaps in Luzon the domesticated buffalo, although this animal was widely introduced into the Philippines from China after the Spanish conquest. Horses came with the Spaniards and their numbers were increased by the bringing in of Chinese mares, whose importation is frequently mentioned.
The Spaniards introduced also the cultivation of tobacco, coffee, and cacao, and perhaps also the native corn of America, the maize, although Pigafetta says they found it already growing in the Bisayas.
The Filipino has been affected by these centuries of Spanish sovereignty far less on his material side than he has on his spiritual, and it is mainly in the deepening and elevating of his emotional and mental life and not in the bettering of his material condition that advance has been made.
8n09ishj40ia4ffstnydamuobx28a9i
99903
99894
2024-11-10T06:16:05Z
Glorious Engine
9499
99903
wikitext
text/x-wiki
<center>'''Bab V'''</center>
<center>'''Masyarakat Filipina Sebelum Kedatangan Spanyol'''</center>
Posisi Suku-suku.—Kala kedatangan Spanyol, masyarakat Filipina nampak tersebar menurut suku-suku sebagaimana kebiasaan yang sama pada saat ini. Kemudian, seperti sekarang, Bisaya menduduki pulau-pulau tengah dari kepulauan tersebut dan beberapa pulau di pantai utara Mindanao. Bicol, Tagálog, dan Pampango berada pada bagian yang sama di Luzon sebagaimana kami temukan mereka pada saat ini. Ilocano menduduki dataran pesisir menghadap Laut Tiongkok, namun sejak kedatangan Spanyol, mereka menyebar dan pemukiman mereka kini tersebar di Pangasinan, Nueva Vizcaya, dan lembah Cagayan.
Jumlah Orang.—Suku-suku tersebut yang pada saat ini berjumlah sekitar 7.000.000 jiwa, pada masa penemuan Magellan, mungkin, tak lebih dari 500.000. Penjumlahan populasi pertama dibuang oleh Spanyol pada 1591, dan meliputi seluruh suku tersebut, memberikan angka kurang dari 700.000. (Lihat Bab VIII., Filipina Tiga Ratus Tahun Lalu.)
Terdapat juga beberapa fakta yang ditunjukkan pada kami bagaimana persebaran penduduk terjadi. Ekspedisi Spanyol mendapati banayk pesisir dan pulau di kelompok Bisayan tanpa penduduk. Terkadang, kapal layar atau perahu akan nampak, dan kemudian akan lenyap di beberapa “estero” kecil atau rawa bakau dan tanah nampak tak berpenduduk seperti sebelumnya. Pada titik tertentu, seperti Limasaua, Butúan, dan Bohol, penduduk asli berjumlah lebih banyak, dan Cebu merupakan komunitas yang besar dan beragam; namun Spantol nyaris menemukannya dimana-aman untuk mencari tempat pemukiman dan lahan penanaman.
Persebaran penduduk juga ditnadai oleh kelimpahan pangan yang besar. Spanyol memiliki banyak kesulitan dalam mengamankan tujuan-tujuannya. Sejumlah kecil beras, seekor babi dan beberapa ayam, didapatkan disini dan disana, namun Filipina tak memiliki suplai yang besar. Usai pemukiman Manila dibuat, sebagian besar pangan kota didatangkan dari Tiongkok. Sangat mudah bagi Spanyol bergerak ke tempat mereka hendaki dan mengurangi masyarakat Filipina untuk setia menunjukkan bahwa orang Filipina berjumlah sedikit. Laguna dan Camarines nampaknya merupakan wilayah paling berpenduduk di kepulauan tersebut. Seluruh hal dan lainnya menunjukkan bahwa masyarakat Filipina hanyalah fraksi kecil dari jumlah mereka saat ini.
Di sisi lain, Negrito nampak berjumlah lebih banyak, atau setidaknya lebih banyak bukti. Mereka secara langsung tercatat pada pulau Negros, tempat kami saat ini mendapati sedikit orang dan memasuki pelosok; dan di sekitaran Manila dan di dalam Batangas, tempat mereka tak lagi ditemukan, wilaayh tersebut diisi dengan masyarakat Tagálog.
Kondisi Budaya.—Budaya dari berbagai suku, yang kini nyaris sama di seluruh kepulauan, menunjukkan beberapa perbedaan. Di Bisaya selatan, tempat Spanyol pertama kali memasuki kepulauan tersebut, nampak ada dua jenis penduduk asli: penghuni bukit, yang tinggal di pelosok kepulauan dalam jumlah sedikit, yang mengenakan rajutan dari pelepah pohon dan yang terkadang membangun rumah mereka di pohon; dan penghuni laut, yang nampak berjumlah lebih banyak seperti suku-suku Moro saat ini di selatan Mindanao, yang dikenal sebagai Sámal, dan yang membangun desa-desa mereka di laut atau pesisir dan banyak tinggal di perahu. Terdapat kemungkinan kedatangan berikutnya pada orang-orang hutan. Dari kedua unsur tersebut, masyarakat Bisaya Filipina turun, namun walau orang pesisir sepenuhnya meninggalkan, beberapa pinggiran bukit masih menganut pagan dan belum berabad, dan harusnya mereka berjumlah lebih banyak kala Spanyol pertama kali datang.
Tingkat budaya tertinggi di pemukiman berada pada perdagangan reguler dengan Kalimantan, Siam dan Tiongkok, dan khususnya sekitaran Manila, tempat banyak Muslim Melayu memiliki koloni-koloni.
Rumpun Bahasa Orang Melayu.—Dengan pengecualian Negrito, seluruh rumpun bahasa Filipina masih satu keluarga besar, yang disebut “Melayu-Polinesia.” Semuanya diyakini berasal dari satu bahasa ibu yang sangat kuno. Ini menunjukkan bagaimana penuturan Melayu-Polinesia tersebut tersebar. Di wilaayh paling jauh di Pasifik, terdapat masyarakat Polinesia, yang kala itu berkelompok pada kepulaaun kecil; yang dikenal sebagai Mikronesia; kemudian Melanesia atau Ppaua; Melayu sepanjang kepulauan Hindia Timur, dan utara rumpun bahasa Filipina. Namun ini bukanlah semuanya; untuk wilayah paling barat di pesisir Afrika adalah pualu Madagaskar, banyak peribahasa dari rumpun bahasa disana yang tak memiliki hubungan dengan Afrika namun masuk pada keluarga Melayu-Polinesia.
Bahasa Tagálog.—Ini harus menjadi persoalan peminatan besar pada Filipina yang peneliti besar Baron William von Humboldt menganggap Tagálog merupakan bahasa terkaya dan paling sempurna dari seluruh bahasa dari keluarga Melayu-Polinesia, dan mungkin jenis dari mereka semua. “Bahasa tersebut menghimpun,” ujarnya, “seluruh bentuk yang secara kolektif berasal dari kata-kata tertentu yang ditemukan secara tunggal dalam dialek lainnya; dan menyajikan mereka semua dengan pengecualian tak terpatahkan, dan sepenuhnya selaras dan simetri.” Para frater Spanyol, kala kedatangan mereka di Filipina, sempat mencurahkan diri mereka untuk mempalajarid ialek asli dan persiapan doa dan katekisme dalam bahasa asli tersebut. Mereka sangat sukses dalam pembelajaran mereka. Padri Chirino berujar pada kami tentang seorang Yesuit yang mempelajari Tagálog dalam tujuh puluh hari untuk berkotbah dan mendengarkan pengampunan dosa. Dalam cara ini, Bisayan, Tagálog, dan Ilocano kemudian dinaungi.
Dalam menyoroti wacana Von Humboldt, ini dinunjukkan bahwa orang-orang Spanyol awal mengucapkan Tagálog dengan sangat sulit dan sangat mengagumkan. “Dari semua itu,” ujar Padre Chirino, “bahasa yang sangat menarik perhatianku dan mengisiku dengan kekaguman adalah Tagálog. Karena, kala ia ditunjuk menjadi uskup agung pertama, dan setelah itu orang serius lainnya, baik disana maupun disini, aku mendapati empat kualitas dari empat bahasa terbaik di dunia: Ibrani, Yunani, Latin, dan Spanyol; dari Ibrani, misteri dan berintang; dari Yunani, artikel-artikel dan prosisisinya tak hanya terapan namun juga pengucapan sebenarnya; dari latin, kekayaan dan elegan, dan dari Spanyol; berlaku baik, jujur dan berani.”
Hubungan Awal dengan Hindu.—Rumpun bahasa Melayu juga berisi sejumlah besar kata yang dipinjam dari Sanskerta, dan di dalamnya meliputi Tagálog, Bisayan, dan Ilocano. Apapun kata yang berlalu selaras dari satu kelompok Melayu ke kelompok lainnya, atau apa yang mereka perkenalkan lewat keberadaan dan kekuatan sebenarnya Hindu di kepulauan tersebut, berlandasan adil untuk perdebatan; namun kasus untuk posisi tersebut berjalan baik dan sempurna oleh Dr. Pardo de Tavera bahwa kesimpulannya disampaikan dalam kata-katanya sendiri. “Kata-kata yang dipinjam Tagálog,” ujarnya, “adalah kata-kata yang menunjukkan tindakan intelektual, pembentukan moral, emosi, penaungan, nama desa, planet, bilangan jumlah tinggi, botani, perang dan hasil dan dampaknya, dan pada akhirnya gelar dan martabat, beberapa hewan, alat industri, dan nama-nama uang.”
Dari bukti karya-karya tersebut, Dr. Pardo berpendapat bahwa pada suatu waktu dalam sejaraha wal Filipina, yang sebetulnya bukanlah hubungan perdagangan, seperti Tionghoa, namun dominasi politik dan sosial Hindu. “Aku tak yakin,” ujarnya, “dan aku melandasi opininya pada kata-kata ayng sama bahwa aku membawa serta dalam pengucapan tersebut, bahwa Hindu singkatnya adalah pedagang, namun mereka mendominasi bagian berbeda dari kepulauan tersebut, tempat saaat ini menuturkan banyak bahasa berbudaya,—Tagálo, Visayan, Pampanga, dan Ilocano; dan bahwa budaya yang lebih tinggi dari rumpun bahasa tersebut secara pasti datang dari pengaruh ras Hindu pada Filipina.”
Hindu di Filipina.—“Tak mungkin untuk meyakini bahwa Hindu, jika mereka datang hanya sebagai pedagang, namun jumlah mereka besar, akan menekan diri mereka sendiri dalam cara semacam itu untuk memberikan jumlah kepada penduduk pulau tersebut dan jenis kata yang mereka berikan. Nama-nama hadirin, cacique, fungsioner tinggi istana, bangsawati, menandakan bahwa seluruh jabatan tinggi dengan nama-nama asal Sanskerta pada suatu saat diduduki oleh orang yang menuturkan bahasa tersebut. Kata-kata bercikal bakal serupa untuk obyek-obyek perang, benteng dan lagu tempur, untuk obyek-obyek rancangan kepercayaan agama, untuk penaungan, emosi, perasaan, kegiatan industrial dan perkebunan, menunjukkan kami dengan jelas bahwa perang, agama, sastra, industri dan pertanian pada suatu waktu berada di tangan Hindu, dan bahwa ras tersebut secara efektif menjadi dominan di Filipina.”
Sistem Penulisan di kalangan Filipina.—Kala Spanyol datang ke Filipina, masyarakat Filipina memakai sitem penulisan yang dipinjam dari sumber-sumber Hindu atau Jawa. Persoalan tersebut sangat penting bahwa tak ada orang yang dapat melakukan hal yang lebih baik ketimbang yang dikutip sepenuhnya pada catatan Padre Chirino, karena ia merupakan penulsi Spanyol pertama yang menyebutkannya dan catatannya sangat lengkap.
“Sehingga memberikan para penduduk pulau tersebut untuk membaca dan menulis sangatlah uslit selaku manusia, dan lebih kurang seorang wanita, yang tak membaca dan menulis huruf yang selaras dengan pulau Manila, sangat berbeda dari Tiongkok, Jepang, dan india, karena akan nampak dari abjad berikut.
Namun dengan semuanya, dan tanpa banyak perombakan, mereka membuat diri mereka sendiri mengerti, dan mereka sendiri memahami secara menakjubkan. Dan pembaca mensuplai, dengan keterampilan dan kemudahan besar, konsonan yang kurang. Kami mempelajari dari mereka unruk menulis baris dari tanagn kiri ke kanan, namun dulunya mereka hanya menulsi dari atas ke bawah, menempatkan baris pertama (jika aku ingat dengan benar) di sisi kiri, dan melanjutkannya dengan lainnya di kanan, berbeda dengan Tionghoa dan Jepang.... Mereka menulis pada batang atau daun kelapa, memakai pena ujung besi. Kini dalam penulisan tak hanya milik mereka sendiri namun juga huruf mereka, mereka memakai bulu yang dipotong dengan sangat baik, dan keras seperti milik kami sendiri.
Kami memahami bahasa dan pengucapan mereka, dan mereka mampu menulis dengan baik, dan bahkan lebih baik; karena mereka sangat menerangi bahwa mereka memahami segala hal dengan kemudahan terbesar. Aku membawa denganku tulisan tangan dengan penulisan yang sangat baik dan benar. Di Tigbauan, aku memiliki sekolah anak yang sangat kecil, yang dalam waktu tiga bulan memahami, dengan salinan dari tulisan yang ditulis dengan baik yang aku rancang oadanya, untuk menulis lebih baik ketimbang aku, dan mentranskripsikan untukku tulisan-tulisan penting yang sangat terpercaya, tanpa kesalahan atau kekeliruan. Namun kebutuhan bahasa dan tata tulis; kini menggerakkan kami kembali ke perkajaan kami dengan jiwa manusia.”
Sumber Sanskerta dari Abjad Filipina.—Disamping Tagálog, Bisaya, Pampango, Pangasinan, dan Ilocano memiliki abjad, atau lebih tepatnya silabus yang mirip dengannya. Dr. Pardo de Tavera mengumpulkan banyak data terkait mereka, dan menunjukkan bahwa mereka tanpa ragu diraih oleh Filipina dari sumber Sanskerta.
Penulisan Filipina Awal.—Masyarakat Filipina memakai penulisan tersebut untuk merancang syair dan lagu mereka, yang merupakan satu-satunya sastra mereka. Namun, tak ada darinya yang didapati datang dari mereka, dan Filipina kemudian mengadopsi abjad Spanyol, menulis silabus yang dibutuhkan untuk menulis bahasa mereka dari huruf-huruf tersebut. Sebagaimana seluruh nilai-nilai fonetik, ini masih sangat mudah bagi seorang Filipina untuk belajar berucap dan membaca dengan bahasanya sendiri. Karakter-karakter lama digantungkan selama dua abad, di tempat-tempat tertentu. Padre Totanes berujar pada kami bahwa jarang pada 1705 untuk mendapati orang yang dapat menggunakannya; namun Tagbanua, sebuah suku pagan di pulau Paragua, memakai silabus serupa sampai saat ini. Disamping syair, mereka memiliki lagu yang mereka nyanyikan kala mereka mengayuh perahu mereka, kala mereka menumbuk beras dari sekamnya, dan kala mereka berkumpul untuk berpesta atau hiburan; dan secara khusus terdapat lagu-lagu untuk orang mati. Dalam lagu-lagu tersebut, ujar Chirino, mereka mendendangkan perbuatan leluhur mereka atau dewa mereka.
Tionghoa di Filipina.—Perdagangan Awal.—Hal yang sangat berbeda dari Hindu adalah pengaruh awal Tionghoa. Tak ada bukti bahwa, sebelum penaklukan Spanyol, Tionghoa menetap atau mengkolonisasikan kepulauan tersebut secara keseluruhan; dan bahkan tiga ratus tahun sebelum kedatangan Magellan, armada dagang mereka giat datang kesini dan beberapa pulau juga mengenal mereka. Satu bukti perdagangan prasejarah berada pada guci dan tembikar Tionghoa kuno yang diangkat di sekitaran Manila, namun tulisan Tionghoa mereka sendiri menghiasnya bahkan dengan sangat baik. Sekitar permulaan abad ketiga belas, walau tak lebih awal ketimbang 1205, seorang penulis Tionghoa bernama Chao Ju-kua menulis karya tentang perdaagngan maritim orang Tionghoa. Satu bab dari karyanya ditujukan untuk Filipina. yang ia sebut negara Mayi. Menurut catatan tersebut, ini menandakan bahwa Tionghoa familiar dengan pulau-pulau di kepulauan tersebut pada tujuh ratus tahun silam.
Tionghoa, Deskripsi Masyarakat.—“Negara Mayi,” ujar karya klasik tersebut, “berada di utara Poni (Burney, atau Kalimantan). Sekitar seribu keluarga mendiami tepi gelombang yang sangat berangin. Penduduk asli mengenakan diri mereka dengan lapisan kain yang mengingatkan pada lembar kasur, atau menutup tubuh mereka dengan sarong. (sarong berwarna abu-abu, rajutan khas Melayu.) Di sekitaran hutan luar, terdapat gambar-gambar Buddha tembaga, namun tak ada orang yang mengetahui bagaimana benda tersebut berada disana.
“Kala kapal-kapal pedagang (Tionghoa) datang ke pelabuhan ini, mereka belabuh di depan sebuah tempat terbuka ... yang dijadikan sebagai pasar, tempat mereka berdagang dengan hasil bumi dari wilayah tersebut. Kala kapal memasuki pelabuhan, kapten menghadirkan payung-payung putih (kepada para mandarin). Para pedagang diminta untuk membayar upeti tersebut dalam rangka menerima kehendak baik dari para tuannya.” Produk-produk wilayah tersebut dikatakan adalah malam kuning, kapas, mutiara, kerang, buah pinang, dan busana yuta, yang mungkin merupakan salah satu dari beberapa busana yang masih dirajut abacá, atau piña. Barang-barang yang diimpor oleh Tionghoa adalah “porselen, emas dagang, bahan timbal, manik-manik kaca dari segaal warna, pansi masak besi, dan jarum besi.”
Negrito.—Hal yang paling membuat penasaran adalah penyebutan akurat dalam penulisan Tionghoa mengenai Negrito, catatan pertama dari seluruh catatan mengenai orang kulit hitam kecil tersebut. “Di pelosok lembah, tinggal sebuah ras bernama Hai-tan (Acta). Mereka memiliki ukuran badan yang rendah, mata bulat warna kuning, rambut keriting, dan gigi mereka mudah nampak di antara bibir mereka. (Ini mungkin tak dihitamkan dengan mengunyah pinang atau bahan buatan.) Mereka membangun sangkar di atas pohon dan masing-masing sangkar dihuni satu keluarga, yang hanya terdiri dari tiga sampai lima orang. Mereka berjelajah di sekitaran wilayah terdalam hutan, dan, tanpa melihat diri mereka sendiri, menembakkan panah mereka kepada para pelintas; karena alasan tersebut, mereka sangat ditakuti. Jik pedagang (Tionghoa) membawakan mereka mangkuk porselen kecil, mereka akan memutuskan untuk menangkapnya dan kemudian melarikannya, berteriak dengan bahagia.”
Peningkatan dalam Perdagangan Tionghoa.—Kapal-kapal jung juga mengunjungi kepulauan yang lebih tengah, namun disini lalu lintas dilakukan pada kapal-kapal tersebut, Tionghoa yang datang mengumumkan diri mereka sendiri dengan memukul gong dan masyarakat Filipina berdatangan kepada mereka dengan perahu-perahu penerangan mereka. Salah satu hal lainnya yang ditawarkan disini oleh penduduk asli untuk perdagangan disebut “busana aneh,” mungkin cinamay atau jusi, dan tikar halus.
Perdagangan Tionghoa tersebut mungkin terus berlanjut sampai kedatangan Spanyol. Kala itu, wilayah tersebut menerima peningkatan melalui tawaran untuk produk pangan dan perangkat Tionghoa yang dibuat oleh Spanyol, dan karena nilai perak Meksiko yang ditawarkan Spanyol dalam pertukaran.
Perdagangan dengan Melayu Moro di Selatan.—Penyebaran Islam dan khususnya pembentukan koloni Kalimantan membawa Filipina menjadi hubungan komersial penting dengan Melayu di selatan. Sebelum kedatangan Spanyol, hubungan tersebut nampak bersahabat dan damai. Muslim Melayu mengirim perahu ke utara untuk keperluan dagang, dan mereka juga bermukim di Filipina utara sebagaimana mereka berada di Mindanao.
Kala armada Legaspi, tak lama usai kedatangannya, singgah di dekat pulau Bohol, “Maestro de Campo” mengalami pertarungan sengit dengan kapal Moro yang datang untuk berdagang, dan mengambil enam tahanan. Salah satu dari mereka, yang mereka sebut “pilot,” sering diinterogasi oleh Adelantado dan beberapa informasi penting diterima, yang dicatat oleh Padre San Augustin. Legaspi memiliki seorang penerjemah budak Melayu dengannya dan San Augustin berujar bahwa Padre Urdaneta “memahami bahasa Melayu dengan baik.” Pilot berujar bahwa “orang-orang di Kalimantan dibawa untuk berdagang dengan Filipina, tembaga dan timah, yang dibawa dari Tiongkok ke Kalimantan, porselen, hidangan dan lonceng yang dibuat dalam gaya mereka, sangat berbeda dari orang-orang yang dipakai umat Kristen, dan benzoin, dan jubah-jubah berwarna dari India, dan alat-alat masak yang dibuat di Tiongkok, dan yang mereka juga membawa tombak besi yang diolah dengan sangat baik, dan pisau dan barang barter lainnya, dan bahwa dalam pertukaran untuk mereka, mereka menempatkan emas, budak, malam dan jenis kerang laut kecil yang mereka sebut ‘sijueyes’ dari kepulauan tersebut, dan yang melintas untuk uang di kerajaan Siam dan tempat lainnya; dan juga menghantarkan mereka beberapa busana putih, yang berjumlah besar di kepulauan tersebut.”
Butúan, di pantai utara Mindanao, nampak merupakan tempat dagang yang disinggahi oleh kaapl-kapal dari segala penjuru. Wilaayh tersebut, seperti kebanyakan belahan Filipina lainnya, menghasilkan sejumlah kecil emas, dan seluruh pelayaran awal mencari emas dan hiasan penduduk asli. Butúan juga menghasilkan tebu dan merupakan pelabuhan dagang untuk para budak. Lalu lintas tak menguntungkan dalam kehidupan manusia nampak bukanlah hal yang tak lazim, dan tanpa ragu dilakukan lewat perdagangan dengan Kalimatan. Kapal-kapal jung dari Siam berdagang dengan Cebu juga dilawan oleh Spanyol.
Hasil dari Perhubungan dan Perdagangan.—Perhubungan dan lalu lintas dialami Filipina dengan berbagai unsur kehidupan peradaban sebelum kedatangan Spanyol. Para kepala suku dan dato berbusana sutra, dan menghimpun beberapa kendali di sekitar; nyaris seluruh penduduk suku pesisir menulsi dan berkomunikasi oleh cara silabus; kapal-kapal dari Luzon berdagang sampai selatan jauh di Mindanao dan Borneo, walaupun barang-barang Asia sebenarnya datang lewat armada warga asing; dan mungkin aap yang mengindikasikan secara lebih jelas ketimbang hal lainnya yang memajukan Filipina membuat komunikasi mereka dengan orang luar menjadi penggunaan senjata api mereka. Dari titik ini, tidak ada pertanyaan. Setipa tempat di sekitaran Manila, di Lubang, di Pampanga, di Cainta dan Laguna de Bay, Spanyol melawan benteng-benteng yang mengerahkan meriam kecil, atau “lantaka.” Selain itu, masyarakat Filipina nampak memahami seni pemasangan meriam dan membuat bubuk. Pabrik meriam pertama didirikan oleh Spanyol dalam pertikaran dengan orang Filipina dari Pampanga.
Kehidupan Politik dan Sosial Awal.—Barangay.—Sisi terlemah dari budaya Filipina awal adalah organisasi politik dan sosial mereka, dan mereka lemah disini tentunya dalam cara yang sama agar suku bangsa tak beradab di Luzon utara masih lemah. Negara mereka tak melingkupi seluruh suku atau bangsa; ini singkatnya meliputi komunitas. Di luar pemukim di tempat sekitaran langsung, seluruh orang lainnya adalah musuh atau kebanyakan warga asing. Tak ada negara besar yang berada di Filipina, bahkan raja besar dan sultan seperti yang ditemukan di Kepulauan Melayu, namun sebagai gantinya di seluruh pulau terdapat sejumlah komunitas kecil, yang masing-masing merdeka satu sama lain dan seringkali berperang.
Unit tatanan kekuatan politik mereka merupakan sekelompok rumah kecil dari tiga puluh sampai seratus keluarga, yang disebut “barangay,” dan yang masih ada di Filipina sebagai “barrio.” Di puncak setiap barangay adalah seorang pemimpin yang dikenal sebagai “dato,” sebuah kata yang tak lagi dipakai di Filipina utara, walau masih dipakai di kalangan Moro Mindanao. Kekuatan para dato dalam wilaayh kecil mereka nampaknya besar, dan mereka dipelakukan dengan sangat hormat oleh masyarakat.
Barangay-barangay dikelompokkan bersama dalam federasi kecil yang meliputi nyaris sebesar wilayah kota saat ini, yang urusannya ditangani oleh kepala suku atau dato, walau terkadang mereka nampak sepenuhnya setia pada pemimpin tunggal, yang dikenal di beberapa tempat sebagai “hari,” pada kesempatan lain memakai kata Hindu “raja,” atau istilah Muslim “sultan.” Terkadang, kekuatan salah satu raja nampak menyebar sampai seluruh pulau kecil, namun biasanya “kerajaan” mereka hanya meliputi beberapa mil.
Perubahan yang Dibuat oleh Spanyol.—Spanyol, dalam memberlakukan otoritas mereka terhadap kepulauan tersebut, mengambil alih kekuatan sebenarnya dari para dato, mengkelompokkan barangay menjaid kota, atau “pueblo,” selain memnbuat dato menjadi “cabezas de barrio,” atau “gobernadorcillos.” Beberapa perbedaan lama antara dato, atau “pemimpin,” dan masyarakat umum masih diwakili dalam “gente illustrada,” atau kelas yang lebih kaya, terdidik dan berpengaruh ditempatkan di setiap kota, dan “gente baja,” atau orang miskin dan tak terdidik.
Kelas-kelas Filipina di bawah para Dato.—Disamping dato, menurut Chirino dan Morga, terdapat tiga kelas Filipina; orang bebas, atau “maharlica,” yang tak membayar upeti kepada dato, namun yang menyertainya dalam perang, mengayuhkan perahunya kala ia datang pada sebuah perjalanan, dan menghadirinya di rumahnya. Kelas ini disebut oleh Morga dengan sebutan “timauas.”
Kemudian, terdapat sebuah kelas yang lebih besar, yang nampaknya merupakan orang merdeka atau budak yang dibebaskan, yang memiliki rumah mereka sendiri dan tinggal dengan keluarga mereka, namun memiliki hutang jasa besar pada dato atau maharlica; menyemai dan memanen di sawahnya, menghimpun perangkap ikan, mengayuh prahunya, membangun rumahnya, menghadirinya kala ia memiliki tamu, dan melakukan tugas lainnya yang dapat diperintah oleh pemimpin. Orang semi-bebas tersebut disebut “aliping namamahay,” dan kondisi mengikat mereka diturunkan ke anak mereka.
Disamping itu terdapat kelas budak. Mereka disebut “siguiguiliris,” dan mereka berjumlah banyak. Perbudakan mereka timbul dalam berbagai cara. Beberapa orang yang sejak kecil ditangkap dalam perang dan nyawa mereka dibiarkan. Beberapa menjadi budak dengan menjual kebebasan mereka pada masa kelaparan. Namun kebanyakan dari mereka menjadi budak karena hutang, yang diturunkan dari ayah ke putra. Sejumlah lima atau enam peso dipakai dalam beberapa kasus untuk melepaskan orang dari kebebasannya.
Budak-budak tersebut secara mutlak dimiliki oleh tuan mereka, dan secara teoretikal dapat menjual mereka seperti ternak; disamping kemungkinan buruknya, perbudakan Filipina biasanay tidaklah kejam atau menekan. Budak-budak seringkali diasosiasikan pada hubungan baik dengan tuan mereka dan tak bekerja berlebih. Bentuk perbudakan tersebut masih ada di Filipina pada kalangan Moro di Mindanao dan Jolo. Anak-anak budak mewarisi perbudakan orangtua mereka. Jika seorang orangtua bebas dan orangtua lainnya masih menjadi budak, anak pertama, ketiga dan kelima dibebaskan dan anak kedua, keempat dan keenam diperbudak. Seluruh persoalan pewarisan perbudakan dikerjakan dalam pernjelasan semenit.
Life in the Barangay.—Community feeling was very strong within the barangay. A man could not leave his own barangay for life in another without the consent of the community and the payment of money. If a man of one barrio married a woman of another, their children were divided between the two barangays. The barangay was responsible for the good conduct of its members, and if one of them suffered an injury from a man outside, the whole barangay had to be appeased. Disputes and wrongs between members of the same barangay were referred to a number of old men, who decided the matter in accordance with the customs of the tribe, which were handed down by tradition.12[105]
The Religion of the Filipinos.—The Filipinos on the arrival of the Spaniards were fetish-worshipers, but they had one spirit whom they believed was the greatest of all and the creator or maker of things. The Tagálog called this deity Bathala,13 the Bisaya, Laon, and the Ilocano, Kabunian. They also worshiped the spirits of their ancestors, which were represented by small images called “anitos.” Fetishes, which are any objects believed to possess miraculous power, were common among the people, and idols or images were worshiped. Pigafetta describes some idols which he saw in Cebu, and Chirino tells us that, within the memory of Filipinos whom he knew, they had idols of stone, wood, bone, or the tooth of a crocodile, and that there were some of gold.
They also reverenced animals and birds, especially the crocodile, the raven, and a mythical bird of blue or yellow color, which was called by the name of their deity Bathala.14 They had no temples or public places of worship, but each one had his anitos in his own house and performed his sacrifices and acts of worship there. As sacrifices they killed pigs or chickens, and made such occasions times of feasting, song, and drunkenness. The life of the [106]Filipino was undoubtedly filled with superstitious fears and imaginings.
The Mohammedan Malays.—The Mohammedans outside of southern Mindanao and Jolo, had settled in the vicinity of Manila Bay and on Mindoro, Lubang, and adjacent coasts of Luzon. The spread of Mohammedanism was stopped by the Spaniards, although it is narrated that for a long time many of those living on the shores of Manila Bay refused to eat pork, which is forbidden by the Koran, and practiced the rite of circumcision. As late as 1583, Bishop Salazar, in writing to the king of affairs in the Philippines, says the Moros had preached the law of Mohammed to great numbers in these islands and by this preaching many of the Gentiles had become Mohammedans; and further he adds, “Those who have received this foul law guard it with much persistence and there is great difficulty in making them abandon it; and with cause too, for the reasons they give, to our shame and confusion, are that they were better treated by the preachers of Mohammed than they have been by the preachers of Christ.”15
Material Progress of the Filipinos.—The material surroundings of the Filipino before the arrival of the Spaniards were in nearly every way quite as they are to-day. The “center of population” of each town to-day, with its great church, tribunal, stores and houses of stone and wood, is certainly in marked contrast; but the appearance of a barrio a little distance from the center is to-day probably much as it was then. Then, as now, the bulk of the people lived in humble houses of bamboo [107]and nipa raised on piles above the dampness of the soil; then, as now, the food was largely rice and the excellent fish which abound in river and sea. There were on the water the same familiar bancas and fish corrals, and on land the rice fields and cocoanut groves. The Filipinos had then most of the present domesticated animals,—dogs, cats, goats, chickens, and pigs,—and perhaps in Luzon the domesticated buffalo, although this animal was widely introduced into the Philippines from China after the Spanish conquest. Horses came with the Spaniards and their numbers were increased by the bringing in of Chinese mares, whose importation is frequently mentioned.
The Spaniards introduced also the cultivation of tobacco, coffee, and cacao, and perhaps also the native corn of America, the maize, although Pigafetta says they found it already growing in the Bisayas.
The Filipino has been affected by these centuries of Spanish sovereignty far less on his material side than he has on his spiritual, and it is mainly in the deepening and elevating of his emotional and mental life and not in the bettering of his material condition that advance has been made.
6v37irmzpft0djjfq9wnwo1qfgkddml
99904
99903
2024-11-10T06:16:26Z
Glorious Engine
9499
99904
wikitext
text/x-wiki
<center>'''Bab V'''</center>
<center>'''Masyarakat Filipina Sebelum Kedatangan Spanyol'''</center>
Posisi Suku-suku.—Kala kedatangan Spanyol, masyarakat Filipina nampak tersebar menurut suku-suku sebagaimana kebiasaan yang sama pada saat ini. Kemudian, seperti sekarang, Bisaya menduduki pulau-pulau tengah dari kepulauan tersebut dan beberapa pulau di pantai utara Mindanao. Bicol, Tagálog, dan Pampango berada pada bagian yang sama di Luzon sebagaimana kami temukan mereka pada saat ini. Ilocano menduduki dataran pesisir menghadap Laut Tiongkok, namun sejak kedatangan Spanyol, mereka menyebar dan pemukiman mereka kini tersebar di Pangasinan, Nueva Vizcaya, dan lembah Cagayan.
Jumlah Orang.—Suku-suku tersebut yang pada saat ini berjumlah sekitar 7.000.000 jiwa, pada masa penemuan Magellan, mungkin, tak lebih dari 500.000. Penjumlahan populasi pertama dibuang oleh Spanyol pada 1591, dan meliputi seluruh suku tersebut, memberikan angka kurang dari 700.000. (Lihat Bab VIII., Filipina Tiga Ratus Tahun Lalu.)
Terdapat juga beberapa fakta yang ditunjukkan pada kami bagaimana persebaran penduduk terjadi. Ekspedisi Spanyol mendapati banayk pesisir dan pulau di kelompok Bisayan tanpa penduduk. Terkadang, kapal layar atau perahu akan nampak, dan kemudian akan lenyap di beberapa “estero” kecil atau rawa bakau dan tanah nampak tak berpenduduk seperti sebelumnya. Pada titik tertentu, seperti Limasaua, Butúan, dan Bohol, penduduk asli berjumlah lebih banyak, dan Cebu merupakan komunitas yang besar dan beragam; namun Spantol nyaris menemukannya dimana-aman untuk mencari tempat pemukiman dan lahan penanaman.
Persebaran penduduk juga ditnadai oleh kelimpahan pangan yang besar. Spanyol memiliki banyak kesulitan dalam mengamankan tujuan-tujuannya. Sejumlah kecil beras, seekor babi dan beberapa ayam, didapatkan disini dan disana, namun Filipina tak memiliki suplai yang besar. Usai pemukiman Manila dibuat, sebagian besar pangan kota didatangkan dari Tiongkok. Sangat mudah bagi Spanyol bergerak ke tempat mereka hendaki dan mengurangi masyarakat Filipina untuk setia menunjukkan bahwa orang Filipina berjumlah sedikit. Laguna dan Camarines nampaknya merupakan wilayah paling berpenduduk di kepulauan tersebut. Seluruh hal dan lainnya menunjukkan bahwa masyarakat Filipina hanyalah fraksi kecil dari jumlah mereka saat ini.
Di sisi lain, Negrito nampak berjumlah lebih banyak, atau setidaknya lebih banyak bukti. Mereka secara langsung tercatat pada pulau Negros, tempat kami saat ini mendapati sedikit orang dan memasuki pelosok; dan di sekitaran Manila dan di dalam Batangas, tempat mereka tak lagi ditemukan, wilaayh tersebut diisi dengan masyarakat Tagálog.
Kondisi Budaya.—Budaya dari berbagai suku, yang kini nyaris sama di seluruh kepulauan, menunjukkan beberapa perbedaan. Di Bisaya selatan, tempat Spanyol pertama kali memasuki kepulauan tersebut, nampak ada dua jenis penduduk asli: penghuni bukit, yang tinggal di pelosok kepulauan dalam jumlah sedikit, yang mengenakan rajutan dari pelepah pohon dan yang terkadang membangun rumah mereka di pohon; dan penghuni laut, yang nampak berjumlah lebih banyak seperti suku-suku Moro saat ini di selatan Mindanao, yang dikenal sebagai Sámal, dan yang membangun desa-desa mereka di laut atau pesisir dan banyak tinggal di perahu. Terdapat kemungkinan kedatangan berikutnya pada orang-orang hutan. Dari kedua unsur tersebut, masyarakat Bisaya Filipina turun, namun walau orang pesisir sepenuhnya meninggalkan, beberapa pinggiran bukit masih menganut pagan dan belum berabad, dan harusnya mereka berjumlah lebih banyak kala Spanyol pertama kali datang.
Tingkat budaya tertinggi di pemukiman berada pada perdagangan reguler dengan Kalimantan, Siam dan Tiongkok, dan khususnya sekitaran Manila, tempat banyak Muslim Melayu memiliki koloni-koloni.
Rumpun Bahasa Orang Melayu.—Dengan pengecualian Negrito, seluruh rumpun bahasa Filipina masih satu keluarga besar, yang disebut “Melayu-Polinesia.” Semuanya diyakini berasal dari satu bahasa ibu yang sangat kuno. Ini menunjukkan bagaimana penuturan Melayu-Polinesia tersebut tersebar. Di wilaayh paling jauh di Pasifik, terdapat masyarakat Polinesia, yang kala itu berkelompok pada kepulaaun kecil; yang dikenal sebagai Mikronesia; kemudian Melanesia atau Ppaua; Melayu sepanjang kepulauan Hindia Timur, dan utara rumpun bahasa Filipina. Namun ini bukanlah semuanya; untuk wilayah paling barat di pesisir Afrika adalah pualu Madagaskar, banyak peribahasa dari rumpun bahasa disana yang tak memiliki hubungan dengan Afrika namun masuk pada keluarga Melayu-Polinesia.
Bahasa Tagálog.—Ini harus menjadi persoalan peminatan besar pada Filipina yang peneliti besar Baron William von Humboldt menganggap Tagálog merupakan bahasa terkaya dan paling sempurna dari seluruh bahasa dari keluarga Melayu-Polinesia, dan mungkin jenis dari mereka semua. “Bahasa tersebut menghimpun,” ujarnya, “seluruh bentuk yang secara kolektif berasal dari kata-kata tertentu yang ditemukan secara tunggal dalam dialek lainnya; dan menyajikan mereka semua dengan pengecualian tak terpatahkan, dan sepenuhnya selaras dan simetri.” Para frater Spanyol, kala kedatangan mereka di Filipina, sempat mencurahkan diri mereka untuk mempalajarid ialek asli dan persiapan doa dan katekisme dalam bahasa asli tersebut. Mereka sangat sukses dalam pembelajaran mereka. Padri Chirino berujar pada kami tentang seorang Yesuit yang mempelajari Tagálog dalam tujuh puluh hari untuk berkotbah dan mendengarkan pengampunan dosa. Dalam cara ini, Bisayan, Tagálog, dan Ilocano kemudian dinaungi.
Dalam menyoroti wacana Von Humboldt, ini dinunjukkan bahwa orang-orang Spanyol awal mengucapkan Tagálog dengan sangat sulit dan sangat mengagumkan. “Dari semua itu,” ujar Padre Chirino, “bahasa yang sangat menarik perhatianku dan mengisiku dengan kekaguman adalah Tagálog. Karena, kala ia ditunjuk menjadi uskup agung pertama, dan setelah itu orang serius lainnya, baik disana maupun disini, aku mendapati empat kualitas dari empat bahasa terbaik di dunia: Ibrani, Yunani, Latin, dan Spanyol; dari Ibrani, misteri dan berintang; dari Yunani, artikel-artikel dan prosisisinya tak hanya terapan namun juga pengucapan sebenarnya; dari latin, kekayaan dan elegan, dan dari Spanyol; berlaku baik, jujur dan berani.”
Hubungan Awal dengan Hindu.—Rumpun bahasa Melayu juga berisi sejumlah besar kata yang dipinjam dari Sanskerta, dan di dalamnya meliputi Tagálog, Bisayan, dan Ilocano. Apapun kata yang berlalu selaras dari satu kelompok Melayu ke kelompok lainnya, atau apa yang mereka perkenalkan lewat keberadaan dan kekuatan sebenarnya Hindu di kepulauan tersebut, berlandasan adil untuk perdebatan; namun kasus untuk posisi tersebut berjalan baik dan sempurna oleh Dr. Pardo de Tavera bahwa kesimpulannya disampaikan dalam kata-katanya sendiri. “Kata-kata yang dipinjam Tagálog,” ujarnya, “adalah kata-kata yang menunjukkan tindakan intelektual, pembentukan moral, emosi, penaungan, nama desa, planet, bilangan jumlah tinggi, botani, perang dan hasil dan dampaknya, dan pada akhirnya gelar dan martabat, beberapa hewan, alat industri, dan nama-nama uang.”
Dari bukti karya-karya tersebut, Dr. Pardo berpendapat bahwa pada suatu waktu dalam sejaraha wal Filipina, yang sebetulnya bukanlah hubungan perdagangan, seperti Tionghoa, namun dominasi politik dan sosial Hindu. “Aku tak yakin,” ujarnya, “dan aku melandasi opininya pada kata-kata ayng sama bahwa aku membawa serta dalam pengucapan tersebut, bahwa Hindu singkatnya adalah pedagang, namun mereka mendominasi bagian berbeda dari kepulauan tersebut, tempat saaat ini menuturkan banyak bahasa berbudaya,—Tagálo, Visayan, Pampanga, dan Ilocano; dan bahwa budaya yang lebih tinggi dari rumpun bahasa tersebut secara pasti datang dari pengaruh ras Hindu pada Filipina.”
Hindu di Filipina.—“Tak mungkin untuk meyakini bahwa Hindu, jika mereka datang hanya sebagai pedagang, namun jumlah mereka besar, akan menekan diri mereka sendiri dalam cara semacam itu untuk memberikan jumlah kepada penduduk pulau tersebut dan jenis kata yang mereka berikan. Nama-nama hadirin, cacique, fungsioner tinggi istana, bangsawati, menandakan bahwa seluruh jabatan tinggi dengan nama-nama asal Sanskerta pada suatu saat diduduki oleh orang yang menuturkan bahasa tersebut. Kata-kata bercikal bakal serupa untuk obyek-obyek perang, benteng dan lagu tempur, untuk obyek-obyek rancangan kepercayaan agama, untuk penaungan, emosi, perasaan, kegiatan industrial dan perkebunan, menunjukkan kami dengan jelas bahwa perang, agama, sastra, industri dan pertanian pada suatu waktu berada di tangan Hindu, dan bahwa ras tersebut secara efektif menjadi dominan di Filipina.”
Sistem Penulisan di kalangan Filipina.—Kala Spanyol datang ke Filipina, masyarakat Filipina memakai sitem penulisan yang dipinjam dari sumber-sumber Hindu atau Jawa. Persoalan tersebut sangat penting bahwa tak ada orang yang dapat melakukan hal yang lebih baik ketimbang yang dikutip sepenuhnya pada catatan Padre Chirino, karena ia merupakan penulsi Spanyol pertama yang menyebutkannya dan catatannya sangat lengkap.
“Sehingga memberikan para penduduk pulau tersebut untuk membaca dan menulis sangatlah uslit selaku manusia, dan lebih kurang seorang wanita, yang tak membaca dan menulis huruf yang selaras dengan pulau Manila, sangat berbeda dari Tiongkok, Jepang, dan india, karena akan nampak dari abjad berikut.
Namun dengan semuanya, dan tanpa banyak perombakan, mereka membuat diri mereka sendiri mengerti, dan mereka sendiri memahami secara menakjubkan. Dan pembaca mensuplai, dengan keterampilan dan kemudahan besar, konsonan yang kurang. Kami mempelajari dari mereka unruk menulis baris dari tanagn kiri ke kanan, namun dulunya mereka hanya menulsi dari atas ke bawah, menempatkan baris pertama (jika aku ingat dengan benar) di sisi kiri, dan melanjutkannya dengan lainnya di kanan, berbeda dengan Tionghoa dan Jepang.... Mereka menulis pada batang atau daun kelapa, memakai pena ujung besi. Kini dalam penulisan tak hanya milik mereka sendiri namun juga huruf mereka, mereka memakai bulu yang dipotong dengan sangat baik, dan keras seperti milik kami sendiri.
Kami memahami bahasa dan pengucapan mereka, dan mereka mampu menulis dengan baik, dan bahkan lebih baik; karena mereka sangat menerangi bahwa mereka memahami segala hal dengan kemudahan terbesar. Aku membawa denganku tulisan tangan dengan penulisan yang sangat baik dan benar. Di Tigbauan, aku memiliki sekolah anak yang sangat kecil, yang dalam waktu tiga bulan memahami, dengan salinan dari tulisan yang ditulis dengan baik yang aku rancang oadanya, untuk menulis lebih baik ketimbang aku, dan mentranskripsikan untukku tulisan-tulisan penting yang sangat terpercaya, tanpa kesalahan atau kekeliruan. Namun kebutuhan bahasa dan tata tulis; kini menggerakkan kami kembali ke perkajaan kami dengan jiwa manusia.”
Sumber Sanskerta dari Abjad Filipina.—Disamping Tagálog, Bisaya, Pampango, Pangasinan, dan Ilocano memiliki abjad, atau lebih tepatnya silabus yang mirip dengannya. Dr. Pardo de Tavera mengumpulkan banyak data terkait mereka, dan menunjukkan bahwa mereka tanpa ragu diraih oleh Filipina dari sumber Sanskerta.
Penulisan Filipina Awal.—Masyarakat Filipina memakai penulisan tersebut untuk merancang syair dan lagu mereka, yang merupakan satu-satunya sastra mereka. Namun, tak ada darinya yang didapati datang dari mereka, dan Filipina kemudian mengadopsi abjad Spanyol, menulis silabus yang dibutuhkan untuk menulis bahasa mereka dari huruf-huruf tersebut. Sebagaimana seluruh nilai-nilai fonetik, ini masih sangat mudah bagi seorang Filipina untuk belajar berucap dan membaca dengan bahasanya sendiri. Karakter-karakter lama digantungkan selama dua abad, di tempat-tempat tertentu. Padre Totanes berujar pada kami bahwa jarang pada 1705 untuk mendapati orang yang dapat menggunakannya; namun Tagbanua, sebuah suku pagan di pulau Paragua, memakai silabus serupa sampai saat ini. Disamping syair, mereka memiliki lagu yang mereka nyanyikan kala mereka mengayuh perahu mereka, kala mereka menumbuk beras dari sekamnya, dan kala mereka berkumpul untuk berpesta atau hiburan; dan secara khusus terdapat lagu-lagu untuk orang mati. Dalam lagu-lagu tersebut, ujar Chirino, mereka mendendangkan perbuatan leluhur mereka atau dewa mereka.
Tionghoa di Filipina.—Perdagangan Awal.—Hal yang sangat berbeda dari Hindu adalah pengaruh awal Tionghoa. Tak ada bukti bahwa, sebelum penaklukan Spanyol, Tionghoa menetap atau mengkolonisasikan kepulauan tersebut secara keseluruhan; dan bahkan tiga ratus tahun sebelum kedatangan Magellan, armada dagang mereka giat datang kesini dan beberapa pulau juga mengenal mereka. Satu bukti perdagangan prasejarah berada pada guci dan tembikar Tionghoa kuno yang diangkat di sekitaran Manila, namun tulisan Tionghoa mereka sendiri menghiasnya bahkan dengan sangat baik. Sekitar permulaan abad ketiga belas, walau tak lebih awal ketimbang 1205, seorang penulis Tionghoa bernama Chao Ju-kua menulis karya tentang perdaagngan maritim orang Tionghoa. Satu bab dari karyanya ditujukan untuk Filipina. yang ia sebut negara Mayi. Menurut catatan tersebut, ini menandakan bahwa Tionghoa familiar dengan pulau-pulau di kepulauan tersebut pada tujuh ratus tahun silam.
Tionghoa, Deskripsi Masyarakat.—“Negara Mayi,” ujar karya klasik tersebut, “berada di utara Poni (Burney, atau Kalimantan). Sekitar seribu keluarga mendiami tepi gelombang yang sangat berangin. Penduduk asli mengenakan diri mereka dengan lapisan kain yang mengingatkan pada lembar kasur, atau menutup tubuh mereka dengan sarong. (sarong berwarna abu-abu, rajutan khas Melayu.) Di sekitaran hutan luar, terdapat gambar-gambar Buddha tembaga, namun tak ada orang yang mengetahui bagaimana benda tersebut berada disana.
“Kala kapal-kapal pedagang (Tionghoa) datang ke pelabuhan ini, mereka belabuh di depan sebuah tempat terbuka ... yang dijadikan sebagai pasar, tempat mereka berdagang dengan hasil bumi dari wilayah tersebut. Kala kapal memasuki pelabuhan, kapten menghadirkan payung-payung putih (kepada para mandarin). Para pedagang diminta untuk membayar upeti tersebut dalam rangka menerima kehendak baik dari para tuannya.” Produk-produk wilayah tersebut dikatakan adalah malam kuning, kapas, mutiara, kerang, buah pinang, dan busana yuta, yang mungkin merupakan salah satu dari beberapa busana yang masih dirajut abacá, atau piña. Barang-barang yang diimpor oleh Tionghoa adalah “porselen, emas dagang, bahan timbal, manik-manik kaca dari segaal warna, pansi masak besi, dan jarum besi.”
Negrito.—Hal yang paling membuat penasaran adalah penyebutan akurat dalam penulisan Tionghoa mengenai Negrito, catatan pertama dari seluruh catatan mengenai orang kulit hitam kecil tersebut. “Di pelosok lembah, tinggal sebuah ras bernama Hai-tan (Acta). Mereka memiliki ukuran badan yang rendah, mata bulat warna kuning, rambut keriting, dan gigi mereka mudah nampak di antara bibir mereka. (Ini mungkin tak dihitamkan dengan mengunyah pinang atau bahan buatan.) Mereka membangun sangkar di atas pohon dan masing-masing sangkar dihuni satu keluarga, yang hanya terdiri dari tiga sampai lima orang. Mereka berjelajah di sekitaran wilayah terdalam hutan, dan, tanpa melihat diri mereka sendiri, menembakkan panah mereka kepada para pelintas; karena alasan tersebut, mereka sangat ditakuti. Jik pedagang (Tionghoa) membawakan mereka mangkuk porselen kecil, mereka akan memutuskan untuk menangkapnya dan kemudian melarikannya, berteriak dengan bahagia.”
Peningkatan dalam Perdagangan Tionghoa.—Kapal-kapal jung juga mengunjungi kepulauan yang lebih tengah, namun disini lalu lintas dilakukan pada kapal-kapal tersebut, Tionghoa yang datang mengumumkan diri mereka sendiri dengan memukul gong dan masyarakat Filipina berdatangan kepada mereka dengan perahu-perahu penerangan mereka. Salah satu hal lainnya yang ditawarkan disini oleh penduduk asli untuk perdagangan disebut “busana aneh,” mungkin cinamay atau jusi, dan tikar halus.
Perdagangan Tionghoa tersebut mungkin terus berlanjut sampai kedatangan Spanyol. Kala itu, wilayah tersebut menerima peningkatan melalui tawaran untuk produk pangan dan perangkat Tionghoa yang dibuat oleh Spanyol, dan karena nilai perak Meksiko yang ditawarkan Spanyol dalam pertukaran.
Perdagangan dengan Melayu Moro di Selatan.—Penyebaran Islam dan khususnya pembentukan koloni Kalimantan membawa Filipina menjadi hubungan komersial penting dengan Melayu di selatan. Sebelum kedatangan Spanyol, hubungan tersebut nampak bersahabat dan damai. Muslim Melayu mengirim perahu ke utara untuk keperluan dagang, dan mereka juga bermukim di Filipina utara sebagaimana mereka berada di Mindanao.
Kala armada Legaspi, tak lama usai kedatangannya, singgah di dekat pulau Bohol, “Maestro de Campo” mengalami pertarungan sengit dengan kapal Moro yang datang untuk berdagang, dan mengambil enam tahanan. Salah satu dari mereka, yang mereka sebut “pilot,” sering diinterogasi oleh Adelantado dan beberapa informasi penting diterima, yang dicatat oleh Padre San Augustin. Legaspi memiliki seorang penerjemah budak Melayu dengannya dan San Augustin berujar bahwa Padre Urdaneta “memahami bahasa Melayu dengan baik.” Pilot berujar bahwa “orang-orang di Kalimantan dibawa untuk berdagang dengan Filipina, tembaga dan timah, yang dibawa dari Tiongkok ke Kalimantan, porselen, hidangan dan lonceng yang dibuat dalam gaya mereka, sangat berbeda dari orang-orang yang dipakai umat Kristen, dan benzoin, dan jubah-jubah berwarna dari India, dan alat-alat masak yang dibuat di Tiongkok, dan yang mereka juga membawa tombak besi yang diolah dengan sangat baik, dan pisau dan barang barter lainnya, dan bahwa dalam pertukaran untuk mereka, mereka menempatkan emas, budak, malam dan jenis kerang laut kecil yang mereka sebut ‘sijueyes’ dari kepulauan tersebut, dan yang melintas untuk uang di kerajaan Siam dan tempat lainnya; dan juga menghantarkan mereka beberapa busana putih, yang berjumlah besar di kepulauan tersebut.”
Butúan, di pantai utara Mindanao, nampak merupakan tempat dagang yang disinggahi oleh kaapl-kapal dari segala penjuru. Wilaayh tersebut, seperti kebanyakan belahan Filipina lainnya, menghasilkan sejumlah kecil emas, dan seluruh pelayaran awal mencari emas dan hiasan penduduk asli. Butúan juga menghasilkan tebu dan merupakan pelabuhan dagang untuk para budak. Lalu lintas tak menguntungkan dalam kehidupan manusia nampak bukanlah hal yang tak lazim, dan tanpa ragu dilakukan lewat perdagangan dengan Kalimatan. Kapal-kapal jung dari Siam berdagang dengan Cebu juga dilawan oleh Spanyol.
Hasil dari Perhubungan dan Perdagangan.—Perhubungan dan lalu lintas dialami Filipina dengan berbagai unsur kehidupan peradaban sebelum kedatangan Spanyol. Para kepala suku dan dato berbusana sutra, dan menghimpun beberapa kendali di sekitar; nyaris seluruh penduduk suku pesisir menulsi dan berkomunikasi oleh cara silabus; kapal-kapal dari Luzon berdagang sampai selatan jauh di Mindanao dan Borneo, walaupun barang-barang Asia sebenarnya datang lewat armada warga asing; dan mungkin aap yang mengindikasikan secara lebih jelas ketimbang hal lainnya yang memajukan Filipina membuat komunikasi mereka dengan orang luar menjadi penggunaan senjata api mereka. Dari titik ini, tidak ada pertanyaan. Setipa tempat di sekitaran Manila, di Lubang, di Pampanga, di Cainta dan Laguna de Bay, Spanyol melawan benteng-benteng yang mengerahkan meriam kecil, atau “lantaka.” Selain itu, masyarakat Filipina nampak memahami seni pemasangan meriam dan membuat bubuk. Pabrik meriam pertama didirikan oleh Spanyol dalam pertikaran dengan orang Filipina dari Pampanga.
Kehidupan Politik dan Sosial Awal.—Barangay.—Sisi terlemah dari budaya Filipina awal adalah organisasi politik dan sosial mereka, dan mereka lemah disini tentunya dalam cara yang sama agar suku bangsa tak beradab di Luzon utara masih lemah. Negara mereka tak melingkupi seluruh suku atau bangsa; ini singkatnya meliputi komunitas. Di luar pemukim di tempat sekitaran langsung, seluruh orang lainnya adalah musuh atau kebanyakan warga asing. Tak ada negara besar yang berada di Filipina, bahkan raja besar dan sultan seperti yang ditemukan di Kepulauan Melayu, namun sebagai gantinya di seluruh pulau terdapat sejumlah komunitas kecil, yang masing-masing merdeka satu sama lain dan seringkali berperang.
Unit tatanan kekuatan politik mereka merupakan sekelompok rumah kecil dari tiga puluh sampai seratus keluarga, yang disebut “barangay,” dan yang masih ada di Filipina sebagai “barrio.” Di puncak setiap barangay adalah seorang pemimpin yang dikenal sebagai “dato,” sebuah kata yang tak lagi dipakai di Filipina utara, walau masih dipakai di kalangan Moro Mindanao. Kekuatan para dato dalam wilaayh kecil mereka nampaknya besar, dan mereka dipelakukan dengan sangat hormat oleh masyarakat.
Barangay-barangay dikelompokkan bersama dalam federasi kecil yang meliputi nyaris sebesar wilayah kota saat ini, yang urusannya ditangani oleh kepala suku atau dato, walau terkadang mereka nampak sepenuhnya setia pada pemimpin tunggal, yang dikenal di beberapa tempat sebagai “hari,” pada kesempatan lain memakai kata Hindu “raja,” atau istilah Muslim “sultan.” Terkadang, kekuatan salah satu raja nampak menyebar sampai seluruh pulau kecil, namun biasanya “kerajaan” mereka hanya meliputi beberapa mil.
Perubahan yang Dibuat oleh Spanyol.—Spanyol, dalam memberlakukan otoritas mereka terhadap kepulauan tersebut, mengambil alih kekuatan sebenarnya dari para dato, mengkelompokkan barangay menjaid kota, atau “pueblo,” selain memnbuat dato menjadi “cabezas de barrio,” atau “gobernadorcillos.” Beberapa perbedaan lama antara dato, atau “pemimpin,” dan masyarakat umum masih diwakili dalam “gente illustrada,” atau kelas yang lebih kaya, terdidik dan berpengaruh ditempatkan di setiap kota, dan “gente baja,” atau orang miskin dan tak terdidik.
Kelas-kelas Filipina di bawah para Dato.—Disamping dato, menurut Chirino dan Morga, terdapat tiga kelas Filipina; orang bebas, atau “maharlica,” yang tak membayar upeti kepada dato, namun yang menyertainya dalam perang, mengayuhkan perahunya kala ia datang pada sebuah perjalanan, dan menghadirinya di rumahnya. Kelas ini disebut oleh Morga dengan sebutan “timauas.”
Kemudian, terdapat sebuah kelas yang lebih besar, yang nampaknya merupakan orang merdeka atau budak yang dibebaskan, yang memiliki rumah mereka sendiri dan tinggal dengan keluarga mereka, namun memiliki hutang jasa besar pada dato atau maharlica; menyemai dan memanen di sawahnya, menghimpun perangkap ikan, mengayuh prahunya, membangun rumahnya, menghadirinya kala ia memiliki tamu, dan melakukan tugas lainnya yang dapat diperintah oleh pemimpin. Orang semi-bebas tersebut disebut “aliping namamahay,” dan kondisi mengikat mereka diturunkan ke anak mereka.
Disamping itu terdapat kelas budak. Mereka disebut “siguiguiliris,” dan mereka berjumlah banyak. Perbudakan mereka timbul dalam berbagai cara. Beberapa orang yang sejak kecil ditangkap dalam perang dan nyawa mereka dibiarkan. Beberapa menjadi budak dengan menjual kebebasan mereka pada masa kelaparan. Namun kebanyakan dari mereka menjadi budak karena hutang, yang diturunkan dari ayah ke putra. Sejumlah lima atau enam peso dipakai dalam beberapa kasus untuk melepaskan orang dari kebebasannya.
Budak-budak tersebut secara mutlak dimiliki oleh tuan mereka, dan secara teoretikal dapat menjual mereka seperti ternak; disamping kemungkinan buruknya, perbudakan Filipina biasanya tidaklah kejam atau menekan. Budak-budak seringkali diasosiasikan pada hubungan baik dengan tuan mereka dan tak bekerja berlebih. Bentuk perbudakan tersebut masih ada di Filipina pada kalangan Moro di Mindanao dan Jolo. Anak-anak budak mewarisi perbudakan orangtua mereka. Jika seorang orangtua bebas dan orangtua lainnya masih menjadi budak, anak pertama, ketiga dan kelima dibebaskan dan anak kedua, keempat dan keenam diperbudak. Seluruh persoalan pewarisan perbudakan dikerjakan dalam pernjelasan semenit.
Life in the Barangay.—Community feeling was very strong within the barangay. A man could not leave his own barangay for life in another without the consent of the community and the payment of money. If a man of one barrio married a woman of another, their children were divided between the two barangays. The barangay was responsible for the good conduct of its members, and if one of them suffered an injury from a man outside, the whole barangay had to be appeased. Disputes and wrongs between members of the same barangay were referred to a number of old men, who decided the matter in accordance with the customs of the tribe, which were handed down by tradition.12[105]
The Religion of the Filipinos.—The Filipinos on the arrival of the Spaniards were fetish-worshipers, but they had one spirit whom they believed was the greatest of all and the creator or maker of things. The Tagálog called this deity Bathala,13 the Bisaya, Laon, and the Ilocano, Kabunian. They also worshiped the spirits of their ancestors, which were represented by small images called “anitos.” Fetishes, which are any objects believed to possess miraculous power, were common among the people, and idols or images were worshiped. Pigafetta describes some idols which he saw in Cebu, and Chirino tells us that, within the memory of Filipinos whom he knew, they had idols of stone, wood, bone, or the tooth of a crocodile, and that there were some of gold.
They also reverenced animals and birds, especially the crocodile, the raven, and a mythical bird of blue or yellow color, which was called by the name of their deity Bathala.14 They had no temples or public places of worship, but each one had his anitos in his own house and performed his sacrifices and acts of worship there. As sacrifices they killed pigs or chickens, and made such occasions times of feasting, song, and drunkenness. The life of the [106]Filipino was undoubtedly filled with superstitious fears and imaginings.
The Mohammedan Malays.—The Mohammedans outside of southern Mindanao and Jolo, had settled in the vicinity of Manila Bay and on Mindoro, Lubang, and adjacent coasts of Luzon. The spread of Mohammedanism was stopped by the Spaniards, although it is narrated that for a long time many of those living on the shores of Manila Bay refused to eat pork, which is forbidden by the Koran, and practiced the rite of circumcision. As late as 1583, Bishop Salazar, in writing to the king of affairs in the Philippines, says the Moros had preached the law of Mohammed to great numbers in these islands and by this preaching many of the Gentiles had become Mohammedans; and further he adds, “Those who have received this foul law guard it with much persistence and there is great difficulty in making them abandon it; and with cause too, for the reasons they give, to our shame and confusion, are that they were better treated by the preachers of Mohammed than they have been by the preachers of Christ.”15
Material Progress of the Filipinos.—The material surroundings of the Filipino before the arrival of the Spaniards were in nearly every way quite as they are to-day. The “center of population” of each town to-day, with its great church, tribunal, stores and houses of stone and wood, is certainly in marked contrast; but the appearance of a barrio a little distance from the center is to-day probably much as it was then. Then, as now, the bulk of the people lived in humble houses of bamboo [107]and nipa raised on piles above the dampness of the soil; then, as now, the food was largely rice and the excellent fish which abound in river and sea. There were on the water the same familiar bancas and fish corrals, and on land the rice fields and cocoanut groves. The Filipinos had then most of the present domesticated animals,—dogs, cats, goats, chickens, and pigs,—and perhaps in Luzon the domesticated buffalo, although this animal was widely introduced into the Philippines from China after the Spanish conquest. Horses came with the Spaniards and their numbers were increased by the bringing in of Chinese mares, whose importation is frequently mentioned.
The Spaniards introduced also the cultivation of tobacco, coffee, and cacao, and perhaps also the native corn of America, the maize, although Pigafetta says they found it already growing in the Bisayas.
The Filipino has been affected by these centuries of Spanish sovereignty far less on his material side than he has on his spiritual, and it is mainly in the deepening and elevating of his emotional and mental life and not in the bettering of his material condition that advance has been made.
r6ke7d7xpy3run4a9krm3ttvwdhq8qs
99916
99904
2024-11-10T06:49:14Z
Glorious Engine
9499
99916
wikitext
text/x-wiki
<center>'''Bab V'''</center>
<center>'''Masyarakat Filipina Sebelum Kedatangan Spanyol'''</center>
Posisi Suku-suku.—Kala kedatangan Spanyol, masyarakat Filipina nampak tersebar menurut suku-suku sebagaimana kebiasaan yang sama pada saat ini. Kemudian, seperti sekarang, Bisaya menduduki pulau-pulau tengah dari kepulauan tersebut dan beberapa pulau di pantai utara Mindanao. Bicol, Tagálog, dan Pampango berada pada bagian yang sama di Luzon sebagaimana kami temukan mereka pada saat ini. Ilocano menduduki dataran pesisir menghadap Laut Tiongkok, namun sejak kedatangan Spanyol, mereka menyebar dan pemukiman mereka kini tersebar di Pangasinan, Nueva Vizcaya, dan lembah Cagayan.
Jumlah Orang.—Suku-suku tersebut yang pada saat ini berjumlah sekitar 7.000.000 jiwa, pada masa penemuan Magellan, mungkin, tak lebih dari 500.000. Penjumlahan populasi pertama dibuang oleh Spanyol pada 1591, dan meliputi seluruh suku tersebut, memberikan angka kurang dari 700.000. (Lihat Bab VIII., Filipina Tiga Ratus Tahun Lalu.)
Terdapat juga beberapa fakta yang ditunjukkan pada kami bagaimana persebaran penduduk terjadi. Ekspedisi Spanyol mendapati banayk pesisir dan pulau di kelompok Bisayan tanpa penduduk. Terkadang, kapal layar atau perahu akan nampak, dan kemudian akan lenyap di beberapa “estero” kecil atau rawa bakau dan tanah nampak tak berpenduduk seperti sebelumnya. Pada titik tertentu, seperti Limasaua, Butúan, dan Bohol, penduduk asli berjumlah lebih banyak, dan Cebu merupakan komunitas yang besar dan beragam; namun Spantol nyaris menemukannya dimana-aman untuk mencari tempat pemukiman dan lahan penanaman.
Persebaran penduduk juga ditnadai oleh kelimpahan pangan yang besar. Spanyol memiliki banyak kesulitan dalam mengamankan tujuan-tujuannya. Sejumlah kecil beras, seekor babi dan beberapa ayam, didapatkan disini dan disana, namun Filipina tak memiliki suplai yang besar. Usai pemukiman Manila dibuat, sebagian besar pangan kota didatangkan dari Tiongkok. Sangat mudah bagi Spanyol bergerak ke tempat mereka hendaki dan mengurangi masyarakat Filipina untuk setia menunjukkan bahwa orang Filipina berjumlah sedikit. Laguna dan Camarines nampaknya merupakan wilayah paling berpenduduk di kepulauan tersebut. Seluruh hal dan lainnya menunjukkan bahwa masyarakat Filipina hanyalah fraksi kecil dari jumlah mereka saat ini.
Di sisi lain, Negrito nampak berjumlah lebih banyak, atau setidaknya lebih banyak bukti. Mereka secara langsung tercatat pada pulau Negros, tempat kami saat ini mendapati sedikit orang dan memasuki pelosok; dan di sekitaran Manila dan di dalam Batangas, tempat mereka tak lagi ditemukan, wilaayh tersebut diisi dengan masyarakat Tagálog.
Kondisi Budaya.—Budaya dari berbagai suku, yang kini nyaris sama di seluruh kepulauan, menunjukkan beberapa perbedaan. Di Bisaya selatan, tempat Spanyol pertama kali memasuki kepulauan tersebut, nampak ada dua jenis penduduk asli: penghuni bukit, yang tinggal di pelosok kepulauan dalam jumlah sedikit, yang mengenakan rajutan dari pelepah pohon dan yang terkadang membangun rumah mereka di pohon; dan penghuni laut, yang nampak berjumlah lebih banyak seperti suku-suku Moro saat ini di selatan Mindanao, yang dikenal sebagai Sámal, dan yang membangun desa-desa mereka di laut atau pesisir dan banyak tinggal di perahu. Terdapat kemungkinan kedatangan berikutnya pada orang-orang hutan. Dari kedua unsur tersebut, masyarakat Bisaya Filipina turun, namun walau orang pesisir sepenuhnya meninggalkan, beberapa pinggiran bukit masih menganut pagan dan belum berabad, dan harusnya mereka berjumlah lebih banyak kala Spanyol pertama kali datang.
Tingkat budaya tertinggi di pemukiman berada pada perdagangan reguler dengan Kalimantan, Siam dan Tiongkok, dan khususnya sekitaran Manila, tempat banyak Muslim Melayu memiliki koloni-koloni.
Rumpun Bahasa Orang Melayu.—Dengan pengecualian Negrito, seluruh rumpun bahasa Filipina masih satu keluarga besar, yang disebut “Melayu-Polinesia.” Semuanya diyakini berasal dari satu bahasa ibu yang sangat kuno. Ini menunjukkan bagaimana penuturan Melayu-Polinesia tersebut tersebar. Di wilaayh paling jauh di Pasifik, terdapat masyarakat Polinesia, yang kala itu berkelompok pada kepulaaun kecil; yang dikenal sebagai Mikronesia; kemudian Melanesia atau Ppaua; Melayu sepanjang kepulauan Hindia Timur, dan utara rumpun bahasa Filipina. Namun ini bukanlah semuanya; untuk wilayah paling barat di pesisir Afrika adalah pualu Madagaskar, banyak peribahasa dari rumpun bahasa disana yang tak memiliki hubungan dengan Afrika namun masuk pada keluarga Melayu-Polinesia.
Bahasa Tagálog.—Ini harus menjadi persoalan peminatan besar pada Filipina yang peneliti besar Baron William von Humboldt menganggap Tagálog merupakan bahasa terkaya dan paling sempurna dari seluruh bahasa dari keluarga Melayu-Polinesia, dan mungkin jenis dari mereka semua. “Bahasa tersebut menghimpun,” ujarnya, “seluruh bentuk yang secara kolektif berasal dari kata-kata tertentu yang ditemukan secara tunggal dalam dialek lainnya; dan menyajikan mereka semua dengan pengecualian tak terpatahkan, dan sepenuhnya selaras dan simetri.” Para frater Spanyol, kala kedatangan mereka di Filipina, sempat mencurahkan diri mereka untuk mempalajarid ialek asli dan persiapan doa dan katekisme dalam bahasa asli tersebut. Mereka sangat sukses dalam pembelajaran mereka. Padri Chirino berujar pada kami tentang seorang Yesuit yang mempelajari Tagálog dalam tujuh puluh hari untuk berkotbah dan mendengarkan pengampunan dosa. Dalam cara ini, Bisayan, Tagálog, dan Ilocano kemudian dinaungi.
Dalam menyoroti wacana Von Humboldt, ini dinunjukkan bahwa orang-orang Spanyol awal mengucapkan Tagálog dengan sangat sulit dan sangat mengagumkan. “Dari semua itu,” ujar Padre Chirino, “bahasa yang sangat menarik perhatianku dan mengisiku dengan kekaguman adalah Tagálog. Karena, kala ia ditunjuk menjadi uskup agung pertama, dan setelah itu orang serius lainnya, baik disana maupun disini, aku mendapati empat kualitas dari empat bahasa terbaik di dunia: Ibrani, Yunani, Latin, dan Spanyol; dari Ibrani, misteri dan berintang; dari Yunani, artikel-artikel dan prosisisinya tak hanya terapan namun juga pengucapan sebenarnya; dari latin, kekayaan dan elegan, dan dari Spanyol; berlaku baik, jujur dan berani.”
Hubungan Awal dengan Hindu.—Rumpun bahasa Melayu juga berisi sejumlah besar kata yang dipinjam dari Sanskerta, dan di dalamnya meliputi Tagálog, Bisayan, dan Ilocano. Apapun kata yang berlalu selaras dari satu kelompok Melayu ke kelompok lainnya, atau apa yang mereka perkenalkan lewat keberadaan dan kekuatan sebenarnya Hindu di kepulauan tersebut, berlandasan adil untuk perdebatan; namun kasus untuk posisi tersebut berjalan baik dan sempurna oleh Dr. Pardo de Tavera bahwa kesimpulannya disampaikan dalam kata-katanya sendiri. “Kata-kata yang dipinjam Tagálog,” ujarnya, “adalah kata-kata yang menunjukkan tindakan intelektual, pembentukan moral, emosi, penaungan, nama desa, planet, bilangan jumlah tinggi, botani, perang dan hasil dan dampaknya, dan pada akhirnya gelar dan martabat, beberapa hewan, alat industri, dan nama-nama uang.”
Dari bukti karya-karya tersebut, Dr. Pardo berpendapat bahwa pada suatu waktu dalam sejaraha wal Filipina, yang sebetulnya bukanlah hubungan perdagangan, seperti Tionghoa, namun dominasi politik dan sosial Hindu. “Aku tak yakin,” ujarnya, “dan aku melandasi opininya pada kata-kata ayng sama bahwa aku membawa serta dalam pengucapan tersebut, bahwa Hindu singkatnya adalah pedagang, namun mereka mendominasi bagian berbeda dari kepulauan tersebut, tempat saaat ini menuturkan banyak bahasa berbudaya,—Tagálo, Visayan, Pampanga, dan Ilocano; dan bahwa budaya yang lebih tinggi dari rumpun bahasa tersebut secara pasti datang dari pengaruh ras Hindu pada Filipina.”
Hindu di Filipina.—“Tak mungkin untuk meyakini bahwa Hindu, jika mereka datang hanya sebagai pedagang, namun jumlah mereka besar, akan menekan diri mereka sendiri dalam cara semacam itu untuk memberikan jumlah kepada penduduk pulau tersebut dan jenis kata yang mereka berikan. Nama-nama hadirin, cacique, fungsioner tinggi istana, bangsawati, menandakan bahwa seluruh jabatan tinggi dengan nama-nama asal Sanskerta pada suatu saat diduduki oleh orang yang menuturkan bahasa tersebut. Kata-kata bercikal bakal serupa untuk obyek-obyek perang, benteng dan lagu tempur, untuk obyek-obyek rancangan kepercayaan agama, untuk penaungan, emosi, perasaan, kegiatan industrial dan perkebunan, menunjukkan kami dengan jelas bahwa perang, agama, sastra, industri dan pertanian pada suatu waktu berada di tangan Hindu, dan bahwa ras tersebut secara efektif menjadi dominan di Filipina.”
Sistem Penulisan di kalangan Filipina.—Kala Spanyol datang ke Filipina, masyarakat Filipina memakai sitem penulisan yang dipinjam dari sumber-sumber Hindu atau Jawa. Persoalan tersebut sangat penting bahwa tak ada orang yang dapat melakukan hal yang lebih baik ketimbang yang dikutip sepenuhnya pada catatan Padre Chirino, karena ia merupakan penulsi Spanyol pertama yang menyebutkannya dan catatannya sangat lengkap.
“Sehingga memberikan para penduduk pulau tersebut untuk membaca dan menulis sangatlah uslit selaku manusia, dan lebih kurang seorang wanita, yang tak membaca dan menulis huruf yang selaras dengan pulau Manila, sangat berbeda dari Tiongkok, Jepang, dan india, karena akan nampak dari abjad berikut.
Namun dengan semuanya, dan tanpa banyak perombakan, mereka membuat diri mereka sendiri mengerti, dan mereka sendiri memahami secara menakjubkan. Dan pembaca mensuplai, dengan keterampilan dan kemudahan besar, konsonan yang kurang. Kami mempelajari dari mereka unruk menulis baris dari tanagn kiri ke kanan, namun dulunya mereka hanya menulsi dari atas ke bawah, menempatkan baris pertama (jika aku ingat dengan benar) di sisi kiri, dan melanjutkannya dengan lainnya di kanan, berbeda dengan Tionghoa dan Jepang.... Mereka menulis pada batang atau daun kelapa, memakai pena ujung besi. Kini dalam penulisan tak hanya milik mereka sendiri namun juga huruf mereka, mereka memakai bulu yang dipotong dengan sangat baik, dan keras seperti milik kami sendiri.
Kami memahami bahasa dan pengucapan mereka, dan mereka mampu menulis dengan baik, dan bahkan lebih baik; karena mereka sangat menerangi bahwa mereka memahami segala hal dengan kemudahan terbesar. Aku membawa denganku tulisan tangan dengan penulisan yang sangat baik dan benar. Di Tigbauan, aku memiliki sekolah anak yang sangat kecil, yang dalam waktu tiga bulan memahami, dengan salinan dari tulisan yang ditulis dengan baik yang aku rancang oadanya, untuk menulis lebih baik ketimbang aku, dan mentranskripsikan untukku tulisan-tulisan penting yang sangat terpercaya, tanpa kesalahan atau kekeliruan. Namun kebutuhan bahasa dan tata tulis; kini menggerakkan kami kembali ke perkajaan kami dengan jiwa manusia.”
Sumber Sanskerta dari Abjad Filipina.—Disamping Tagálog, Bisaya, Pampango, Pangasinan, dan Ilocano memiliki abjad, atau lebih tepatnya silabus yang mirip dengannya. Dr. Pardo de Tavera mengumpulkan banyak data terkait mereka, dan menunjukkan bahwa mereka tanpa ragu diraih oleh Filipina dari sumber Sanskerta.
Penulisan Filipina Awal.—Masyarakat Filipina memakai penulisan tersebut untuk merancang syair dan lagu mereka, yang merupakan satu-satunya sastra mereka. Namun, tak ada darinya yang didapati datang dari mereka, dan Filipina kemudian mengadopsi abjad Spanyol, menulis silabus yang dibutuhkan untuk menulis bahasa mereka dari huruf-huruf tersebut. Sebagaimana seluruh nilai-nilai fonetik, ini masih sangat mudah bagi seorang Filipina untuk belajar berucap dan membaca dengan bahasanya sendiri. Karakter-karakter lama digantungkan selama dua abad, di tempat-tempat tertentu. Padre Totanes berujar pada kami bahwa jarang pada 1705 untuk mendapati orang yang dapat menggunakannya; namun Tagbanua, sebuah suku pagan di pulau Paragua, memakai silabus serupa sampai saat ini. Disamping syair, mereka memiliki lagu yang mereka nyanyikan kala mereka mengayuh perahu mereka, kala mereka menumbuk beras dari sekamnya, dan kala mereka berkumpul untuk berpesta atau hiburan; dan secara khusus terdapat lagu-lagu untuk orang mati. Dalam lagu-lagu tersebut, ujar Chirino, mereka mendendangkan perbuatan leluhur mereka atau dewa mereka.
Tionghoa di Filipina.—Perdagangan Awal.—Hal yang sangat berbeda dari Hindu adalah pengaruh awal Tionghoa. Tak ada bukti bahwa, sebelum penaklukan Spanyol, Tionghoa menetap atau mengkolonisasikan kepulauan tersebut secara keseluruhan; dan bahkan tiga ratus tahun sebelum kedatangan Magellan, armada dagang mereka giat datang kesini dan beberapa pulau juga mengenal mereka. Satu bukti perdagangan prasejarah berada pada guci dan tembikar Tionghoa kuno yang diangkat di sekitaran Manila, namun tulisan Tionghoa mereka sendiri menghiasnya bahkan dengan sangat baik. Sekitar permulaan abad ketiga belas, walau tak lebih awal ketimbang 1205, seorang penulis Tionghoa bernama Chao Ju-kua menulis karya tentang perdaagngan maritim orang Tionghoa. Satu bab dari karyanya ditujukan untuk Filipina. yang ia sebut negara Mayi. Menurut catatan tersebut, ini menandakan bahwa Tionghoa familiar dengan pulau-pulau di kepulauan tersebut pada tujuh ratus tahun silam.
Tionghoa, Deskripsi Masyarakat.—“Negara Mayi,” ujar karya klasik tersebut, “berada di utara Poni (Burney, atau Kalimantan). Sekitar seribu keluarga mendiami tepi gelombang yang sangat berangin. Penduduk asli mengenakan diri mereka dengan lapisan kain yang mengingatkan pada lembar kasur, atau menutup tubuh mereka dengan sarong. (sarong berwarna abu-abu, rajutan khas Melayu.) Di sekitaran hutan luar, terdapat gambar-gambar Buddha tembaga, namun tak ada orang yang mengetahui bagaimana benda tersebut berada disana.
“Kala kapal-kapal pedagang (Tionghoa) datang ke pelabuhan ini, mereka belabuh di depan sebuah tempat terbuka ... yang dijadikan sebagai pasar, tempat mereka berdagang dengan hasil bumi dari wilayah tersebut. Kala kapal memasuki pelabuhan, kapten menghadirkan payung-payung putih (kepada para mandarin). Para pedagang diminta untuk membayar upeti tersebut dalam rangka menerima kehendak baik dari para tuannya.” Produk-produk wilayah tersebut dikatakan adalah malam kuning, kapas, mutiara, kerang, buah pinang, dan busana yuta, yang mungkin merupakan salah satu dari beberapa busana yang masih dirajut abacá, atau piña. Barang-barang yang diimpor oleh Tionghoa adalah “porselen, emas dagang, bahan timbal, manik-manik kaca dari segaal warna, pansi masak besi, dan jarum besi.”
Negrito.—Hal yang paling membuat penasaran adalah penyebutan akurat dalam penulisan Tionghoa mengenai Negrito, catatan pertama dari seluruh catatan mengenai orang kulit hitam kecil tersebut. “Di pelosok lembah, tinggal sebuah ras bernama Hai-tan (Acta). Mereka memiliki ukuran badan yang rendah, mata bulat warna kuning, rambut keriting, dan gigi mereka mudah nampak di antara bibir mereka. (Ini mungkin tak dihitamkan dengan mengunyah pinang atau bahan buatan.) Mereka membangun sangkar di atas pohon dan masing-masing sangkar dihuni satu keluarga, yang hanya terdiri dari tiga sampai lima orang. Mereka berjelajah di sekitaran wilayah terdalam hutan, dan, tanpa melihat diri mereka sendiri, menembakkan panah mereka kepada para pelintas; karena alasan tersebut, mereka sangat ditakuti. Jik pedagang (Tionghoa) membawakan mereka mangkuk porselen kecil, mereka akan memutuskan untuk menangkapnya dan kemudian melarikannya, berteriak dengan bahagia.”
Peningkatan dalam Perdagangan Tionghoa.—Kapal-kapal jung juga mengunjungi kepulauan yang lebih tengah, namun disini lalu lintas dilakukan pada kapal-kapal tersebut, Tionghoa yang datang mengumumkan diri mereka sendiri dengan memukul gong dan masyarakat Filipina berdatangan kepada mereka dengan perahu-perahu penerangan mereka. Salah satu hal lainnya yang ditawarkan disini oleh penduduk asli untuk perdagangan disebut “busana aneh,” mungkin cinamay atau jusi, dan tikar halus.
Perdagangan Tionghoa tersebut mungkin terus berlanjut sampai kedatangan Spanyol. Kala itu, wilayah tersebut menerima peningkatan melalui tawaran untuk produk pangan dan perangkat Tionghoa yang dibuat oleh Spanyol, dan karena nilai perak Meksiko yang ditawarkan Spanyol dalam pertukaran.
Perdagangan dengan Melayu Moro di Selatan.—Penyebaran Islam dan khususnya pembentukan koloni Kalimantan membawa Filipina menjadi hubungan komersial penting dengan Melayu di selatan. Sebelum kedatangan Spanyol, hubungan tersebut nampak bersahabat dan damai. Muslim Melayu mengirim perahu ke utara untuk keperluan dagang, dan mereka juga bermukim di Filipina utara sebagaimana mereka berada di Mindanao.
Kala armada Legaspi, tak lama usai kedatangannya, singgah di dekat pulau Bohol, “Maestro de Campo” mengalami pertarungan sengit dengan kapal Moro yang datang untuk berdagang, dan mengambil enam tahanan. Salah satu dari mereka, yang mereka sebut “pilot,” sering diinterogasi oleh Adelantado dan beberapa informasi penting diterima, yang dicatat oleh Padre San Augustin. Legaspi memiliki seorang penerjemah budak Melayu dengannya dan San Augustin berujar bahwa Padre Urdaneta “memahami bahasa Melayu dengan baik.” Pilot berujar bahwa “orang-orang di Kalimantan dibawa untuk berdagang dengan Filipina, tembaga dan timah, yang dibawa dari Tiongkok ke Kalimantan, porselen, hidangan dan lonceng yang dibuat dalam gaya mereka, sangat berbeda dari orang-orang yang dipakai umat Kristen, dan benzoin, dan jubah-jubah berwarna dari India, dan alat-alat masak yang dibuat di Tiongkok, dan yang mereka juga membawa tombak besi yang diolah dengan sangat baik, dan pisau dan barang barter lainnya, dan bahwa dalam pertukaran untuk mereka, mereka menempatkan emas, budak, malam dan jenis kerang laut kecil yang mereka sebut ‘sijueyes’ dari kepulauan tersebut, dan yang melintas untuk uang di kerajaan Siam dan tempat lainnya; dan juga menghantarkan mereka beberapa busana putih, yang berjumlah besar di kepulauan tersebut.”
Butúan, di pantai utara Mindanao, nampak merupakan tempat dagang yang disinggahi oleh kaapl-kapal dari segala penjuru. Wilaayh tersebut, seperti kebanyakan belahan Filipina lainnya, menghasilkan sejumlah kecil emas, dan seluruh pelayaran awal mencari emas dan hiasan penduduk asli. Butúan juga menghasilkan tebu dan merupakan pelabuhan dagang untuk para budak. Lalu lintas tak menguntungkan dalam kehidupan manusia nampak bukanlah hal yang tak lazim, dan tanpa ragu dilakukan lewat perdagangan dengan Kalimatan. Kapal-kapal jung dari Siam berdagang dengan Cebu juga dilawan oleh Spanyol.
Hasil dari Perhubungan dan Perdagangan.—Perhubungan dan lalu lintas dialami Filipina dengan berbagai unsur kehidupan peradaban sebelum kedatangan Spanyol. Para kepala suku dan dato berbusana sutra, dan menghimpun beberapa kendali di sekitar; nyaris seluruh penduduk suku pesisir menulsi dan berkomunikasi oleh cara silabus; kapal-kapal dari Luzon berdagang sampai selatan jauh di Mindanao dan Borneo, walaupun barang-barang Asia sebenarnya datang lewat armada warga asing; dan mungkin aap yang mengindikasikan secara lebih jelas ketimbang hal lainnya yang memajukan Filipina membuat komunikasi mereka dengan orang luar menjadi penggunaan senjata api mereka. Dari titik ini, tidak ada pertanyaan. Setipa tempat di sekitaran Manila, di Lubang, di Pampanga, di Cainta dan Laguna de Bay, Spanyol melawan benteng-benteng yang mengerahkan meriam kecil, atau “lantaka.” Selain itu, masyarakat Filipina nampak memahami seni pemasangan meriam dan membuat bubuk. Pabrik meriam pertama didirikan oleh Spanyol dalam pertikaran dengan orang Filipina dari Pampanga.
Kehidupan Politik dan Sosial Awal.—Barangay.—Sisi terlemah dari budaya Filipina awal adalah organisasi politik dan sosial mereka, dan mereka lemah disini tentunya dalam cara yang sama agar suku bangsa tak beradab di Luzon utara masih lemah. Negara mereka tak melingkupi seluruh suku atau bangsa; ini singkatnya meliputi komunitas. Di luar pemukim di tempat sekitaran langsung, seluruh orang lainnya adalah musuh atau kebanyakan warga asing. Tak ada negara besar yang berada di Filipina, bahkan raja besar dan sultan seperti yang ditemukan di Kepulauan Melayu, namun sebagai gantinya di seluruh pulau terdapat sejumlah komunitas kecil, yang masing-masing merdeka satu sama lain dan seringkali berperang.
Unit tatanan kekuatan politik mereka merupakan sekelompok rumah kecil dari tiga puluh sampai seratus keluarga, yang disebut “barangay,” dan yang masih ada di Filipina sebagai “barrio.” Di puncak setiap barangay adalah seorang pemimpin yang dikenal sebagai “dato,” sebuah kata yang tak lagi dipakai di Filipina utara, walau masih dipakai di kalangan Moro Mindanao. Kekuatan para dato dalam wilaayh kecil mereka nampaknya besar, dan mereka dipelakukan dengan sangat hormat oleh masyarakat.
Barangay-barangay dikelompokkan bersama dalam federasi kecil yang meliputi nyaris sebesar wilayah kota saat ini, yang urusannya ditangani oleh kepala suku atau dato, walau terkadang mereka nampak sepenuhnya setia pada pemimpin tunggal, yang dikenal di beberapa tempat sebagai “hari,” pada kesempatan lain memakai kata Hindu “raja,” atau istilah Muslim “sultan.” Terkadang, kekuatan salah satu raja nampak menyebar sampai seluruh pulau kecil, namun biasanya “kerajaan” mereka hanya meliputi beberapa mil.
Perubahan yang Dibuat oleh Spanyol.—Spanyol, dalam memberlakukan otoritas mereka terhadap kepulauan tersebut, mengambil alih kekuatan sebenarnya dari para dato, mengkelompokkan barangay menjaid kota, atau “pueblo,” selain memnbuat dato menjadi “cabezas de barrio,” atau “gobernadorcillos.” Beberapa perbedaan lama antara dato, atau “pemimpin,” dan masyarakat umum masih diwakili dalam “gente illustrada,” atau kelas yang lebih kaya, terdidik dan berpengaruh ditempatkan di setiap kota, dan “gente baja,” atau orang miskin dan tak terdidik.
Kelas-kelas Filipina di bawah para Dato.—Disamping dato, menurut Chirino dan Morga, terdapat tiga kelas Filipina; orang bebas, atau “maharlica,” yang tak membayar upeti kepada dato, namun yang menyertainya dalam perang, mengayuhkan perahunya kala ia datang pada sebuah perjalanan, dan menghadirinya di rumahnya. Kelas ini disebut oleh Morga dengan sebutan “timauas.”
Kemudian, terdapat sebuah kelas yang lebih besar, yang nampaknya merupakan orang merdeka atau budak yang dibebaskan, yang memiliki rumah mereka sendiri dan tinggal dengan keluarga mereka, namun memiliki hutang jasa besar pada dato atau maharlica; menyemai dan memanen di sawahnya, menghimpun perangkap ikan, mengayuh prahunya, membangun rumahnya, menghadirinya kala ia memiliki tamu, dan melakukan tugas lainnya yang dapat diperintah oleh pemimpin. Orang semi-bebas tersebut disebut “aliping namamahay,” dan kondisi mengikat mereka diturunkan ke anak mereka.
Disamping itu terdapat kelas budak. Mereka disebut “siguiguiliris,” dan mereka berjumlah banyak. Perbudakan mereka timbul dalam berbagai cara. Beberapa orang yang sejak kecil ditangkap dalam perang dan nyawa mereka dibiarkan. Beberapa menjadi budak dengan menjual kebebasan mereka pada masa kelaparan. Namun kebanyakan dari mereka menjadi budak karena hutang, yang diturunkan dari ayah ke putra. Sejumlah lima atau enam peso dipakai dalam beberapa kasus untuk melepaskan orang dari kebebasannya.
Budak-budak tersebut secara mutlak dimiliki oleh tuan mereka, dan secara teoretikal dapat menjual mereka seperti ternak; disamping kemungkinan buruknya, perbudakan Filipina biasanya tidaklah kejam atau menekan. Budak-budak seringkali diasosiasikan pada hubungan baik dengan tuan mereka dan tak bekerja berlebih. Bentuk perbudakan tersebut masih ada di Filipina pada kalangan Moro di Mindanao dan Jolo. Anak-anak budak mewarisi perbudakan orangtua mereka. Jika seorang orangtua bebas dan orangtua lainnya masih menjadi budak, anak pertama, ketiga dan kelima dibebaskan dan anak kedua, keempat dan keenam diperbudak. Seluruh persoalan pewarisan perbudakan dikerjakan dalam pernjelasan semenit.
Kehidupan di Barangay.—Perasaan masyarakat sangatlah kuat di barangay. Seseorang tak dapat meninggalkan barangay-nya sendiri untuk hidup dengan lainnya tanpa perhatian masyarakat dan pembayaran uang. Jika orang dari satu barrio menikahi wanita lainnya, anak-anak mereka terbagi antar dua barangay. Barangay bertanggung jawab atas perlakuan baik anggotanya, dan jika salah satu dari mereka mengalami luka akibat orang dari luar, seluruh barangay akan maju. Sengketa dan kesalahan antara anggota barangay yang sama dirujuk ke sejumlah pria tua, yang memutuskan persoalan tersebut dengan adat suku, yang ditangani oleh tradisi.
Agama Masyarakat Filipina.—Filipina pada masa kedatangan Spanyol adalah penyembah berhala, namun mereka memiliki satu jiwa yang mereka yakini terbesar dari segalanya dan pencipta atau pembuat berbagai hal. Tagálog menyebut dewa tersebut dengan sebutan Bathala, Bisaya, Laon, dan Ilocano, Kabunian. Mereka juga menyembah roh leluhur mereka, yang diwakili oleh gambar kecil yang disebut “anitos.” Berhala-berhala tersebut, yang merupakan barang umum yang dipercaya mengeluarkan kekuatan mukjizat, merupakan hal umum di kalangan masyarakat, dan patung atau gambar disembah. Pigafetta menyebut beberapa perhala yang ia lihat di Cebu, dan Chirino menuturkan pada kami bahwa, dalam ingatan orang-orang Filipina yang ia kenal, mereka memiliki berhala batu, kayu, tulang atau gigi buaya, dan bahwa terdapat beberapa yang terbuat dari emas.
Mereka juga memuja hewan dan burung, khsuusnya buaya, gagak, dan burung mitos berwarna biro atau kuning, yang diberi nama dewa mereka Bathala. Mereka tak memiliki kuil atau tempat ibadah umum, namun satu salam lain memiliki anitos di rumahnya sendiri dan melakukan pengurbanan dan tindakaan pemujaan disana. Kala pengurbanan, mereka membunuh babi atau ayam, dan membuat kesempatan lainnya dengan berpesta, bernyanyi dan mabuk-mabukkan. Kehidupan Filipina tanpa ragu diisi dengan kekhawatiran dan khayalan tingkat tinggi.
Muslim Melayu.—Muslim di luar Mindanao selatan dan Jolo, telah bermukim di sekitaran Teluk Manila dan Mindoro, Lubang, dan pantai dekat Luzon. Penyebaran Islam dihentikan oleh Spanyol, walau dijelaskan bahwa sepanjang jangka panjang kebanyakan orang yang hidup di pesisir Teluk Manila enggan menyantang babi, yang dilarang oleh al-Qur'an, dan menerapkan upacara sunat. Pada akhir 1583, Uskup Salazar, dalam tulisannya kepada raja soal perkara di Filipina, berkata bahwa Moro telah mendakwahi hukum Muhammad kepada sejumlah besar orang di kepulaaun tersebut dan dengan mendakwahi banyak priyayi yang telah menjadi Muslim; dan kemudian ia menambahkan, “Orang-orang yang menerima hukum bodoh tersebut menjaganya dengan sangat taat dan terdapat perbedaan besar dalam membuat mereka meninggalkannya; dan dengan sebab itu juga, untuk alasan yang kami berikan, untuk mempermalukan dan penyamaan mereka, agar mereka lebih baik diperlakukan oleh pendakwah Muhammad ketimbang mereka dikotbahi oleh pengkotbah Kristus.”
Perjuangan Material Filipina.—Lingkup material Filipian sebelum kedatangan Spanyol nyaris dalam setiap cara sebagaimana kami saat ini. “Pusat penduduk” dari setiap kota saat ini, dengan gereja besarnya, tribunal, toko dan rumah batu dan kayu, tentunya ditandai secara kontras; namun penampilan barrio jarak dekat dari pusat saat ini mungkin lebih dari itu. Kemudian, seperti saat ini, sejumlah orang tinggal di hunian rumah bambu dan nipa dibesarkan di tiang di atas landasan tanah; kemudian, sebagaimana saat ini, makanan kebanyakan adalah nasi dan ikan sempurna yang ditinggalkan di sungai dan laut. Terdapat pada perairan serupa, banca familiaar dan ikan karang, dan di darat ladang pafi dan kebun kelapa. Masyarakat Filipina kala itu banyak menghadirkan hewna-hewan jinak,—anjing, kucing, kambing, ayam, dan babi,—dan mungkin di Luzon kerbau jinak, meskipun hewan tersebut banyak diperkenalkan di Filipina dari Tiongkok usai penaklukan Spanyol. Kuda didatangkan dari Spanyol dan jumlah mereka meningkat dengan pengiriman kuda betina Tiongkok, yang impornya sering disebutkan.
Spanyol juga memperkenalkan penanaman tembakau, kopi dan kakao, dan mungkin juga jagung asli Amerika, walau Pigafetta berujar bahwa mereka mendapatinya telah tumbuh di Bisayas.
Filipina terdampak sepanjang berabad-abad oleh kekuataan Spanyol lebih kurang pada sisi materialnya ketimbang spiritualnya, dan utamanya dalam mendalami dan menaikkan kehidupan emosional dan mentalnya dan bukan dalam memperbaiki kondisi materialnya yang dibuat maju.
eyr8zff0f859h3tfgfkjsgpi8dpc8kt
99917
99916
2024-11-10T06:50:19Z
Glorious Engine
9499
99917
wikitext
text/x-wiki
<center>'''Bab V'''</center>
<center>'''Masyarakat Filipina Sebelum Kedatangan Spanyol'''</center>
Posisi Suku-suku.—Kala kedatangan Spanyol, masyarakat Filipina nampak tersebar menurut suku-suku sebagaimana kebiasaan yang sama pada saat ini. Kemudian, seperti sekarang, Bisaya menduduki pulau-pulau tengah dari kepulauan tersebut dan beberapa pulau di pantai utara Mindanao. Bicol, Tagálog, dan Pampango berada pada bagian yang sama di Luzon sebagaimana kami temukan mereka pada saat ini. Ilocano menduduki dataran pesisir menghadap Laut Tiongkok, namun sejak kedatangan Spanyol, mereka menyebar dan pemukiman mereka kini tersebar di Pangasinan, Nueva Vizcaya, dan lembah Cagayan.
Jumlah Orang.—Suku-suku tersebut yang pada saat ini berjumlah sekitar 7.000.000 jiwa, pada masa penemuan Magellan, mungkin, tak lebih dari 500.000. Penjumlahan populasi pertama dibuang oleh Spanyol pada 1591, dan meliputi seluruh suku tersebut, memberikan angka kurang dari 700.000. (Lihat Bab VIII., Filipina Tiga Ratus Tahun Lalu.)
Terdapat juga beberapa fakta yang ditunjukkan pada kami bagaimana persebaran penduduk terjadi. Ekspedisi Spanyol mendapati banayk pesisir dan pulau di kelompok Bisayan tanpa penduduk. Terkadang, kapal layar atau perahu akan nampak, dan kemudian akan lenyap di beberapa “estero” kecil atau rawa bakau dan tanah nampak tak berpenduduk seperti sebelumnya. Pada titik tertentu, seperti Limasaua, Butúan, dan Bohol, penduduk asli berjumlah lebih banyak, dan Cebu merupakan komunitas yang besar dan beragam; namun Spantol nyaris menemukannya dimana-aman untuk mencari tempat pemukiman dan lahan penanaman.
Persebaran penduduk juga ditnadai oleh kelimpahan pangan yang besar. Spanyol memiliki banyak kesulitan dalam mengamankan tujuan-tujuannya. Sejumlah kecil beras, seekor babi dan beberapa ayam, didapatkan disini dan disana, namun Filipina tak memiliki suplai yang besar. Usai pemukiman Manila dibuat, sebagian besar pangan kota didatangkan dari Tiongkok. Sangat mudah bagi Spanyol bergerak ke tempat mereka hendaki dan mengurangi masyarakat Filipina untuk setia menunjukkan bahwa orang Filipina berjumlah sedikit. Laguna dan Camarines nampaknya merupakan wilayah paling berpenduduk di kepulauan tersebut. Seluruh hal dan lainnya menunjukkan bahwa masyarakat Filipina hanyalah fraksi kecil dari jumlah mereka saat ini.
Di sisi lain, Negrito nampak berjumlah lebih banyak, atau setidaknya lebih banyak bukti. Mereka secara langsung tercatat pada pulau Negros, tempat kami saat ini mendapati sedikit orang dan memasuki pelosok; dan di sekitaran Manila dan di dalam Batangas, tempat mereka tak lagi ditemukan, wilaayh tersebut diisi dengan masyarakat Tagálog.
Kondisi Budaya.—Budaya dari berbagai suku, yang kini nyaris sama di seluruh kepulauan, menunjukkan beberapa perbedaan. Di Bisaya selatan, tempat Spanyol pertama kali memasuki kepulauan tersebut, nampak ada dua jenis penduduk asli: penghuni bukit, yang tinggal di pelosok kepulauan dalam jumlah sedikit, yang mengenakan rajutan dari pelepah pohon dan yang terkadang membangun rumah mereka di pohon; dan penghuni laut, yang nampak berjumlah lebih banyak seperti suku-suku Moro saat ini di selatan Mindanao, yang dikenal sebagai Sámal, dan yang membangun desa-desa mereka di laut atau pesisir dan banyak tinggal di perahu. Terdapat kemungkinan kedatangan berikutnya pada orang-orang hutan. Dari kedua unsur tersebut, masyarakat Bisaya Filipina turun, namun walau orang pesisir sepenuhnya meninggalkan, beberapa pinggiran bukit masih menganut pagan dan belum berabad, dan harusnya mereka berjumlah lebih banyak kala Spanyol pertama kali datang.
Tingkat budaya tertinggi di pemukiman berada pada perdagangan reguler dengan Kalimantan, Siam dan Tiongkok, dan khususnya sekitaran Manila, tempat banyak Muslim Melayu memiliki koloni-koloni.
Rumpun Bahasa Orang Melayu.—Dengan pengecualian Negrito, seluruh rumpun bahasa Filipina masih satu keluarga besar, yang disebut “Melayu-Polinesia.” Semuanya diyakini berasal dari satu bahasa ibu yang sangat kuno. Ini menunjukkan bagaimana penuturan Melayu-Polinesia tersebut tersebar. Di wilaayh paling jauh di Pasifik, terdapat masyarakat Polinesia, yang kala itu berkelompok pada kepulaaun kecil; yang dikenal sebagai Mikronesia; kemudian Melanesia atau Ppaua; Melayu sepanjang kepulauan Hindia Timur, dan utara rumpun bahasa Filipina. Namun ini bukanlah semuanya; untuk wilayah paling barat di pesisir Afrika adalah pualu Madagaskar, banyak peribahasa dari rumpun bahasa disana yang tak memiliki hubungan dengan Afrika namun masuk pada keluarga Melayu-Polinesia.
Bahasa Tagálog.—Ini harus menjadi persoalan peminatan besar pada Filipina yang peneliti besar Baron William von Humboldt menganggap Tagálog merupakan bahasa terkaya dan paling sempurna dari seluruh bahasa dari keluarga Melayu-Polinesia, dan mungkin jenis dari mereka semua. “Bahasa tersebut menghimpun,” ujarnya, “seluruh bentuk yang secara kolektif berasal dari kata-kata tertentu yang ditemukan secara tunggal dalam dialek lainnya; dan menyajikan mereka semua dengan pengecualian tak terpatahkan, dan sepenuhnya selaras dan simetri.” Para frater Spanyol, kala kedatangan mereka di Filipina, sempat mencurahkan diri mereka untuk mempalajarid ialek asli dan persiapan doa dan katekisme dalam bahasa asli tersebut. Mereka sangat sukses dalam pembelajaran mereka. Padri Chirino berujar pada kami tentang seorang Yesuit yang mempelajari Tagálog dalam tujuh puluh hari untuk berkotbah dan mendengarkan pengampunan dosa. Dalam cara ini, Bisayan, Tagálog, dan Ilocano kemudian dinaungi.
Dalam menyoroti wacana Von Humboldt, ini dinunjukkan bahwa orang-orang Spanyol awal mengucapkan Tagálog dengan sangat sulit dan sangat mengagumkan. “Dari semua itu,” ujar Padre Chirino, “bahasa yang sangat menarik perhatianku dan mengisiku dengan kekaguman adalah Tagálog. Karena, kala ia ditunjuk menjadi uskup agung pertama, dan setelah itu orang serius lainnya, baik disana maupun disini, aku mendapati empat kualitas dari empat bahasa terbaik di dunia: Ibrani, Yunani, Latin, dan Spanyol; dari Ibrani, misteri dan berintang; dari Yunani, artikel-artikel dan prosisisinya tak hanya terapan namun juga pengucapan sebenarnya; dari latin, kekayaan dan elegan, dan dari Spanyol; berlaku baik, jujur dan berani.”
Hubungan Awal dengan Hindu.—Rumpun bahasa Melayu juga berisi sejumlah besar kata yang dipinjam dari Sanskerta, dan di dalamnya meliputi Tagálog, Bisayan, dan Ilocano. Apapun kata yang berlalu selaras dari satu kelompok Melayu ke kelompok lainnya, atau apa yang mereka perkenalkan lewat keberadaan dan kekuatan sebenarnya Hindu di kepulauan tersebut, berlandasan adil untuk perdebatan; namun kasus untuk posisi tersebut berjalan baik dan sempurna oleh Dr. Pardo de Tavera bahwa kesimpulannya disampaikan dalam kata-katanya sendiri. “Kata-kata yang dipinjam Tagálog,” ujarnya, “adalah kata-kata yang menunjukkan tindakan intelektual, pembentukan moral, emosi, penaungan, nama desa, planet, bilangan jumlah tinggi, botani, perang dan hasil dan dampaknya, dan pada akhirnya gelar dan martabat, beberapa hewan, alat industri, dan nama-nama uang.”
Dari bukti karya-karya tersebut, Dr. Pardo berpendapat bahwa pada suatu waktu dalam sejaraha wal Filipina, yang sebetulnya bukanlah hubungan perdagangan, seperti Tionghoa, namun dominasi politik dan sosial Hindu. “Aku tak yakin,” ujarnya, “dan aku melandasi opininya pada kata-kata ayng sama bahwa aku membawa serta dalam pengucapan tersebut, bahwa Hindu singkatnya adalah pedagang, namun mereka mendominasi bagian berbeda dari kepulauan tersebut, tempat saaat ini menuturkan banyak bahasa berbudaya,—Tagálo, Visayan, Pampanga, dan Ilocano; dan bahwa budaya yang lebih tinggi dari rumpun bahasa tersebut secara pasti datang dari pengaruh ras Hindu pada Filipina.”
Hindu di Filipina.—“Tak mungkin untuk meyakini bahwa Hindu, jika mereka datang hanya sebagai pedagang, namun jumlah mereka besar, akan menekan diri mereka sendiri dalam cara semacam itu untuk memberikan jumlah kepada penduduk pulau tersebut dan jenis kata yang mereka berikan. Nama-nama hadirin, cacique, fungsioner tinggi istana, bangsawati, menandakan bahwa seluruh jabatan tinggi dengan nama-nama asal Sanskerta pada suatu saat diduduki oleh orang yang menuturkan bahasa tersebut. Kata-kata bercikal bakal serupa untuk obyek-obyek perang, benteng dan lagu tempur, untuk obyek-obyek rancangan kepercayaan agama, untuk penaungan, emosi, perasaan, kegiatan industrial dan perkebunan, menunjukkan kami dengan jelas bahwa perang, agama, sastra, industri dan pertanian pada suatu waktu berada di tangan Hindu, dan bahwa ras tersebut secara efektif menjadi dominan di Filipina.”
Sistem Penulisan di kalangan Filipina.—Kala Spanyol datang ke Filipina, masyarakat Filipina memakai sitem penulisan yang dipinjam dari sumber-sumber Hindu atau Jawa. Persoalan tersebut sangat penting bahwa tak ada orang yang dapat melakukan hal yang lebih baik ketimbang yang dikutip sepenuhnya pada catatan Padre Chirino, karena ia merupakan penulsi Spanyol pertama yang menyebutkannya dan catatannya sangat lengkap.
“Sehingga memberikan para penduduk pulau tersebut untuk membaca dan menulis sangatlah uslit selaku manusia, dan lebih kurang seorang wanita, yang tak membaca dan menulis huruf yang selaras dengan pulau Manila, sangat berbeda dari Tiongkok, Jepang, dan india, karena akan nampak dari abjad berikut.
Namun dengan semuanya, dan tanpa banyak perombakan, mereka membuat diri mereka sendiri mengerti, dan mereka sendiri memahami secara menakjubkan. Dan pembaca mensuplai, dengan keterampilan dan kemudahan besar, konsonan yang kurang. Kami mempelajari dari mereka unruk menulis baris dari tanagn kiri ke kanan, namun dulunya mereka hanya menulsi dari atas ke bawah, menempatkan baris pertama (jika aku ingat dengan benar) di sisi kiri, dan melanjutkannya dengan lainnya di kanan, berbeda dengan Tionghoa dan Jepang.... Mereka menulis pada batang atau daun kelapa, memakai pena ujung besi. Kini dalam penulisan tak hanya milik mereka sendiri namun juga huruf mereka, mereka memakai bulu yang dipotong dengan sangat baik, dan keras seperti milik kami sendiri.
Kami memahami bahasa dan pengucapan mereka, dan mereka mampu menulis dengan baik, dan bahkan lebih baik; karena mereka sangat menerangi bahwa mereka memahami segala hal dengan kemudahan terbesar. Aku membawa denganku tulisan tangan dengan penulisan yang sangat baik dan benar. Di Tigbauan, aku memiliki sekolah anak yang sangat kecil, yang dalam waktu tiga bulan memahami, dengan salinan dari tulisan yang ditulis dengan baik yang aku rancang oadanya, untuk menulis lebih baik ketimbang aku, dan mentranskripsikan untukku tulisan-tulisan penting yang sangat terpercaya, tanpa kesalahan atau kekeliruan. Namun kebutuhan bahasa dan tata tulis; kini menggerakkan kami kembali ke perkajaan kami dengan jiwa manusia.”
Sumber Sanskerta dari Abjad Filipina.—Disamping Tagálog, Bisaya, Pampango, Pangasinan, dan Ilocano memiliki abjad, atau lebih tepatnya silabus yang mirip dengannya. Dr. Pardo de Tavera mengumpulkan banyak data terkait mereka, dan menunjukkan bahwa mereka tanpa ragu diraih oleh Filipina dari sumber Sanskerta.
Penulisan Filipina Awal.—Masyarakat Filipina memakai penulisan tersebut untuk merancang syair dan lagu mereka, yang merupakan satu-satunya sastra mereka. Namun, tak ada darinya yang didapati datang dari mereka, dan Filipina kemudian mengadopsi abjad Spanyol, menulis silabus yang dibutuhkan untuk menulis bahasa mereka dari huruf-huruf tersebut. Sebagaimana seluruh nilai-nilai fonetik, ini masih sangat mudah bagi seorang Filipina untuk belajar berucap dan membaca dengan bahasanya sendiri. Karakter-karakter lama digantungkan selama dua abad, di tempat-tempat tertentu. Padre Totanes berujar pada kami bahwa jarang pada 1705 untuk mendapati orang yang dapat menggunakannya; namun Tagbanua, sebuah suku pagan di pulau Paragua, memakai silabus serupa sampai saat ini. Disamping syair, mereka memiliki lagu yang mereka nyanyikan kala mereka mengayuh perahu mereka, kala mereka menumbuk beras dari sekamnya, dan kala mereka berkumpul untuk berpesta atau hiburan; dan secara khusus terdapat lagu-lagu untuk orang mati. Dalam lagu-lagu tersebut, ujar Chirino, mereka mendendangkan perbuatan leluhur mereka atau dewa mereka.
Tionghoa di Filipina.—Perdagangan Awal.—Hal yang sangat berbeda dari Hindu adalah pengaruh awal Tionghoa. Tak ada bukti bahwa, sebelum penaklukan Spanyol, Tionghoa menetap atau mengkolonisasikan kepulauan tersebut secara keseluruhan; dan bahkan tiga ratus tahun sebelum kedatangan Magellan, armada dagang mereka giat datang kesini dan beberapa pulau juga mengenal mereka. Satu bukti perdagangan prasejarah berada pada guci dan tembikar Tionghoa kuno yang diangkat di sekitaran Manila, namun tulisan Tionghoa mereka sendiri menghiasnya bahkan dengan sangat baik. Sekitar permulaan abad ketiga belas, walau tak lebih awal ketimbang 1205, seorang penulis Tionghoa bernama Chao Ju-kua menulis karya tentang perdaagngan maritim orang Tionghoa. Satu bab dari karyanya ditujukan untuk Filipina. yang ia sebut negara Mayi. Menurut catatan tersebut, ini menandakan bahwa Tionghoa familiar dengan pulau-pulau di kepulauan tersebut pada tujuh ratus tahun silam.
Tionghoa, Deskripsi Masyarakat.—“Negara Mayi,” ujar karya klasik tersebut, “berada di utara Poni (Burney, atau Kalimantan). Sekitar seribu keluarga mendiami tepi gelombang yang sangat berangin. Penduduk asli mengenakan diri mereka dengan lapisan kain yang mengingatkan pada lembar kasur, atau menutup tubuh mereka dengan sarong. (sarong berwarna abu-abu, rajutan khas Melayu.) Di sekitaran hutan luar, terdapat gambar-gambar Buddha tembaga, namun tak ada orang yang mengetahui bagaimana benda tersebut berada disana.
“Kala kapal-kapal pedagang (Tionghoa) datang ke pelabuhan ini, mereka belabuh di depan sebuah tempat terbuka ... yang dijadikan sebagai pasar, tempat mereka berdagang dengan hasil bumi dari wilayah tersebut. Kala kapal memasuki pelabuhan, kapten menghadirkan payung-payung putih (kepada para mandarin). Para pedagang diminta untuk membayar upeti tersebut dalam rangka menerima kehendak baik dari para tuannya.” Produk-produk wilayah tersebut dikatakan adalah malam kuning, kapas, mutiara, kerang, buah pinang, dan busana yuta, yang mungkin merupakan salah satu dari beberapa busana yang masih dirajut abacá, atau piña. Barang-barang yang diimpor oleh Tionghoa adalah “porselen, emas dagang, bahan timbal, manik-manik kaca dari segaal warna, pansi masak besi, dan jarum besi.”
Negrito.—Hal yang paling membuat penasaran adalah penyebutan akurat dalam penulisan Tionghoa mengenai Negrito, catatan pertama dari seluruh catatan mengenai orang kulit hitam kecil tersebut. “Di pelosok lembah, tinggal sebuah ras bernama Hai-tan (Acta). Mereka memiliki ukuran badan yang rendah, mata bulat warna kuning, rambut keriting, dan gigi mereka mudah nampak di antara bibir mereka. (Ini mungkin tak dihitamkan dengan mengunyah pinang atau bahan buatan.) Mereka membangun sangkar di atas pohon dan masing-masing sangkar dihuni satu keluarga, yang hanya terdiri dari tiga sampai lima orang. Mereka berjelajah di sekitaran wilayah terdalam hutan, dan, tanpa melihat diri mereka sendiri, menembakkan panah mereka kepada para pelintas; karena alasan tersebut, mereka sangat ditakuti. Jik pedagang (Tionghoa) membawakan mereka mangkuk porselen kecil, mereka akan memutuskan untuk menangkapnya dan kemudian melarikannya, berteriak dengan bahagia.”
Peningkatan dalam Perdagangan Tionghoa.—Kapal-kapal jung juga mengunjungi kepulauan yang lebih tengah, namun disini lalu lintas dilakukan pada kapal-kapal tersebut, Tionghoa yang datang mengumumkan diri mereka sendiri dengan memukul gong dan masyarakat Filipina berdatangan kepada mereka dengan perahu-perahu penerangan mereka. Salah satu hal lainnya yang ditawarkan disini oleh penduduk asli untuk perdagangan disebut “busana aneh,” mungkin cinamay atau jusi, dan tikar halus.
Perdagangan Tionghoa tersebut mungkin terus berlanjut sampai kedatangan Spanyol. Kala itu, wilayah tersebut menerima peningkatan melalui tawaran untuk produk pangan dan perangkat Tionghoa yang dibuat oleh Spanyol, dan karena nilai perak Meksiko yang ditawarkan Spanyol dalam pertukaran.
Perdagangan dengan Melayu Moro di Selatan.—Penyebaran Islam dan khususnya pembentukan koloni Kalimantan membawa Filipina menjadi hubungan komersial penting dengan Melayu di selatan. Sebelum kedatangan Spanyol, hubungan tersebut nampak bersahabat dan damai. Muslim Melayu mengirim perahu ke utara untuk keperluan dagang, dan mereka juga bermukim di Filipina utara sebagaimana mereka berada di Mindanao.
Kala armada Legaspi, tak lama usai kedatangannya, singgah di dekat pulau Bohol, “Maestro de Campo” mengalami pertarungan sengit dengan kapal Moro yang datang untuk berdagang, dan mengambil enam tahanan. Salah satu dari mereka, yang mereka sebut “pilot,” sering diinterogasi oleh Adelantado dan beberapa informasi penting diterima, yang dicatat oleh Padre San Augustin. Legaspi memiliki seorang penerjemah budak Melayu dengannya dan San Augustin berujar bahwa Padre Urdaneta “memahami bahasa Melayu dengan baik.” Pilot berujar bahwa “orang-orang di Kalimantan dibawa untuk berdagang dengan Filipina, tembaga dan timah, yang dibawa dari Tiongkok ke Kalimantan, porselen, hidangan dan lonceng yang dibuat dalam gaya mereka, sangat berbeda dari orang-orang yang dipakai umat Kristen, dan benzoin, dan jubah-jubah berwarna dari India, dan alat-alat masak yang dibuat di Tiongkok, dan yang mereka juga membawa tombak besi yang diolah dengan sangat baik, dan pisau dan barang barter lainnya, dan bahwa dalam pertukaran untuk mereka, mereka menempatkan emas, budak, malam dan jenis kerang laut kecil yang mereka sebut ‘sijueyes’ dari kepulauan tersebut, dan yang melintas untuk uang di kerajaan Siam dan tempat lainnya; dan juga menghantarkan mereka beberapa busana putih, yang berjumlah besar di kepulauan tersebut.”
Butúan, di pantai utara Mindanao, nampak merupakan tempat dagang yang disinggahi oleh kaapl-kapal dari segala penjuru. Wilaayh tersebut, seperti kebanyakan belahan Filipina lainnya, menghasilkan sejumlah kecil emas, dan seluruh pelayaran awal mencari emas dan hiasan penduduk asli. Butúan juga menghasilkan tebu dan merupakan pelabuhan dagang untuk para budak. Lalu lintas tak menguntungkan dalam kehidupan manusia nampak bukanlah hal yang tak lazim, dan tanpa ragu dilakukan lewat perdagangan dengan Kalimatan. Kapal-kapal jung dari Siam berdagang dengan Cebu juga dilawan oleh Spanyol.
Hasil dari Perhubungan dan Perdagangan.—Perhubungan dan lalu lintas dialami Filipina dengan berbagai unsur kehidupan peradaban sebelum kedatangan Spanyol. Para kepala suku dan dato berbusana sutra, dan menghimpun beberapa kendali di sekitar; nyaris seluruh penduduk suku pesisir menulsi dan berkomunikasi oleh cara silabus; kapal-kapal dari Luzon berdagang sampai selatan jauh di Mindanao dan Borneo, walaupun barang-barang Asia sebenarnya datang lewat armada warga asing; dan mungkin aap yang mengindikasikan secara lebih jelas ketimbang hal lainnya yang memajukan Filipina membuat komunikasi mereka dengan orang luar menjadi penggunaan senjata api mereka. Dari titik ini, tidak ada pertanyaan. Setipa tempat di sekitaran Manila, di Lubang, di Pampanga, di Cainta dan Laguna de Bay, Spanyol melawan benteng-benteng yang mengerahkan meriam kecil, atau “lantaka.” Selain itu, masyarakat Filipina nampak memahami seni pemasangan meriam dan membuat bubuk. Pabrik meriam pertama didirikan oleh Spanyol dalam pertikaran dengan orang Filipina dari Pampanga.
Kehidupan Politik dan Sosial Awal.—Barangay.—Sisi terlemah dari budaya Filipina awal adalah organisasi politik dan sosial mereka, dan mereka lemah disini tentunya dalam cara yang sama agar suku bangsa tak beradab di Luzon utara masih lemah. Negara mereka tak melingkupi seluruh suku atau bangsa; ini singkatnya meliputi komunitas. Di luar pemukim di tempat sekitaran langsung, seluruh orang lainnya adalah musuh atau kebanyakan warga asing. Tak ada negara besar yang berada di Filipina, bahkan raja besar dan sultan seperti yang ditemukan di Kepulauan Melayu, namun sebagai gantinya di seluruh pulau terdapat sejumlah komunitas kecil, yang masing-masing merdeka satu sama lain dan seringkali berperang.
Unit tatanan kekuatan politik mereka merupakan sekelompok rumah kecil dari tiga puluh sampai seratus keluarga, yang disebut “barangay,” dan yang masih ada di Filipina sebagai “barrio.” Di puncak setiap barangay adalah seorang pemimpin yang dikenal sebagai “dato,” sebuah kata yang tak lagi dipakai di Filipina utara, walau masih dipakai di kalangan Moro Mindanao. Kekuatan para dato dalam wilaayh kecil mereka nampaknya besar, dan mereka dipelakukan dengan sangat hormat oleh masyarakat.
Barangay-barangay dikelompokkan bersama dalam federasi kecil yang meliputi nyaris sebesar wilayah kota saat ini, yang urusannya ditangani oleh kepala suku atau dato, walau terkadang mereka nampak sepenuhnya setia pada pemimpin tunggal, yang dikenal di beberapa tempat sebagai “hari,” pada kesempatan lain memakai kata Hindu “raja,” atau istilah Muslim “sultan.” Terkadang, kekuatan salah satu raja nampak menyebar sampai seluruh pulau kecil, namun biasanya “kerajaan” mereka hanya meliputi beberapa mil.
Perubahan yang Dibuat oleh Spanyol.—Spanyol, dalam memberlakukan otoritas mereka terhadap kepulauan tersebut, mengambil alih kekuatan sebenarnya dari para dato, mengkelompokkan barangay menjaid kota, atau “pueblo,” selain memnbuat dato menjadi “cabezas de barrio,” atau “gobernadorcillos.” Beberapa perbedaan lama antara dato, atau “pemimpin,” dan masyarakat umum masih diwakili dalam “gente illustrada,” atau kelas yang lebih kaya, terdidik dan berpengaruh ditempatkan di setiap kota, dan “gente baja,” atau orang miskin dan tak terdidik.
Kelas-kelas Filipina di bawah para Dato.—Disamping dato, menurut Chirino dan Morga, terdapat tiga kelas Filipina; orang bebas, atau “maharlica,” yang tak membayar upeti kepada dato, namun yang menyertainya dalam perang, mengayuhkan perahunya kala ia datang pada sebuah perjalanan, dan menghadirinya di rumahnya. Kelas ini disebut oleh Morga dengan sebutan “timauas.”
Kemudian, terdapat sebuah kelas yang lebih besar, yang nampaknya merupakan orang merdeka atau budak yang dibebaskan, yang memiliki rumah mereka sendiri dan tinggal dengan keluarga mereka, namun memiliki hutang jasa besar pada dato atau maharlica; menyemai dan memanen di sawahnya, menghimpun perangkap ikan, mengayuh prahunya, membangun rumahnya, menghadirinya kala ia memiliki tamu, dan melakukan tugas lainnya yang dapat diperintah oleh pemimpin. Orang semi-bebas tersebut disebut “aliping namamahay,” dan kondisi mengikat mereka diturunkan ke anak mereka.
Disamping itu terdapat kelas budak. Mereka disebut “siguiguiliris,” dan mereka berjumlah banyak. Perbudakan mereka timbul dalam berbagai cara. Beberapa orang yang sejak kecil ditangkap dalam perang dan nyawa mereka dibiarkan. Beberapa menjadi budak dengan menjual kebebasan mereka pada masa kelaparan. Namun kebanyakan dari mereka menjadi budak karena hutang, yang diturunkan dari ayah ke putra. Sejumlah lima atau enam peso dipakai dalam beberapa kasus untuk melepaskan orang dari kebebasannya.
Budak-budak tersebut secara mutlak dimiliki oleh tuan mereka, dan secara teoretikal dapat menjual mereka seperti ternak; disamping kemungkinan buruknya, perbudakan Filipina biasanya tidaklah kejam atau menekan. Budak-budak seringkali diasosiasikan pada hubungan baik dengan tuan mereka dan tak bekerja berlebih. Bentuk perbudakan tersebut masih ada di Filipina pada kalangan Moro di Mindanao dan Jolo. Anak-anak budak mewarisi perbudakan orangtua mereka. Jika seorang orangtua bebas dan orangtua lainnya masih menjadi budak, anak pertama, ketiga dan kelima dibebaskan dan anak kedua, keempat dan keenam diperbudak. Seluruh persoalan pewarisan perbudakan dikerjakan dalam pernjelasan semenit.
Kehidupan di Barangay.—Perasaan masyarakat sangatlah kuat di barangay. Seseorang tak dapat meninggalkan barangay-nya sendiri untuk hidup dengan lainnya tanpa perhatian masyarakat dan pembayaran uang. Jika orang dari satu barrio menikahi wanita lainnya, anak-anak mereka terbagi antar dua barangay. Barangay bertanggung jawab atas perlakuan baik anggotanya, dan jika salah satu dari mereka mengalami luka akibat orang dari luar, seluruh barangay akan maju. Sengketa dan kesalahan antara anggota barangay yang sama dirujuk ke sejumlah pria tua, yang memutuskan persoalan tersebut dengan adat suku, yang ditangani oleh tradisi.
Agama Masyarakat Filipina.—Filipina pada masa kedatangan Spanyol adalah penyembah berhala, namun mereka memiliki satu jiwa yang mereka yakini terbesar dari segalanya dan pencipta atau pembuat berbagai hal. Tagálog menyebut dewa tersebut dengan sebutan Bathala, Bisaya, Laon, dan Ilocano, Kabunian. Mereka juga menyembah roh leluhur mereka, yang diwakili oleh gambar kecil yang disebut “anitos.” Berhala-berhala tersebut, yang merupakan barang umum yang dipercaya mengeluarkan kekuatan mukjizat, merupakan hal umum di kalangan masyarakat, dan patung atau gambar disembah. Pigafetta menyebut beberapa perhala yang ia lihat di Cebu, dan Chirino menuturkan pada kami bahwa, dalam ingatan orang-orang Filipina yang ia kenal, mereka memiliki berhala batu, kayu, tulang atau gigi buaya, dan bahwa terdapat beberapa yang terbuat dari emas.
Mereka juga memuja hewan dan burung, khsuusnya buaya, gagak, dan burung mitos berwarna biro atau kuning, yang diberi nama dewa mereka Bathala. Mereka tak memiliki kuil atau tempat ibadah umum, namun satu salam lain memiliki anitos di rumahnya sendiri dan melakukan pengurbanan dan tindakaan pemujaan disana. Kala pengurbanan, mereka membunuh babi atau ayam, dan membuat kesempatan lainnya dengan berpesta, bernyanyi dan mabuk-mabukkan. Kehidupan Filipina tanpa ragu diisi dengan kekhawatiran dan khayalan tingkat tinggi.
Muslim Melayu.—Muslim di luar Mindanao selatan dan Jolo, telah bermukim di sekitaran Teluk Manila dan Mindoro, Lubang, dan pantai dekat Luzon. Penyebaran Islam dihentikan oleh Spanyol, walau dijelaskan bahwa sepanjang jangka panjang kebanyakan orang yang hidup di pesisir Teluk Manila enggan menyantang babi, yang dilarang oleh al-Qur'an, dan menerapkan upacara sunat. Pada akhir 1583, Uskup Salazar, dalam tulisannya kepada raja soal perkara di Filipina, berkata bahwa Moro telah mendakwahi hukum Muhammad kepada sejumlah besar orang di kepulaaun tersebut dan dengan mendakwahi banyak priyayi yang telah menjadi Muslim; dan kemudian ia menambahkan, “Orang-orang yang menerima hukum bodoh tersebut menjaganya dengan sangat taat dan terdapat perbedaan besar dalam membuat mereka meninggalkannya; dan dengan sebab itu juga, untuk alasan yang kami berikan, untuk mempermalukan dan penyamaan mereka, bahwa mereka lebih baik diperlakukan oleh pendakwah Muhammad ketimbang mereka dikotbahi oleh pengkotbah Kristus.”
Perjuangan Material Filipina.—Lingkup material Filipian sebelum kedatangan Spanyol nyaris dalam setiap cara sebagaimana kami saat ini. “Pusat penduduk” dari setiap kota saat ini, dengan gereja besarnya, tribunal, toko dan rumah batu dan kayu, tentunya ditandai secara kontras; namun penampilan barrio jarak dekat dari pusat saat ini mungkin lebih dari itu. Kemudian, seperti saat ini, sejumlah orang tinggal di hunian rumah bambu dan nipa dibesarkan di tiang di atas landasan tanah; kemudian, sebagaimana saat ini, makanan kebanyakan adalah nasi dan ikan sempurna yang ditinggalkan di sungai dan laut. Terdapat pada perairan serupa, banca familiaar dan ikan karang, dan di darat ladang pafi dan kebun kelapa. Masyarakat Filipina kala itu banyak menghadirkan hewna-hewan jinak,—anjing, kucing, kambing, ayam, dan babi,—dan mungkin di Luzon kerbau jinak, meskipun hewan tersebut banyak diperkenalkan di Filipina dari Tiongkok usai penaklukan Spanyol. Kuda didatangkan dari Spanyol dan jumlah mereka meningkat dengan pengiriman kuda betina Tiongkok, yang impornya sering disebutkan.
Spanyol juga memperkenalkan penanaman tembakau, kopi dan kakao, dan mungkin juga jagung asli Amerika, walau Pigafetta berujar bahwa mereka mendapatinya telah tumbuh di Bisayas.
Filipina terdampak sepanjang berabad-abad oleh kekuataan Spanyol lebih kurang pada sisi materialnya ketimbang spiritualnya, dan utamanya dalam mendalami dan menaikkan kehidupan emosional dan mentalnya dan bukan dalam memperbaiki kondisi materialnya yang dibuat maju.
r9gghze95nvopmeowgo7n1bgi18u9g6
99918
99917
2024-11-10T06:51:38Z
Glorious Engine
9499
99918
wikitext
text/x-wiki
<center>'''Bab V'''</center>
<center>'''Masyarakat Filipina Sebelum Kedatangan Spanyol'''</center>
Posisi Suku-suku.—Kala kedatangan Spanyol, masyarakat Filipina nampak tersebar menurut suku-suku sebagaimana kebiasaan yang sama pada saat ini. Kemudian, seperti sekarang, Bisaya menduduki pulau-pulau tengah dari kepulauan tersebut dan beberapa pulau di pantai utara Mindanao. Bicol, Tagálog, dan Pampango berada pada bagian yang sama di Luzon sebagaimana kami temukan mereka pada saat ini. Ilocano menduduki dataran pesisir menghadap Laut Tiongkok, namun sejak kedatangan Spanyol, mereka menyebar dan pemukiman mereka kini tersebar di Pangasinan, Nueva Vizcaya, dan lembah Cagayan.
Jumlah Orang.—Suku-suku tersebut yang pada saat ini berjumlah sekitar 7.000.000 jiwa, pada masa penemuan Magellan, mungkin, tak lebih dari 500.000. Penjumlahan populasi pertama dibuang oleh Spanyol pada 1591, dan meliputi seluruh suku tersebut, memberikan angka kurang dari 700.000. (Lihat Bab VIII., Filipina Tiga Ratus Tahun Lalu.)
Terdapat juga beberapa fakta yang ditunjukkan pada kami bagaimana persebaran penduduk terjadi. Ekspedisi Spanyol mendapati banayk pesisir dan pulau di kelompok Bisayan tanpa penduduk. Terkadang, kapal layar atau perahu akan nampak, dan kemudian akan lenyap di beberapa “estero” kecil atau rawa bakau dan tanah nampak tak berpenduduk seperti sebelumnya. Pada titik tertentu, seperti Limasaua, Butúan, dan Bohol, penduduk asli berjumlah lebih banyak, dan Cebu merupakan komunitas yang besar dan beragam; namun Spantol nyaris menemukannya dimana-aman untuk mencari tempat pemukiman dan lahan penanaman.
Persebaran penduduk juga ditnadai oleh kelimpahan pangan yang besar. Spanyol memiliki banyak kesulitan dalam mengamankan tujuan-tujuannya. Sejumlah kecil beras, seekor babi dan beberapa ayam, didapatkan disini dan disana, namun Filipina tak memiliki suplai yang besar. Usai pemukiman Manila dibuat, sebagian besar pangan kota didatangkan dari Tiongkok. Sangat mudah bagi Spanyol bergerak ke tempat mereka hendaki dan mengurangi masyarakat Filipina untuk setia menunjukkan bahwa orang Filipina berjumlah sedikit. Laguna dan Camarines nampaknya merupakan wilayah paling berpenduduk di kepulauan tersebut. Seluruh hal dan lainnya menunjukkan bahwa masyarakat Filipina hanyalah fraksi kecil dari jumlah mereka saat ini.
Di sisi lain, Negrito nampak berjumlah lebih banyak, atau setidaknya lebih banyak bukti. Mereka secara langsung tercatat pada pulau Negros, tempat kami saat ini mendapati sedikit orang dan memasuki pelosok; dan di sekitaran Manila dan di dalam Batangas, tempat mereka tak lagi ditemukan, wilaayh tersebut diisi dengan masyarakat Tagálog.
Kondisi Budaya.—Budaya dari berbagai suku, yang kini nyaris sama di seluruh kepulauan, menunjukkan beberapa perbedaan. Di Bisaya selatan, tempat Spanyol pertama kali memasuki kepulauan tersebut, nampak ada dua jenis penduduk asli: penghuni bukit, yang tinggal di pelosok kepulauan dalam jumlah sedikit, yang mengenakan rajutan dari pelepah pohon dan yang terkadang membangun rumah mereka di pohon; dan penghuni laut, yang nampak berjumlah lebih banyak seperti suku-suku Moro saat ini di selatan Mindanao, yang dikenal sebagai Sámal, dan yang membangun desa-desa mereka di laut atau pesisir dan banyak tinggal di perahu. Terdapat kemungkinan kedatangan berikutnya pada orang-orang hutan. Dari kedua unsur tersebut, masyarakat Bisaya Filipina turun, namun walau orang pesisir sepenuhnya meninggalkan, beberapa pinggiran bukit masih menganut pagan dan belum berabad, dan harusnya mereka berjumlah lebih banyak kala Spanyol pertama kali datang.
Tingkat budaya tertinggi di pemukiman berada pada perdagangan reguler dengan Kalimantan, Siam dan Tiongkok, dan khususnya sekitaran Manila, tempat banyak Muslim Melayu memiliki koloni-koloni.
Rumpun Bahasa Orang Melayu.—Dengan pengecualian Negrito, seluruh rumpun bahasa Filipina masih satu keluarga besar, yang disebut “Melayu-Polinesia.” Semuanya diyakini berasal dari satu bahasa ibu yang sangat kuno. Ini menunjukkan bagaimana penuturan Melayu-Polinesia tersebut tersebar. Di wilaayh paling jauh di Pasifik, terdapat masyarakat Polinesia, yang kala itu berkelompok pada kepulaaun kecil; yang dikenal sebagai Mikronesia; kemudian Melanesia atau Ppaua; Melayu sepanjang kepulauan Hindia Timur, dan utara rumpun bahasa Filipina. Namun ini bukanlah semuanya; untuk wilayah paling barat di pesisir Afrika adalah pualu Madagaskar, banyak peribahasa dari rumpun bahasa disana yang tak memiliki hubungan dengan Afrika namun masuk pada keluarga Melayu-Polinesia.
Bahasa Tagálog.—Ini harus menjadi persoalan peminatan besar pada Filipina yang peneliti besar Baron William von Humboldt menganggap Tagálog merupakan bahasa terkaya dan paling sempurna dari seluruh bahasa dari keluarga Melayu-Polinesia, dan mungkin jenis dari mereka semua. “Bahasa tersebut menghimpun,” ujarnya, “seluruh bentuk yang secara kolektif berasal dari kata-kata tertentu yang ditemukan secara tunggal dalam dialek lainnya; dan menyajikan mereka semua dengan pengecualian tak terpatahkan, dan sepenuhnya selaras dan simetri.” Para frater Spanyol, kala kedatangan mereka di Filipina, sempat mencurahkan diri mereka untuk mempalajarid ialek asli dan persiapan doa dan katekisme dalam bahasa asli tersebut. Mereka sangat sukses dalam pembelajaran mereka. Padri Chirino berujar pada kami tentang seorang Yesuit yang mempelajari Tagálog dalam tujuh puluh hari untuk berkotbah dan mendengarkan pengampunan dosa. Dalam cara ini, Bisayan, Tagálog, dan Ilocano kemudian dinaungi.
Dalam menyoroti wacana Von Humboldt, ini dinunjukkan bahwa orang-orang Spanyol awal mengucapkan Tagálog dengan sangat sulit dan sangat mengagumkan. “Dari semua itu,” ujar Padre Chirino, “bahasa yang sangat menarik perhatianku dan mengisiku dengan kekaguman adalah Tagálog. Karena, kala ia ditunjuk menjadi uskup agung pertama, dan setelah itu orang serius lainnya, baik disana maupun disini, aku mendapati empat kualitas dari empat bahasa terbaik di dunia: Ibrani, Yunani, Latin, dan Spanyol; dari Ibrani, misteri dan berintang; dari Yunani, artikel-artikel dan prosisisinya tak hanya terapan namun juga pengucapan sebenarnya; dari latin, kekayaan dan elegan, dan dari Spanyol; berlaku baik, jujur dan berani.”
Hubungan Awal dengan Hindu.—Rumpun bahasa Melayu juga berisi sejumlah besar kata yang dipinjam dari Sanskerta, dan di dalamnya meliputi Tagálog, Bisayan, dan Ilocano. Apapun kata yang berlalu selaras dari satu kelompok Melayu ke kelompok lainnya, atau apa yang mereka perkenalkan lewat keberadaan dan kekuatan sebenarnya Hindu di kepulauan tersebut, berlandasan adil untuk perdebatan; namun kasus untuk posisi tersebut berjalan baik dan sempurna oleh Dr. Pardo de Tavera bahwa kesimpulannya disampaikan dalam kata-katanya sendiri. “Kata-kata yang dipinjam Tagálog,” ujarnya, “adalah kata-kata yang menunjukkan tindakan intelektual, pembentukan moral, emosi, penaungan, nama desa, planet, bilangan jumlah tinggi, botani, perang dan hasil dan dampaknya, dan pada akhirnya gelar dan martabat, beberapa hewan, alat industri, dan nama-nama uang.”
Dari bukti karya-karya tersebut, Dr. Pardo berpendapat bahwa pada suatu waktu dalam sejaraha wal Filipina, yang sebetulnya bukanlah hubungan perdagangan, seperti Tionghoa, namun dominasi politik dan sosial Hindu. “Aku tak yakin,” ujarnya, “dan aku melandasi opininya pada kata-kata ayng sama bahwa aku membawa serta dalam pengucapan tersebut, bahwa Hindu singkatnya adalah pedagang, namun mereka mendominasi bagian berbeda dari kepulauan tersebut, tempat saaat ini menuturkan banyak bahasa berbudaya,—Tagálo, Visayan, Pampanga, dan Ilocano; dan bahwa budaya yang lebih tinggi dari rumpun bahasa tersebut secara pasti datang dari pengaruh ras Hindu pada Filipina.”
Hindu di Filipina.—“Tak mungkin untuk meyakini bahwa Hindu, jika mereka datang hanya sebagai pedagang, namun jumlah mereka besar, akan menekan diri mereka sendiri dalam cara semacam itu untuk memberikan jumlah kepada penduduk pulau tersebut dan jenis kata yang mereka berikan. Nama-nama hadirin, cacique, fungsioner tinggi istana, bangsawati, menandakan bahwa seluruh jabatan tinggi dengan nama-nama asal Sanskerta pada suatu saat diduduki oleh orang yang menuturkan bahasa tersebut. Kata-kata bercikal bakal serupa untuk obyek-obyek perang, benteng dan lagu tempur, untuk obyek-obyek rancangan kepercayaan agama, untuk penaungan, emosi, perasaan, kegiatan industrial dan perkebunan, menunjukkan kami dengan jelas bahwa perang, agama, sastra, industri dan pertanian pada suatu waktu berada di tangan Hindu, dan bahwa ras tersebut secara efektif menjadi dominan di Filipina.”
Sistem Penulisan di kalangan Filipina.—Kala Spanyol datang ke Filipina, masyarakat Filipina memakai sitem penulisan yang dipinjam dari sumber-sumber Hindu atau Jawa. Persoalan tersebut sangat penting bahwa tak ada orang yang dapat melakukan hal yang lebih baik ketimbang yang dikutip sepenuhnya pada catatan Padre Chirino, karena ia merupakan penulsi Spanyol pertama yang menyebutkannya dan catatannya sangat lengkap.
“Sehingga memberikan para penduduk pulau tersebut untuk membaca dan menulis sangatlah uslit selaku manusia, dan lebih kurang seorang wanita, yang tak membaca dan menulis huruf yang selaras dengan pulau Manila, sangat berbeda dari Tiongkok, Jepang, dan india, karena akan nampak dari abjad berikut.
Namun dengan semuanya, dan tanpa banyak perombakan, mereka membuat diri mereka sendiri mengerti, dan mereka sendiri memahami secara menakjubkan. Dan pembaca mensuplai, dengan keterampilan dan kemudahan besar, konsonan yang kurang. Kami mempelajari dari mereka unruk menulis baris dari tanagn kiri ke kanan, namun dulunya mereka hanya menulsi dari atas ke bawah, menempatkan baris pertama (jika aku ingat dengan benar) di sisi kiri, dan melanjutkannya dengan lainnya di kanan, berbeda dengan Tionghoa dan Jepang.... Mereka menulis pada batang atau daun kelapa, memakai pena ujung besi. Kini dalam penulisan tak hanya milik mereka sendiri namun juga huruf mereka, mereka memakai bulu yang dipotong dengan sangat baik, dan keras seperti milik kami sendiri.
Kami memahami bahasa dan pengucapan mereka, dan mereka mampu menulis dengan baik, dan bahkan lebih baik; karena mereka sangat menerangi bahwa mereka memahami segala hal dengan kemudahan terbesar. Aku membawa denganku tulisan tangan dengan penulisan yang sangat baik dan benar. Di Tigbauan, aku memiliki sekolah anak yang sangat kecil, yang dalam waktu tiga bulan memahami, dengan salinan dari tulisan yang ditulis dengan baik yang aku rancang oadanya, untuk menulis lebih baik ketimbang aku, dan mentranskripsikan untukku tulisan-tulisan penting yang sangat terpercaya, tanpa kesalahan atau kekeliruan. Namun kebutuhan bahasa dan tata tulis; kini menggerakkan kami kembali ke perkajaan kami dengan jiwa manusia.”
Sumber Sanskerta dari Abjad Filipina.—Disamping Tagálog, Bisaya, Pampango, Pangasinan, dan Ilocano memiliki abjad, atau lebih tepatnya silabus yang mirip dengannya. Dr. Pardo de Tavera mengumpulkan banyak data terkait mereka, dan menunjukkan bahwa mereka tanpa ragu diraih oleh Filipina dari sumber Sanskerta.
Penulisan Filipina Awal.—Masyarakat Filipina memakai penulisan tersebut untuk merancang syair dan lagu mereka, yang merupakan satu-satunya sastra mereka. Namun, tak ada darinya yang didapati datang dari mereka, dan Filipina kemudian mengadopsi abjad Spanyol, menulis silabus yang dibutuhkan untuk menulis bahasa mereka dari huruf-huruf tersebut. Sebagaimana seluruh nilai-nilai fonetik, ini masih sangat mudah bagi seorang Filipina untuk belajar berucap dan membaca dengan bahasanya sendiri. Karakter-karakter lama digantungkan selama dua abad, di tempat-tempat tertentu. Padre Totanes berujar pada kami bahwa jarang pada 1705 untuk mendapati orang yang dapat menggunakannya; namun Tagbanua, sebuah suku pagan di pulau Paragua, memakai silabus serupa sampai saat ini. Disamping syair, mereka memiliki lagu yang mereka nyanyikan kala mereka mengayuh perahu mereka, kala mereka menumbuk beras dari sekamnya, dan kala mereka berkumpul untuk berpesta atau hiburan; dan secara khusus terdapat lagu-lagu untuk orang mati. Dalam lagu-lagu tersebut, ujar Chirino, mereka mendendangkan perbuatan leluhur mereka atau dewa mereka.
Tionghoa di Filipina.—Perdagangan Awal.—Hal yang sangat berbeda dari Hindu adalah pengaruh awal Tionghoa. Tak ada bukti bahwa, sebelum penaklukan Spanyol, Tionghoa menetap atau mengkolonisasikan kepulauan tersebut secara keseluruhan; dan bahkan tiga ratus tahun sebelum kedatangan Magellan, armada dagang mereka giat datang kesini dan beberapa pulau juga mengenal mereka. Satu bukti perdagangan prasejarah berada pada guci dan tembikar Tionghoa kuno yang diangkat di sekitaran Manila, namun tulisan Tionghoa mereka sendiri menghiasnya bahkan dengan sangat baik. Sekitar permulaan abad ketiga belas, walau tak lebih awal ketimbang 1205, seorang penulis Tionghoa bernama Chao Ju-kua menulis karya tentang perdaagngan maritim orang Tionghoa. Satu bab dari karyanya ditujukan untuk Filipina. yang ia sebut negara Mayi. Menurut catatan tersebut, ini menandakan bahwa Tionghoa familiar dengan pulau-pulau di kepulauan tersebut pada tujuh ratus tahun silam.
Tionghoa, Deskripsi Masyarakat.—“Negara Mayi,” ujar karya klasik tersebut, “berada di utara Poni (Burney, atau Kalimantan). Sekitar seribu keluarga mendiami tepi gelombang yang sangat berangin. Penduduk asli mengenakan diri mereka dengan lapisan kain yang mengingatkan pada lembar kasur, atau menutup tubuh mereka dengan sarong. (sarong berwarna abu-abu, rajutan khas Melayu.) Di sekitaran hutan luar, terdapat gambar-gambar Buddha tembaga, namun tak ada orang yang mengetahui bagaimana benda tersebut berada disana.
“Kala kapal-kapal pedagang (Tionghoa) datang ke pelabuhan ini, mereka belabuh di depan sebuah tempat terbuka ... yang dijadikan sebagai pasar, tempat mereka berdagang dengan hasil bumi dari wilayah tersebut. Kala kapal memasuki pelabuhan, kapten menghadirkan payung-payung putih (kepada para mandarin). Para pedagang diminta untuk membayar upeti tersebut dalam rangka menerima kehendak baik dari para tuannya.” Produk-produk wilayah tersebut dikatakan adalah malam kuning, kapas, mutiara, kerang, buah pinang, dan busana yuta, yang mungkin merupakan salah satu dari beberapa busana yang masih dirajut abacá, atau piña. Barang-barang yang diimpor oleh Tionghoa adalah “porselen, emas dagang, bahan timbal, manik-manik kaca dari segaal warna, pansi masak besi, dan jarum besi.”
Negrito.—Hal yang paling membuat penasaran adalah penyebutan akurat dalam penulisan Tionghoa mengenai Negrito, catatan pertama dari seluruh catatan mengenai orang kulit hitam kecil tersebut. “Di pelosok lembah, tinggal sebuah ras bernama Hai-tan (Acta). Mereka memiliki ukuran badan yang rendah, mata bulat warna kuning, rambut keriting, dan gigi mereka mudah nampak di antara bibir mereka. (Ini mungkin tak dihitamkan dengan mengunyah pinang atau bahan buatan.) Mereka membangun sangkar di atas pohon dan masing-masing sangkar dihuni satu keluarga, yang hanya terdiri dari tiga sampai lima orang. Mereka berjelajah di sekitaran wilayah terdalam hutan, dan, tanpa melihat diri mereka sendiri, menembakkan panah mereka kepada para pelintas; karena alasan tersebut, mereka sangat ditakuti. Jik pedagang (Tionghoa) membawakan mereka mangkuk porselen kecil, mereka akan memutuskan untuk menangkapnya dan kemudian melarikannya, berteriak dengan bahagia.”
Peningkatan dalam Perdagangan Tionghoa.—Kapal-kapal jung juga mengunjungi kepulauan yang lebih tengah, namun disini lalu lintas dilakukan pada kapal-kapal tersebut, Tionghoa yang datang mengumumkan diri mereka sendiri dengan memukul gong dan masyarakat Filipina berdatangan kepada mereka dengan perahu-perahu penerangan mereka. Salah satu hal lainnya yang ditawarkan disini oleh penduduk asli untuk perdagangan disebut “busana aneh,” mungkin cinamay atau jusi, dan tikar halus.
Perdagangan Tionghoa tersebut mungkin terus berlanjut sampai kedatangan Spanyol. Kala itu, wilayah tersebut menerima peningkatan melalui tawaran untuk produk pangan dan perangkat Tionghoa yang dibuat oleh Spanyol, dan karena nilai perak Meksiko yang ditawarkan Spanyol dalam pertukaran.
Perdagangan dengan Melayu Moro di Selatan.—Penyebaran Islam dan khususnya pembentukan koloni Kalimantan membawa Filipina menjadi hubungan komersial penting dengan Melayu di selatan. Sebelum kedatangan Spanyol, hubungan tersebut nampak bersahabat dan damai. Muslim Melayu mengirim perahu ke utara untuk keperluan dagang, dan mereka juga bermukim di Filipina utara sebagaimana mereka berada di Mindanao.
Kala armada Legaspi, tak lama usai kedatangannya, singgah di dekat pulau Bohol, “Maestro de Campo” mengalami pertarungan sengit dengan kapal Moro yang datang untuk berdagang, dan mengambil enam tahanan. Salah satu dari mereka, yang mereka sebut “pilot,” sering diinterogasi oleh Adelantado dan beberapa informasi penting diterima, yang dicatat oleh Padre San Augustin. Legaspi memiliki seorang penerjemah budak Melayu dengannya dan San Augustin berujar bahwa Padre Urdaneta “memahami bahasa Melayu dengan baik.” Pilot berujar bahwa “orang-orang di Kalimantan dibawa untuk berdagang dengan Filipina, tembaga dan timah, yang dibawa dari Tiongkok ke Kalimantan, porselen, hidangan dan lonceng yang dibuat dalam gaya mereka, sangat berbeda dari orang-orang yang dipakai umat Kristen, dan benzoin, dan jubah-jubah berwarna dari India, dan alat-alat masak yang dibuat di Tiongkok, dan yang mereka juga membawa tombak besi yang diolah dengan sangat baik, dan pisau dan barang barter lainnya, dan bahwa dalam pertukaran untuk mereka, mereka menempatkan emas, budak, malam dan jenis kerang laut kecil yang mereka sebut ‘sijueyes’ dari kepulauan tersebut, dan yang melintas untuk uang di kerajaan Siam dan tempat lainnya; dan juga menghantarkan mereka beberapa busana putih, yang berjumlah besar di kepulauan tersebut.”
Butúan, di pantai utara Mindanao, nampak merupakan tempat dagang yang disinggahi oleh kaapl-kapal dari segala penjuru. Wilaayh tersebut, seperti kebanyakan belahan Filipina lainnya, menghasilkan sejumlah kecil emas, dan seluruh pelayaran awal mencari emas dan hiasan penduduk asli. Butúan juga menghasilkan tebu dan merupakan pelabuhan dagang untuk para budak. Lalu lintas tak menguntungkan dalam kehidupan manusia nampak bukanlah hal yang tak lazim, dan tanpa ragu dilakukan lewat perdagangan dengan Kalimatan. Kapal-kapal jung dari Siam berdagang dengan Cebu juga dilawan oleh Spanyol.
Hasil dari Perhubungan dan Perdagangan.—Perhubungan dan lalu lintas dialami Filipina dengan berbagai unsur kehidupan peradaban sebelum kedatangan Spanyol. Para kepala suku dan dato berbusana sutra, dan menghimpun beberapa kendali di sekitar; nyaris seluruh penduduk suku pesisir menulsi dan berkomunikasi oleh cara silabus; kapal-kapal dari Luzon berdagang sampai selatan jauh di Mindanao dan Borneo, walaupun barang-barang Asia sebenarnya datang lewat armada warga asing; dan mungkin aap yang mengindikasikan secara lebih jelas ketimbang hal lainnya yang memajukan Filipina membuat komunikasi mereka dengan orang luar menjadi penggunaan senjata api mereka. Dari titik ini, tidak ada pertanyaan. Setipa tempat di sekitaran Manila, di Lubang, di Pampanga, di Cainta dan Laguna de Bay, Spanyol melawan benteng-benteng yang mengerahkan meriam kecil, atau “lantaka.” Selain itu, masyarakat Filipina nampak memahami seni pemasangan meriam dan membuat bubuk. Pabrik meriam pertama didirikan oleh Spanyol dalam pertikaran dengan orang Filipina dari Pampanga.
Kehidupan Politik dan Sosial Awal.—Barangay.—Sisi terlemah dari budaya Filipina awal adalah organisasi politik dan sosial mereka, dan mereka lemah disini tentunya dalam cara yang sama agar suku bangsa tak beradab di Luzon utara masih lemah. Negara mereka tak melingkupi seluruh suku atau bangsa; ini singkatnya meliputi komunitas. Di luar pemukim di tempat sekitaran langsung, seluruh orang lainnya adalah musuh atau kebanyakan warga asing. Tak ada negara besar yang berada di Filipina, bahkan raja besar dan sultan seperti yang ditemukan di Kepulauan Melayu, namun sebagai gantinya di seluruh pulau terdapat sejumlah komunitas kecil, yang masing-masing merdeka satu sama lain dan seringkali berperang.
Unit tatanan kekuatan politik mereka merupakan sekelompok rumah kecil dari tiga puluh sampai seratus keluarga, yang disebut “barangay,” dan yang masih ada di Filipina sebagai “barrio.” Di puncak setiap barangay adalah seorang pemimpin yang dikenal sebagai “dato,” sebuah kata yang tak lagi dipakai di Filipina utara, walau masih dipakai di kalangan Moro Mindanao. Kekuatan para dato dalam wilaayh kecil mereka nampaknya besar, dan mereka dipelakukan dengan sangat hormat oleh masyarakat.
Barangay-barangay dikelompokkan bersama dalam federasi kecil yang meliputi nyaris sebesar wilayah kota saat ini, yang urusannya ditangani oleh kepala suku atau dato, walau terkadang mereka nampak sepenuhnya setia pada pemimpin tunggal, yang dikenal di beberapa tempat sebagai “hari,” pada kesempatan lain memakai kata Hindu “raja,” atau istilah Muslim “sultan.” Terkadang, kekuatan salah satu raja nampak menyebar sampai seluruh pulau kecil, namun biasanya “kerajaan” mereka hanya meliputi beberapa mil.
Perubahan yang Dibuat oleh Spanyol.—Spanyol, dalam memberlakukan otoritas mereka terhadap kepulauan tersebut, mengambil alih kekuatan sebenarnya dari para dato, mengkelompokkan barangay menjaid kota, atau “pueblo,” selain memnbuat dato menjadi “cabezas de barrio,” atau “gobernadorcillos.” Beberapa perbedaan lama antara dato, atau “pemimpin,” dan masyarakat umum masih diwakili dalam “gente illustrada,” atau kelas yang lebih kaya, terdidik dan berpengaruh ditempatkan di setiap kota, dan “gente baja,” atau orang miskin dan tak terdidik.
Kelas-kelas Filipina di bawah para Dato.—Disamping dato, menurut Chirino dan Morga, terdapat tiga kelas Filipina; orang bebas, atau “maharlica,” yang tak membayar upeti kepada dato, namun yang menyertainya dalam perang, mengayuhkan perahunya kala ia datang pada sebuah perjalanan, dan menghadirinya di rumahnya. Kelas ini disebut oleh Morga dengan sebutan “timauas.”
Kemudian, terdapat sebuah kelas yang lebih besar, yang nampaknya merupakan orang merdeka atau budak yang dibebaskan, yang memiliki rumah mereka sendiri dan tinggal dengan keluarga mereka, namun memiliki hutang jasa besar pada dato atau maharlica; menyemai dan memanen di sawahnya, menghimpun perangkap ikan, mengayuh prahunya, membangun rumahnya, menghadirinya kala ia memiliki tamu, dan melakukan tugas lainnya yang dapat diperintah oleh pemimpin. Orang semi-bebas tersebut disebut “aliping namamahay,” dan kondisi mengikat mereka diturunkan ke anak mereka.
Disamping itu terdapat kelas budak. Mereka disebut “siguiguiliris,” dan mereka berjumlah banyak. Perbudakan mereka timbul dalam berbagai cara. Beberapa orang yang sejak kecil ditangkap dalam perang dan nyawa mereka dibiarkan. Beberapa menjadi budak dengan menjual kebebasan mereka pada masa kelaparan. Namun kebanyakan dari mereka menjadi budak karena hutang, yang diturunkan dari ayah ke putra. Sejumlah lima atau enam peso dipakai dalam beberapa kasus untuk melepaskan orang dari kebebasannya.
Budak-budak tersebut secara mutlak dimiliki oleh tuan mereka, dan secara teoretikal dapat menjual mereka seperti ternak; disamping kemungkinan buruknya, perbudakan Filipina biasanya tidaklah kejam atau menekan. Budak-budak seringkali diasosiasikan pada hubungan baik dengan tuan mereka dan tak bekerja berlebih. Bentuk perbudakan tersebut masih ada di Filipina pada kalangan Moro di Mindanao dan Jolo. Anak-anak budak mewarisi perbudakan orangtua mereka. Jika seorang orangtua bebas dan orangtua lainnya masih menjadi budak, anak pertama, ketiga dan kelima dibebaskan dan anak kedua, keempat dan keenam diperbudak. Seluruh persoalan pewarisan perbudakan dikerjakan dalam pernjelasan semenit.
Kehidupan di Barangay.—Perasaan masyarakat sangatlah kuat di barangay. Seseorang tak dapat meninggalkan barangay-nya sendiri untuk hidup dengan lainnya tanpa perhatian masyarakat dan pembayaran uang. Jika orang dari satu barrio menikahi wanita lainnya, anak-anak mereka terbagi antar dua barangay. Barangay bertanggung jawab atas perlakuan baik anggotanya, dan jika salah satu dari mereka mengalami luka akibat orang dari luar, seluruh barangay akan maju. Sengketa dan kesalahan antara anggota barangay yang sama dirujuk ke sejumlah pria tua, yang memutuskan persoalan tersebut dengan adat suku, yang ditangani oleh tradisi.
Agama Masyarakat Filipina.—Filipina pada masa kedatangan Spanyol adalah penyembah berhala, namun mereka memiliki satu jiwa yang mereka yakini terbesar dari segalanya dan pencipta atau pembuat berbagai hal. Tagálog menyebut dewa tersebut dengan sebutan Bathala, Bisaya, Laon, dan Ilocano, Kabunian. Mereka juga menyembah roh leluhur mereka, yang diwakili oleh gambar kecil yang disebut “anitos.” Berhala-berhala tersebut, yang merupakan barang umum yang dipercaya mengeluarkan kekuatan mukjizat, merupakan hal umum di kalangan masyarakat, dan patung atau gambar disembah. Pigafetta menyebut beberapa perhala yang ia lihat di Cebu, dan Chirino menuturkan pada kami bahwa, dalam ingatan orang-orang Filipina yang ia kenal, mereka memiliki berhala batu, kayu, tulang atau gigi buaya, dan bahwa terdapat beberapa yang terbuat dari emas.
Mereka juga memuja hewan dan burung, khsuusnya buaya, gagak, dan burung mitos berwarna biro atau kuning, yang diberi nama dewa mereka Bathala. Mereka tak memiliki kuil atau tempat ibadah umum, namun satu salam lain memiliki anitos di rumahnya sendiri dan melakukan pengurbanan dan tindakaan pemujaan disana. Kala pengurbanan, mereka membunuh babi atau ayam, dan membuat kesempatan lainnya dengan berpesta, bernyanyi dan mabuk-mabukkan. Kehidupan Filipina tanpa ragu diisi dengan kekhawatiran dan khayalan tingkat tinggi.
Muslim Melayu.—Muslim di luar Mindanao selatan dan Jolo, telah bermukim di sekitaran Teluk Manila dan Mindoro, Lubang, dan pantai dekat Luzon. Penyebaran Islam dihentikan oleh Spanyol, walau dijelaskan bahwa sepanjang jangka panjang kebanyakan orang yang hidup di pesisir Teluk Manila enggan menyantang babi, yang dilarang oleh al-Qur'an, dan menerapkan upacara sunat. Pada akhir 1583, Uskup Salazar, dalam tulisannya kepada raja soal perkara di Filipina, berkata bahwa Moro telah mendakwahi hukum Muhammad kepada sejumlah besar orang di kepulaaun tersebut dan dengan mendakwahi banyak priyayi yang telah menjadi Muslim; dan kemudian ia menambahkan, “Orang-orang yang menerima hukum bodoh tersebut menjaganya dengan sangat taat dan terdapat perbedaan besar dalam membuat mereka meninggalkannya; dan dengan sebab itu juga, untuk alasan yang kami berikan, untuk tindakan memalukan dan penyamaan mereka, bahwa mereka lebih baik diperlakukan oleh pendakwah Muhammad ketimbang mereka dikotbahi oleh pengkotbah Kristus.”
Perjuangan Material Filipina.—Lingkup material Filipian sebelum kedatangan Spanyol nyaris dalam setiap cara sebagaimana kami saat ini. “Pusat penduduk” dari setiap kota saat ini, dengan gereja besarnya, tribunal, toko dan rumah batu dan kayu, tentunya ditandai secara kontras; namun penampilan barrio jarak dekat dari pusat saat ini mungkin lebih dari itu. Kemudian, seperti saat ini, sejumlah orang tinggal di hunian rumah bambu dan nipa dibesarkan di tiang di atas landasan tanah; kemudian, sebagaimana saat ini, makanan kebanyakan adalah nasi dan ikan sempurna yang ditinggalkan di sungai dan laut. Terdapat pada perairan serupa, banca familiaar dan ikan karang, dan di darat ladang pafi dan kebun kelapa. Masyarakat Filipina kala itu banyak menghadirkan hewna-hewan jinak,—anjing, kucing, kambing, ayam, dan babi,—dan mungkin di Luzon kerbau jinak, meskipun hewan tersebut banyak diperkenalkan di Filipina dari Tiongkok usai penaklukan Spanyol. Kuda didatangkan dari Spanyol dan jumlah mereka meningkat dengan pengiriman kuda betina Tiongkok, yang impornya sering disebutkan.
Spanyol juga memperkenalkan penanaman tembakau, kopi dan kakao, dan mungkin juga jagung asli Amerika, walau Pigafetta berujar bahwa mereka mendapatinya telah tumbuh di Bisayas.
Filipina terdampak sepanjang berabad-abad oleh kekuataan Spanyol lebih kurang pada sisi materialnya ketimbang spiritualnya, dan utamanya dalam mendalami dan menaikkan kehidupan emosional dan mentalnya dan bukan dalam memperbaiki kondisi materialnya yang dibuat maju.
nyjnjgp7m1sc2jz8fpjdplep03sf5gl
Sejarah Filipina/Bab 6
0
24549
99919
99825
2024-11-10T06:52:37Z
Glorious Engine
9499
99919
wikitext
text/x-wiki
<center>'''Bab VI'''</center>
<center>'''Prajurit Spanyol dan Misionaris Spanyol'''</center>
History of the Philippines as a Part of the History of the Spanish Colonies.—We have already seen how the Philippines were discovered by Magellan in his search for the Spice Islands. Brilliant and romantic as is the story of that voyage, it brought no immediate reward to Spain. Portugal remained in her enjoyment of the Eastern trade and nearly half a century elapsed before Spain obtained a settlement in these islands. But if for a time he neglected the Far East, the Spaniard from the Peninsula threw himself with almost incredible energy and devotion into the material and spiritual conquest of America. All the greatest achievements of the Spanish soldier and the Spanish missionary had been secured within fifty years from the day when Columbus sighted the West Indies.
In order to understand the history of the Philippines, we must not forget that these islands formed a part of this great colonial empire and were under the same administration; that for over two centuries the Philippines were reached through Mexico and to a certain extent governed by Mexico; that the same governors, judges, and soldiers held office in both hemispheres, passing from America to the Philippines and being promoted from the Islands to the higher official positions of Mexico and Peru. So to understand the rule of Spain in the Philippines, we must study the great administrative machinery and the [109]great body of laws which she developed for the government of the Indies.1
Character of the Spanish Explorers.—The conquests themselves were largely effected through the enterprise and wealth of private individuals; but these men held commissions from the Spanish crown, their actions were subject to strict royal control, and a large proportion of the profits and plunder of their expeditions were paid to the royal treasury. Upon some of these conquerors the crown bestowed the proud title of “adelantado.” The Spanish nobility threw themselves into these hazardous undertakings with the courage and fixed determination born of their long struggle with the Moors. Out of the soul-trying circumstances of Western conquest many obscure men rose, through their brilliant qualities of spirit, to positions of eminence and power; but the exalted offices of viceroy and governor were reserved for the titled favorites of the king.
The Royal Audiencia.—Very early the Spanish court, in order to protect its own authority, found it necessary to succeed the ambitious and adventurous conqueror by a ruler in close relationship with and absolute dependence on the royal will. Thus in Mexico, Cortes the conqueror was removed and replaced by the viceroy Mendoza, who established upon the conquests of the former the great Spanish colony of New Spain, to this day the most successful of all the states planted by Spain in America.
To limit the power of the governor or viceroy, as well [110]as to act as a supreme court for the settlement of actions and legal questions, Spain created the “Royal Audiencia.” This was a body of men of noble rank and learned in the law, sent out from Spain to form in each country a colonial court; but their powers were not alone judicial; they were also administrative. In the absence of the governor they assumed his duties.
Treatment of the Natives by the Spanish.—In his treatment of the natives, whose lands he captured, the Spanish king attempted three things,—first, to secure to the colonist and to the crown the advantages of his labor, second, to convert the Indians to the Christian religion as maintained by the Roman Catholic Church, and third, to protect them from cruelty and inhumanity. Edict after edict, law after law, issued from the Spanish throne with these ends in view. As they stand upon the greatest of colonial law-books, the Recopilacion de Leyes de las Indias, they display an admirable sensitiveness to the needs of the Indian and an appreciation of the dangers to which he was subjected; but in the actual practice these beneficent provisions were largely useless.
The first and third of Spain’s purposes in her treatment of the native proved incompatible. History has shown that liberty and enlightenment can not be taken from a race with one hand and protection given it with the other. All classes of Spain’s colonial government were frankly in pursuit of wealth. Greed filled them all, and was the mainspring of every discovery and every settlement. The king wanted revenue for his treasury; the noble and the soldier, booty for their private purse; the friar, wealth for his order; the bishop, power for his church. All this wealth had to come out of the native toiler on the lands which the Spanish conqueror had seized; and while noble [111]motives were probably never absent and at certain times prevailed, yet in the main the native of America and of the Philippines was a sufferer under the hand and power of the Spaniard.
“The Encomenderos.”—Spain’s system of controlling the lives and the labor of the Indians was based to a certain extent on the feudal system, still surviving in the Peninsula at the time of her colonial conquests. The captains and soldiers and priests of her successful conquests had assigned to them great estates or fruitful lands with their native inhabitants, which they managed and ruled for their own profit. Such estates were called first “repartimientos.” But very soon it became the practice, in America, to grant large numbers of Indians to the service of a Spaniard, who had over them the power of a master and who enjoyed the profits of their labor. In return he was supposed to provide for the conversion of the Indians and their religious instruction. Such a grant of Indians was called an “encomienda.” The “encomendero” was not absolute lord of the lives and properties of the Indians, for elaborate laws were framed for the latter’s protection. Yet the granting of subjects without the land on which they lived made possible their transfer and sale from one encomendero to another, and in this way thousands of Indians of America were made practically slaves, and were forced into labor in the mines.
As we have already seen, the whole system was attacked by the Dominican priest, Las Casas, a truly noble character in the history of American colonization, and various efforts were made in America to limit the encomiendas and to prevent their introduction into Mexico and Peru; but the great power of the encomendero in America, together with the influence of the Church, which held extensive [112]encomiendas, had been sufficient to extend the institution, even against Las Casas’ impassioned remonstrances. Its abolition in Mexico was decreed in 1544, but “commissioners representing the municipality of Mexico and the religious orders were sent to Spain to ask the king to revoke at least those parts of the ‘New Laws’ which threatened the interests of the settlers. By a royal decree of October 20, 1545, the desired revocation was granted. This action filled the Spanish settlers with joy and the enslaved Indians with despair.”2
Thus was the institution early established as a part of the colonial system and came with the conquerors to the Philippines.
Restrictions on Colonization and Commerce.—For the management of all colonial affairs the king created a great board, or bureau, known as the “Council of the Indies,” which sat in Madrid and whose members were among the highest officials of Spain. The Spanish government exercised the closest supervision over all colonial matters, and colonization was never free. All persons, wares, and ships, passing from Spain to any of her colonial possessions, were obliged to pass through Seville, and this one port alone.
This wealthy ancient city, situated on the river Guadalquivir in southwestern Spain, was the gateway to the Spanish Empire. From this port went forth the mailed soldier, the robed friar, the adventurous noble, and the brave and highborn Spanish ladies, who accompanied their husbands to such great distances over the sea. And back to this port were brought the gold of Peru, the silver of Mexico, and the silks and embroideries of China, dispatched through the Philippines.[113]
It must be observed that all intercourse between Spain and her colonies was rigidly controlled by the government. Spain sought to create and maintain an exclusive monopoly of her colonial trade. To enforce and direct this monopoly, there was at Seville the Commercial House, or “Casa de Contratacion.” No one could sail from Spain to a colonial possession without a permit and after government registration. No one could send out goods or import them except through the Commercial House and upon the payment of extraordinary imposts. Trade was absolutely forbidden to any except Spaniards. And by her forts and fleets Spain strove to isolate her colonies from the approach of Portuguese, Dutch, or English, whose ships, no less daringly manned than those of Spain herself, were beginning to traverse the seas in search of the plunder and spoils of foreign conquest and trade.
Summary of the Colonial Policy of Spain.—Spain sought foreign colonies, first, for the spoils of accumulated wealth that could be seized and carried away at once, and, secondly, for the income that could be procured through the labor of the inhabitants of the lands she gained. In framing her government and administration of her colonies, she sought primarily the political enlightenment and welfare neither of the Spanish colonist nor the native race, but the glory, power, and patronage of the crown. The commercial and trade regulations were devised, not to develop the resources and increase the prosperity of the colonies, but to add wealth to the Peninsula. Yet the purposes of Spain were far from being wholly selfish. With zeal and success she sought the conversion of the heathen natives, whom she subjected, and in this showed a humanitarian interest in advance of the Dutch and English, who rivaled her in colonial empire.[114]
The colonial ideals under which the policy of Spain was framed were those of the times. In the centuries that have succeeded, public wisdom and conscience on these matters have immeasurably improved. Nations no longer make conquests frankly to exploit them, but the public opinion of the world demands that the welfare of the colonial subject be sought and that he be protected from official greed. There is great advance still to be made. It can hardly be said that the world yet recognizes that a stronger people should assist a weaker without assurance of material reward, but this is the direction in which the most enlightened feeling is advancing. Every undertaking of the white race, which has such aims in view, is an experiment worthy of the most profound interest and most solicitous sympathy.
Result of the Voyage of Magellan and El Cano.—The mind of the Spanish adventurer was greatly excited by the results of Sebastian del Cano’s voyage. Here was the opportunity for rich trade and great profit. Numerous plans were laid before the king, one of them for the building of an Indian trading-fleet and an annual voyage to the Moluccas to gather a great harvest of spices.
Portugal protested against this move until the question of her claim to the Moluccas, under the division of Pope Alexander, could be settled. The exact longitude of Ternate west from the line 370 leagues beyond the Verde Islands was not well known. Spaniards argued that it was less than 180 degrees, and, therefore, in spite of Portugal’s earlier discovery, belonged to them. The pilot, Medina, for example, explained to Charles V. that from the meridian 370 leagues west of San Anton (the most westerly island of the Verde group) to the city of Mexico was 59 degrees, from Mexico to Navidad, 9 degrees, and [115]from this port to Cebu, 100 degrees, a total of only 168 degrees, leaving a margin of 12 degrees; therefore by the pope’s decision the Indies, Moluccas, Borneo, Gilolo, and the Philippines were Spain’s.3 A great council of embassadors and cosmographers was held at Badajoz in 1524, but reached no agreement. Spain announced her resolution to occupy the Moluccas, and Portugal threatened with death the Spanish adventurers who should be found there.
The First Expedition to the Philippines.—Spain acted immediately upon her determination, and in 1525 dispatched an expedition under Jofre de Loaisa to reap the fruits of Magellan’s discoveries.4 The captain of one vessel was Sebastian del Cano, who completed the voyage of Magellan. On his ship sailed Andres de Urdaneta, who later became an Augustinian friar and accompanied the expedition of Legaspi that finally effected the settlement of the Philippines. Not without great hardship and losses did the fleet pass the Straits of Magellan and enter the Pacific Ocean. In mid-ocean Loaisa died, and four days later the heroic Sebastian del Cano. Following a route somewhat similar to that of Magellan, the fleet reached first the Ladrone Islands and later the coast of Mindanao. From here they attempted to sail to Cebu, but the strong northeast monsoon drove them southward to the Moluccas, and they landed on Tidor the last day of the year 1526.[116]
The Failure of the Expedition.—The Portuguese were at this moment fighting to reduce the native rajas of these islands to subjection. They regarded the Spaniards as enemies, and each party of Europeans was shortly engaged in fighting and in inciting the natives against the other. The condition of the Spaniards became desperate in the extreme, and indicates at what cost of life the conquests of the sixteenth century were made. Their ships had become so battered by storm as to be no longer sea-worthy. The two officers, who had successively followed Loaisa and El Cano in command, had likewise perished. Of the 450 men who had sailed from Spain, but 120 now survived. These, under the leadership of Hernando de la Torre, threw up a fort on the island of Tidor, unable to go farther or to retire, and awaited hoped-for succor from Spain.
Relief came, not from the Peninsula, but from Mexico. Under the instructions of the Spanish king, in October, 1527, Cortes dispatched from Mexico a small expedition in charge of D. Alvaro de Saavedra. Swept rapidly by the equatorial trades, in a few months Saavedra had traversed the Carolines, reprovisioned on Mindanao, and reached the survivors on Tidor. Twice they attempted to return to New Spain, but strong trade winds blow without cessation north and south on either side of the equator for the space of more than twelve hundred miles, and the northern latitude of calms and prevailing westerly winds were not yet known.
Twice Saavedra beat his way eastward among the strange islands of Papua and Melanesia, only to be at last driven back upon Tidor and there to die. The survivors were forced to abandon the Moluccas. By surrendering to the Portuguese they were assisted to return [117]to Europe by way of Malacca, Ceylon, and Africa, and they arrived at Lisbon in 1536, the survivors of Loaisa’s expedition, having been gone from Spain eleven years.
The efforts of the Spanish crown to obtain possession of the Spice Islands, the Celebes and Moluccas, with their coveted products of nutmeg, cinnamon, and pepper, were for the time being ended. By the Treaty of Zaragoza (1529) the Emperor, Charles V., for the sum of three hundred and fifty thousand gold ducats, renounced all claim to the Moluccas. For thirteen years the provisions of this treaty were respected by the Spaniards, and then another attempt was made to obtain a foothold in the East Indies.
The Second Expedition to the Philippines.—The facts that disaster had overwhelmed so many, that two oceans must be crossed, and that no sailing-route from Asia back to America was known, did not deter the Spaniards from their perilous conquests; and in 1542 another expedition sailed from Mexico, under command of Lopez de Villalobos, to explore the Philippines and if possible to reach China.
Across the Pacific they made a safe and pleasant voyage. In the warm waters of the Pacific they sailed among those wonderful coral atolls, rings of low shore, decked with palms, grouped in beautiful archipelagoes, whose appearance has never failed to delight the navigator, and whose composition is one of the most interesting subjects known to students of the earth’s structure and history. Some of these coral islands Villalobos took possession of in the name of Spain. These were perhaps the Pelew Islands or the Carolines.
At last Villalobos reached the east coast of Mindanao, but after some deaths and sickness they sailed again and [118]were carried south by the monsoon to the little island of Sarangani, south of the southern peninsula of Mindanao. The natives were hostile, but the Spaniards drove them from their stronghold and made some captures of musk, amber, oil, and gold-dust. In need of provisions, they planted the maize, or Indian corn, the wonderful cereal of America, which yields so bounteously, and so soon after planting. Food was greatly needed by the Spaniards and was very difficult to obtain.
The Naming of the Islands.—Villalobos equipped a small vessel and sent it northward to try to reach Cebu. This vessel reached the coast of Samar. Villalobos gave to the island the name of Filipina, in honor of the Spanish Infante, or heir apparent, Philip, who was soon to succeed his father Charles V. as King Philip the Second of Spain. Later in his correspondence with the Portuguese Villalobos speaks of the archipelago as Las Filipinas. Although for many years the title of the Islas del Poniente continued in use, Villalobos’ name of Filipinas gradually gained place and has lived.
The End of the Expedition.—While on Sarangani demands were made by the Portuguese, who claimed that Mindanao belonged with the Celebes, that the Spaniards should leave. Driven from Mindanao by lack of food and hostility of the natives, Villalobos was blown southward by storms to Gilolo. Here, after long negotiations, the Portuguese compelled him to surrender. The survivors of the expedition dispersed, some remaining in the Indies, and some eventually reaching Spain; but Villalobos, overwhelmed by discouragement, died on the island of Amboyna. The priest who ministered to him in his last hours was the famous Jesuit missionary to the Indies, Saint Francis Xavier.[119]
Twenty-three years were to elapse after the sailing of Villalobos’ fleet before another Spanish expedition should reach the Philippines. The year 1565 dates the permanent occupation of the archipelago by the Spanish.
Increase in Political Power of the Church.—Under Philip the Second, the champion of ecclesiasticism, the Spanish crown cemented the union of the monarchy with the church and devoted the resources of the empire, not only to colonial acquisition, but to combating the Protestant revolution on the one hand and heathenism on the other. The Spanish king effected so close a union of the church and state in Spain, that from this time on churchmen rose higher and higher in the Spanish councils, and profoundly influenced the policy and fate of the nation. The policy of Philip the Second, however, brought upon Spain the revolt of the Dutch Lowlands and the wars with England, and her struggle with these two nations drained her resources both on land and sea, and occasioned a physical and moral decline. But while Spain was constantly losing power and prestige in Europe, the king was extending his colonial domain, lending royal aid to the ambitious adventurer and to the ardent missionary friar. Spain’s object being to christianize as well as to conquer, the missionary became a very important figure in the history of every colonial enterprise, and these great orders to whom missions were intrusted thus became the central institutions in the history of the Philippines.
The Rise of Monasticism.—Monasticism was introduced into Europe from the East at the very commencement of the Middle Ages. The fundamental idea of the old monasticism was retirement from human society in the belief that the world was bad and could not be bettered, and [120]that men could lead holier lives and better please God by forsaking secular employments and family relations, and devoting all their attention to purifying their characters. The first monastic order in Europe were the Benedictines, organized in the seventh century, whose rule and organization were the pattern for those that followed.
The clergy of the church were divided thus into two groups,—first, the parish priests, or ministers, who lived among the people over whom they exercised the care of souls, and who, because they were of the people themselves and lived their lives in association with the community, were known as the “secular clergy,” and second, the monks, or “regular clergy,” were so called because they lived under the “rule” of their order.
In the early part of the thirteenth century monasticism, which had waned somewhat during the preceding two centuries, received a new impetus and inspiration from the organization of new orders known as brethren or “Friars.” The idea underlying their organization was noble, and above that of the old monasticism; for it was the idea of service, of ministry both to the hearts and bodies of depressed and suffering men.
The Dominicans.—The Order of Dominicans was organized by Saint Dominic, an Italian, about 1215. The primary object of its members was to defend the doctrines of the Church and, by teaching and preaching, destroy the doubts and protests which in the thirteenth century were beginning to disturb the claims of the Catholic Church and the Papacy. The Dominican friars did not live in communities, but traveled about, humbly clad, preaching in the villages and towns, and seeking to expose and punish the heretic. The mediæval universities, through their study of philosophy and the Roman law, [121]were producing a class of men disposed to hold opinions contrary to the teachings of the Church. The Dominicans realized the importance of these great centers of instruction and entered them as teachers and masters, and by the beginning of the fifteenth century had made them strongholds of conservatism and orthodoxy.
The Franciscans.—A few years after this organization, the Order of Franciscans was founded by Saint Francis of Assisi, of Spain. The aims of this order were not only to preach and administer the sacraments, but to nurse the sick, provide for the destitute, and alleviate the dreadful misery which affected whole classes in the Middle Ages. They took vows of absolute poverty, and so humble was the garb prescribed by their rule that they went barefooted from place to place.
The Augustinian Order was founded by Pope Alexander IV., in 1265, and still other orders came later.
The Degeneration of the Orders.—Without doubt the early ministrations of these friars were productive of great good both on the religious and humanitarian sides. But, as the orders became wealthy, the friars lost their spirituality and their lives grew vicious. By the beginning of the sixteenth century the administration of the Church throughout Europe had become so corrupt, the economic burden of the religious orders so great, and religious teaching and belief so material, that the best and noblest minds in all countries were agitating for reform.
The Reformation.—In addition to changes in church administration, many Christians were demanding a greater freedom of religious thinking and radical changes in the Church doctrine which had taken form in the Middle Ages. Thus, while all the best minds in the Church were united in seeking a reformation of character and of administration, [122]great differences arose between them as to the possibility of change in Church doctrines. These differences accordingly separated them into two parties, the Papacy adhering strongly to the doctrine as it was then accepted, while various leaders in the north of Europe, including Martin Luther in Germany, Swingli in Switzerland, and John Calvin in France and Geneva, broke with the authority of the Pope and declared for a liberation of the individual conscience.
Upon the side of the Papacy, the Emperor Charles the Fifth threw the weight of the Spanish monarchy, and to enforce the Papal authority he attacked the German princes by force of arms. The result was a great revolt from the Roman Catholic Church, which spread all over northern Germany, a large portion of Switzerland, the lowlands of the Rhine, and England, and which included a numerous and very influential element among the French people. These countries, with the exception of France, have remained Protestant to the present day; and the great expansion of the English people in America and the East has established Protestantism in all parts of the world.
Effects of the Reformation in the Roman Catholic Church.—The reform movement, which lasted through the century, brought about a great improvement in the Roman Catholic Church. Many, who remained devoted to Roman Catholic orthodoxy, were zealous for administrative reform. A great assembly of Churchmen, the Council of Trent, for years devoted itself to legislation to correct abuses. The Inquisition was revived and put into force against Protestants, especially in the dominions of Spain, and the religious orders were reformed and stimulated to new sacrifices and great undertakings.
But greater, perhaps, than any of these agencies in re-establishing [123]the power of the Pope and reviving the life of the Roman Catholic Church was the organization of a new order, the “Society of Jesus.” The founder was a Spaniard, Ignatius Loyola, The Jesuits devoted themselves especially to education and missionary activity. Their schools soon covered Europe, while their mission stations were to be found in both North and South America, India, the East Indies, China, and Japan.
The Spanish Missionary.—The Roman Catholic Church, having lost a large part of Europe, thus strove to make up the loss by gaining converts in heathen lands. Spain, being the power most rapidly advancing her conquests abroad, was the source of the most tireless missionary effort. From the time of Columbus, every fleet that sailed to gain plunder and lands for the Spanish kingdom carried bands of friars and churchmen to convert to Christianity the heathen peoples whom the sword of the soldier should reduce to obedience.
“The Laws of the Indies” gave special power and prominence to the priest. In these early days of Spain’s colonial empire many priests were men of piety, learning, and unselfish devotion. Their efforts softened somewhat the violence and brutality that often marred the Spanish treatment of the native, and they became the civilizing agents among the peoples whom the Spanish soldiers had conquered.
In Paraguay, California, and the Philippines the power and importance of the Spanish missionary outweighed that of the soldier or governor in the settlement of those countries and the control of the native inhabitants. Churchmen, full of the missionary spirit, pressed upon the king the duties of the crown in advancing the cross, and more than one country was opened to Spanish settlement through the enthusiasm of the priest.
d4der4dn0mt5evo6i6q3hwamxvdpr9y
99927
99919
2024-11-10T10:59:01Z
Glorious Engine
9499
99927
wikitext
text/x-wiki
<center>'''Bab VI'''</center>
<center>'''Prajurit Spanyol dan Misionaris Spanyol'''</center>
Sejarah Filipina sebagai Bagian dari Sejarah Koloni Spanyol.—Kami telah melihat bagaimana Filipina ditemukan oleh Magellan dalam pencariannya untuk Kepulauan Rempah-rempah. Brilian dan romantis sebagaimana kisah perjalanan tersebut, ini tak membawa penerimaan langsung untuk Spanyol. Portugal masih menikmati perdaagngan Timur dan nyaris separuh abad menaungi sebelum Spanyol menghimpun pemukiman di kepulauan tersebut. Namun jika pada suatu waktu ia merangsek Timur Jauh, Spanyol dari Semenanjung menghimpun dirinya dengan nyaris tenaga tak terbatas dan pencurahan dalam penaklukan material dan spiritual Amerika. Seluruh pengabdian terbesar prajurit Spanyol dan misionaris Spanyol telah diamankan dalam lima puluh tahun dari masa kala Columbus melihat Hindia Barat.
Dalam rangka memahami sejarah Filipina, kami tak harus melupakan bahwa kepulauan tersebut membentuk bagian dari kekaisaran kolonial besar dan di bawah pemerintahan yang sama; bahwa selama lebih dari dua abad, Filipina dicapai melalui Meksiko dan pada keadaan tertentu diperintah oleh Meksiko; bahwa gubernur, hakim dan prajurit yang sama memegang jabatan di kedua hemisfer tersebut, melitnas dari Amerika ke Filipina dan dipromosikan dari Kepulauan tersebut untuk jabatan resmi yang lebih tinggi di Meksiko dan Peru. Sehingga untuk memahami kekuasaan Spanyol di Filipina, kami harus mengkaji pergerakan pemerintahan besar dan badan hukum besar yang berkembang pada pemerintahan Hindia.
Karakter Penjelajah Spanyol.—Penaklukan mereka sendiri banyak terdampak melalui usaha dan kekayaan orang-orangs wasta; namun orang-orang yang memegang jabatan dari takhta Spanyol, tindakan mereka tunduk pada kendali kerajaan yang ketat, dan sebagian besar laba dan hasil dari penjelajahan mereka dibayarkan kepada perbendaharaan kerajaan. Setelah beberapa penakluk, mahkota menyematkan gelar kebanggaan “adelantado.” Bangsawan Spanyol mencurahkan diri mereka sendiri dalam pemahaman berbahaya tersebut dengan keberanian dan penentuan pasti yang lahir dari perjuangan panjang mereka dengan Moor. Terlepas dari keadaan pencobaan jiwa dari penaklukan Barat yang mengembangkan banyak rintangan, meskipun sejumlah semangat brilian mereka,, sampai posisi pasti dan kekuatan; namun jabatan kewalirajaan dan gubernur disandang untuk menggelari orang-orang kesayangan raja.
Audiencia Kerajaan.—Pemerintahan Spanyol paling awal, dalam rangka melindungi otoritasnya sendiri, mendapatinya dibutuhkan untuk meneruskan ambisi dan penakluk petualang oleh penguasa dalam hubungan dekat denagn ketergantungan mutlak pada kehendak kerajaan. Sehingga di Meksiko, Cortes sang penakluk dicopot dan digantikan oleh wali raja Mendoza, yang melakukan penaklukan terhadap bekas koloni Spanyol besar Spanyol Baru, yang sampai saat ini merupakan peristiwa paling sukses dari seluruh negara yang ditanam oleh Spanyol di Amerika.
Untuk membatasi kekuatan gubernur dan wakil raja, serta dintakan pemerintahan tertinggi untuk penetapan tindakan dan pertanyaan hukum, Spanyol menciptakan “Audiencia Kerajaan.” Ini adalah badan golongan bangsawan dan melek hukum, dikirim dari Spanyol uintuk membentuk pemerintahan kolonial di setiap negara; namun kekuatan mereka tak hanya yudisial; mereka juga bersifat administratif. Dalam ketiadaan gubernur, mereka memegang tugas-tugasnya.
Perlakuan Penduduk Asli oleh Spanyol.—Dalam perlakuan terhadap penduduk asli, yang wilayahnya ditaklukan olehnya, raja Spanyol mengupayakan tiga hal,—pertama, untuk mengamankan kolonis dan mahkota pergerakan buruhnya, kedua, untuk memindahkan Indian ke agama Kristen sebagaimana yang diutamakan oleh Gereja Katolik Roma, dan ketiga, untuk melindungi mereka dari kekejaman dan ketidakperikemanusiaan. Edik demi edik, hukum demi hukum, dikeluarkan dari takhta Spanyol dengan akhir pandangan tersebut. Kala mereka berdiri pada buku-buku hukum kolonial terbesar, Recopilacion de Leyes de las Indias, mereka menyimpan kesensitivan untuk kebutuhan Indian dan apresiasi bahaya yang ia hadapi; namun dalam praktek sebenarnya, tujuan bermanfaat tersebut kebanyakan tak berguna.
Keperluan pertama dan ketiga Spanyol dalam perlakuannya terhadap penduduk asli menghimpun ketidakpastian. Sejarah telah menunjukkan bahwa kebebasan dan pencerahan tak dapat diambil dari sebuah ras dengan satu tanagn dan perlindungan yang memberikannya dengan tangan lainnya. Ssleuruh kelas dari pemerintah kolonial Spanyol menyelaraskan kekayaan. Kebanggaan mengisi mereka semua, dan merupakan mata air utama darissetiap penemuan dan setiap ketetapan. Raja menginginkan pendapatan untuk perbendaharaannya; bangsawan dan prajurit, ditugaskan pada keperluan pribadi mereka; frater, diperkaya untuk ordonya; uskup, dikuatkan untuk gerejanya. Seluruh kekayaan tersebut datang dari penghasilan penduduk asli di tanah yang dikuasai penakluk Spanyol; dan sementara motif bangsawan mungkin tak pernah absen dan pada waktu tertentu selaras, sehingga pad autamanya penduduk asli AMerika dan Filipina menjadi terdera di bawah tangan dan kekuasaan Spanyol.
“The Encomenderos.”—Sistem pengendalian kehidupan Spanyol dan pengerjaan Indian berdasarkan pada keberadaan tertentu pada sistem feodal, masih ada di Semenanjung pada waktu penaklukan kolonialnya. Para kapten dan prajurit serta imam dari penaklukan suksesnya menugaskan mereka untuk pertanahan besar atau lahan berbuah dengan penduduk asli mereka, yang merek aurus dan kuasai untuk laba mereka sendiri. Lahan semacam itu disebut “repartimientos” pertama. Namun kemudian menjadi penerapan, di Amerika, untuk menarik sejumlah ebsar Indian untuk penugasan orang Spanyol, yang menaungi mereka dengan kekuasaan majikan dan yang menikmati laba ketenagakerjaaan mereka. Sebagai balasannya, ia diperintahkan untuk memindahkan agama orang-orang Indian dan perintah agama mereka. Pemberian Indian semacam itu disebut “encomienda.” “Encomendero” bukanlah tuan mutlak dari kehidupan dan harta benda Indian, untuk hukum kerjasama yang dinaungi untuk perlindungan Indian. Sehingga, pemberian subyek tanpa tanah yang ditinggali oleh mereka membuat kemungkinan pemindahan mereka dan penjualan dari satu encomendero ke lainnya, dan dalam cara ini, ribuan Indian Amerika secara terapan dijadikan budak, dan dipaksa menjadi buruh dalam pertambangan.
Sebagaimana yang kami lihat, seluruh sistem tersebut diserang oleh imam Dominikan, Las Casas, seorang sosok bangsawan sebenarnya dalam sejarah kolonisasi Amerika, dan berbagai upaay dibuat di Amerika untuk membatasi encomienda dan untuk mencegah pengenalan mereka ke Meksiko dan Peru; namun kekuatan besar encomendero di America, bersama dengan pengaruh Gereja, yang memegang encomienda secara luas, telah terdorong untuk meluaskan kelembagaan tersebut, bahkan melawan tindakan bersemangat Las Casas. Peniadaannya di Meksiko didekritkan pada 1544, namun “para komisioner mewakili munisipalitas Meksiko dan ordo-ordo keagamaan dikirim ke Spanyol untuk membujuk raja untuk menariks etidaknya bagian-bagian ‘Hukum Baru’ yang emngancam kepentingan pemukim. Lewat dekrit kerajaan 20 Oktober 1545, penerapan yang diinginkan diterima. Tindakan tersebut mengisi pemukim Spanyol dengan kegembiraan dan Indian yang diperbudak dengan perbaikan.”
Ini menjadi kelembagaan yang awalnya didirikan sebagai bagian sistem kolonial dan didatangkan dengan penakluk ke Filipina.
Pembatasan pada Kolonisasi dan Perdagangan.—Untuk kepengurusan setiap urusan kolonial, raja menciptakan badan besar, atau biro, yang dikenal sebagai “Dewan Hindia,” yang duduk di Madrid dan para anggotanya adalah para pejabat tertinggi di Spanyol. Pemerintah Spanyol memegang penaungan terdekat atas seluruh persoalan kolonial, dan kolonisasi tak pernah bebas. Seluruh orang, gudang, dan kapal, yang didatangkan dari Spanyol ke wilayah kolonialnya, ditujukan untuk melintas melewati Sevilla, dan pelabuhan itu sendiri.
Kota kuno kaya, yang terletak di sungai Guadalquivir, Spanyol barat daya, adalah gerbang masuk menuju Kekaisaran Spanyol. Dari pelabuhan tersebut didatangkan prajurit penyurat, frater berjubah, bangsawan petualang, dan wanita-wanita Spanyol pemberani dan mentereng, yang menyertai suami mereka ke wilayah yang sangat jauh sepanjang laut. Dan kemabli ke pelabuhan membawa emas Peru, perak Meksiko, dan sutra dan brodiran Tiongkok, yang diangkut melalui Filipina.
Harus diamati bahwa seluruh perhubungan antara Spanyol dan koloni-koloninya sangat dikendalikan oleh pemerintah. Spanyol berniat untuk menciptakan dan menghimpun monopoli khsusu dari perdagangan kolonialnya. Untuk memberlakukan dan mengarahkan monopolinya, di Sevilla, terdapat Dewan Perdagangan, atau “Casa de Contratacion.” Tak ada orang yang dapat berlayar dari Spanyol ke wilayah kolonial tanpa ijin dan melewati pendaftaran pemerintah. Tak ada orang yang dapat mengirim barang ke luar atau mengimpornya kecuali melalui Dewan Perdagangan dan kala pembayaran pengiriman luar biasa. Perdagangan secara mutlak dilarang untuk orang-orang Spanyol tertentu. Dan melalui bentengnya dan armadanya, Spanyol mengisolasi koloninya dari jamahan Portugis, Belanda, atau Inggris, yang kapal-kapalnya, yang diisi awak selain orang-orang Spanyol sendiri, merupakan permulaan untuk mengarungi laut dalam mencari kekayaan dan penghasilan dari penaklukan dan perdagangan asing.
Summary of the Colonial Policy of Spain.—Spain sought foreign colonies, first, for the spoils of accumulated wealth that could be seized and carried away at once, and, secondly, for the income that could be procured through the labor of the inhabitants of the lands she gained. In framing her government and administration of her colonies, she sought primarily the political enlightenment and welfare neither of the Spanish colonist nor the native race, but the glory, power, and patronage of the crown. The commercial and trade regulations were devised, not to develop the resources and increase the prosperity of the colonies, but to add wealth to the Peninsula. Yet the purposes of Spain were far from being wholly selfish. With zeal and success she sought the conversion of the heathen natives, whom she subjected, and in this showed a humanitarian interest in advance of the Dutch and English, who rivaled her in colonial empire.[114]
The colonial ideals under which the policy of Spain was framed were those of the times. In the centuries that have succeeded, public wisdom and conscience on these matters have immeasurably improved. Nations no longer make conquests frankly to exploit them, but the public opinion of the world demands that the welfare of the colonial subject be sought and that he be protected from official greed. There is great advance still to be made. It can hardly be said that the world yet recognizes that a stronger people should assist a weaker without assurance of material reward, but this is the direction in which the most enlightened feeling is advancing. Every undertaking of the white race, which has such aims in view, is an experiment worthy of the most profound interest and most solicitous sympathy.
Result of the Voyage of Magellan and El Cano.—The mind of the Spanish adventurer was greatly excited by the results of Sebastian del Cano’s voyage. Here was the opportunity for rich trade and great profit. Numerous plans were laid before the king, one of them for the building of an Indian trading-fleet and an annual voyage to the Moluccas to gather a great harvest of spices.
Portugal protested against this move until the question of her claim to the Moluccas, under the division of Pope Alexander, could be settled. The exact longitude of Ternate west from the line 370 leagues beyond the Verde Islands was not well known. Spaniards argued that it was less than 180 degrees, and, therefore, in spite of Portugal’s earlier discovery, belonged to them. The pilot, Medina, for example, explained to Charles V. that from the meridian 370 leagues west of San Anton (the most westerly island of the Verde group) to the city of Mexico was 59 degrees, from Mexico to Navidad, 9 degrees, and [115]from this port to Cebu, 100 degrees, a total of only 168 degrees, leaving a margin of 12 degrees; therefore by the pope’s decision the Indies, Moluccas, Borneo, Gilolo, and the Philippines were Spain’s.3 A great council of embassadors and cosmographers was held at Badajoz in 1524, but reached no agreement. Spain announced her resolution to occupy the Moluccas, and Portugal threatened with death the Spanish adventurers who should be found there.
The First Expedition to the Philippines.—Spain acted immediately upon her determination, and in 1525 dispatched an expedition under Jofre de Loaisa to reap the fruits of Magellan’s discoveries.4 The captain of one vessel was Sebastian del Cano, who completed the voyage of Magellan. On his ship sailed Andres de Urdaneta, who later became an Augustinian friar and accompanied the expedition of Legaspi that finally effected the settlement of the Philippines. Not without great hardship and losses did the fleet pass the Straits of Magellan and enter the Pacific Ocean. In mid-ocean Loaisa died, and four days later the heroic Sebastian del Cano. Following a route somewhat similar to that of Magellan, the fleet reached first the Ladrone Islands and later the coast of Mindanao. From here they attempted to sail to Cebu, but the strong northeast monsoon drove them southward to the Moluccas, and they landed on Tidor the last day of the year 1526.[116]
The Failure of the Expedition.—The Portuguese were at this moment fighting to reduce the native rajas of these islands to subjection. They regarded the Spaniards as enemies, and each party of Europeans was shortly engaged in fighting and in inciting the natives against the other. The condition of the Spaniards became desperate in the extreme, and indicates at what cost of life the conquests of the sixteenth century were made. Their ships had become so battered by storm as to be no longer sea-worthy. The two officers, who had successively followed Loaisa and El Cano in command, had likewise perished. Of the 450 men who had sailed from Spain, but 120 now survived. These, under the leadership of Hernando de la Torre, threw up a fort on the island of Tidor, unable to go farther or to retire, and awaited hoped-for succor from Spain.
Relief came, not from the Peninsula, but from Mexico. Under the instructions of the Spanish king, in October, 1527, Cortes dispatched from Mexico a small expedition in charge of D. Alvaro de Saavedra. Swept rapidly by the equatorial trades, in a few months Saavedra had traversed the Carolines, reprovisioned on Mindanao, and reached the survivors on Tidor. Twice they attempted to return to New Spain, but strong trade winds blow without cessation north and south on either side of the equator for the space of more than twelve hundred miles, and the northern latitude of calms and prevailing westerly winds were not yet known.
Twice Saavedra beat his way eastward among the strange islands of Papua and Melanesia, only to be at last driven back upon Tidor and there to die. The survivors were forced to abandon the Moluccas. By surrendering to the Portuguese they were assisted to return [117]to Europe by way of Malacca, Ceylon, and Africa, and they arrived at Lisbon in 1536, the survivors of Loaisa’s expedition, having been gone from Spain eleven years.
The efforts of the Spanish crown to obtain possession of the Spice Islands, the Celebes and Moluccas, with their coveted products of nutmeg, cinnamon, and pepper, were for the time being ended. By the Treaty of Zaragoza (1529) the Emperor, Charles V., for the sum of three hundred and fifty thousand gold ducats, renounced all claim to the Moluccas. For thirteen years the provisions of this treaty were respected by the Spaniards, and then another attempt was made to obtain a foothold in the East Indies.
The Second Expedition to the Philippines.—The facts that disaster had overwhelmed so many, that two oceans must be crossed, and that no sailing-route from Asia back to America was known, did not deter the Spaniards from their perilous conquests; and in 1542 another expedition sailed from Mexico, under command of Lopez de Villalobos, to explore the Philippines and if possible to reach China.
Across the Pacific they made a safe and pleasant voyage. In the warm waters of the Pacific they sailed among those wonderful coral atolls, rings of low shore, decked with palms, grouped in beautiful archipelagoes, whose appearance has never failed to delight the navigator, and whose composition is one of the most interesting subjects known to students of the earth’s structure and history. Some of these coral islands Villalobos took possession of in the name of Spain. These were perhaps the Pelew Islands or the Carolines.
At last Villalobos reached the east coast of Mindanao, but after some deaths and sickness they sailed again and [118]were carried south by the monsoon to the little island of Sarangani, south of the southern peninsula of Mindanao. The natives were hostile, but the Spaniards drove them from their stronghold and made some captures of musk, amber, oil, and gold-dust. In need of provisions, they planted the maize, or Indian corn, the wonderful cereal of America, which yields so bounteously, and so soon after planting. Food was greatly needed by the Spaniards and was very difficult to obtain.
The Naming of the Islands.—Villalobos equipped a small vessel and sent it northward to try to reach Cebu. This vessel reached the coast of Samar. Villalobos gave to the island the name of Filipina, in honor of the Spanish Infante, or heir apparent, Philip, who was soon to succeed his father Charles V. as King Philip the Second of Spain. Later in his correspondence with the Portuguese Villalobos speaks of the archipelago as Las Filipinas. Although for many years the title of the Islas del Poniente continued in use, Villalobos’ name of Filipinas gradually gained place and has lived.
The End of the Expedition.—While on Sarangani demands were made by the Portuguese, who claimed that Mindanao belonged with the Celebes, that the Spaniards should leave. Driven from Mindanao by lack of food and hostility of the natives, Villalobos was blown southward by storms to Gilolo. Here, after long negotiations, the Portuguese compelled him to surrender. The survivors of the expedition dispersed, some remaining in the Indies, and some eventually reaching Spain; but Villalobos, overwhelmed by discouragement, died on the island of Amboyna. The priest who ministered to him in his last hours was the famous Jesuit missionary to the Indies, Saint Francis Xavier.[119]
Twenty-three years were to elapse after the sailing of Villalobos’ fleet before another Spanish expedition should reach the Philippines. The year 1565 dates the permanent occupation of the archipelago by the Spanish.
Increase in Political Power of the Church.—Under Philip the Second, the champion of ecclesiasticism, the Spanish crown cemented the union of the monarchy with the church and devoted the resources of the empire, not only to colonial acquisition, but to combating the Protestant revolution on the one hand and heathenism on the other. The Spanish king effected so close a union of the church and state in Spain, that from this time on churchmen rose higher and higher in the Spanish councils, and profoundly influenced the policy and fate of the nation. The policy of Philip the Second, however, brought upon Spain the revolt of the Dutch Lowlands and the wars with England, and her struggle with these two nations drained her resources both on land and sea, and occasioned a physical and moral decline. But while Spain was constantly losing power and prestige in Europe, the king was extending his colonial domain, lending royal aid to the ambitious adventurer and to the ardent missionary friar. Spain’s object being to christianize as well as to conquer, the missionary became a very important figure in the history of every colonial enterprise, and these great orders to whom missions were intrusted thus became the central institutions in the history of the Philippines.
The Rise of Monasticism.—Monasticism was introduced into Europe from the East at the very commencement of the Middle Ages. The fundamental idea of the old monasticism was retirement from human society in the belief that the world was bad and could not be bettered, and [120]that men could lead holier lives and better please God by forsaking secular employments and family relations, and devoting all their attention to purifying their characters. The first monastic order in Europe were the Benedictines, organized in the seventh century, whose rule and organization were the pattern for those that followed.
The clergy of the church were divided thus into two groups,—first, the parish priests, or ministers, who lived among the people over whom they exercised the care of souls, and who, because they were of the people themselves and lived their lives in association with the community, were known as the “secular clergy,” and second, the monks, or “regular clergy,” were so called because they lived under the “rule” of their order.
In the early part of the thirteenth century monasticism, which had waned somewhat during the preceding two centuries, received a new impetus and inspiration from the organization of new orders known as brethren or “Friars.” The idea underlying their organization was noble, and above that of the old monasticism; for it was the idea of service, of ministry both to the hearts and bodies of depressed and suffering men.
The Dominicans.—The Order of Dominicans was organized by Saint Dominic, an Italian, about 1215. The primary object of its members was to defend the doctrines of the Church and, by teaching and preaching, destroy the doubts and protests which in the thirteenth century were beginning to disturb the claims of the Catholic Church and the Papacy. The Dominican friars did not live in communities, but traveled about, humbly clad, preaching in the villages and towns, and seeking to expose and punish the heretic. The mediæval universities, through their study of philosophy and the Roman law, [121]were producing a class of men disposed to hold opinions contrary to the teachings of the Church. The Dominicans realized the importance of these great centers of instruction and entered them as teachers and masters, and by the beginning of the fifteenth century had made them strongholds of conservatism and orthodoxy.
The Franciscans.—A few years after this organization, the Order of Franciscans was founded by Saint Francis of Assisi, of Spain. The aims of this order were not only to preach and administer the sacraments, but to nurse the sick, provide for the destitute, and alleviate the dreadful misery which affected whole classes in the Middle Ages. They took vows of absolute poverty, and so humble was the garb prescribed by their rule that they went barefooted from place to place.
The Augustinian Order was founded by Pope Alexander IV., in 1265, and still other orders came later.
The Degeneration of the Orders.—Without doubt the early ministrations of these friars were productive of great good both on the religious and humanitarian sides. But, as the orders became wealthy, the friars lost their spirituality and their lives grew vicious. By the beginning of the sixteenth century the administration of the Church throughout Europe had become so corrupt, the economic burden of the religious orders so great, and religious teaching and belief so material, that the best and noblest minds in all countries were agitating for reform.
The Reformation.—In addition to changes in church administration, many Christians were demanding a greater freedom of religious thinking and radical changes in the Church doctrine which had taken form in the Middle Ages. Thus, while all the best minds in the Church were united in seeking a reformation of character and of administration, [122]great differences arose between them as to the possibility of change in Church doctrines. These differences accordingly separated them into two parties, the Papacy adhering strongly to the doctrine as it was then accepted, while various leaders in the north of Europe, including Martin Luther in Germany, Swingli in Switzerland, and John Calvin in France and Geneva, broke with the authority of the Pope and declared for a liberation of the individual conscience.
Upon the side of the Papacy, the Emperor Charles the Fifth threw the weight of the Spanish monarchy, and to enforce the Papal authority he attacked the German princes by force of arms. The result was a great revolt from the Roman Catholic Church, which spread all over northern Germany, a large portion of Switzerland, the lowlands of the Rhine, and England, and which included a numerous and very influential element among the French people. These countries, with the exception of France, have remained Protestant to the present day; and the great expansion of the English people in America and the East has established Protestantism in all parts of the world.
Effects of the Reformation in the Roman Catholic Church.—The reform movement, which lasted through the century, brought about a great improvement in the Roman Catholic Church. Many, who remained devoted to Roman Catholic orthodoxy, were zealous for administrative reform. A great assembly of Churchmen, the Council of Trent, for years devoted itself to legislation to correct abuses. The Inquisition was revived and put into force against Protestants, especially in the dominions of Spain, and the religious orders were reformed and stimulated to new sacrifices and great undertakings.
But greater, perhaps, than any of these agencies in re-establishing [123]the power of the Pope and reviving the life of the Roman Catholic Church was the organization of a new order, the “Society of Jesus.” The founder was a Spaniard, Ignatius Loyola, The Jesuits devoted themselves especially to education and missionary activity. Their schools soon covered Europe, while their mission stations were to be found in both North and South America, India, the East Indies, China, and Japan.
The Spanish Missionary.—The Roman Catholic Church, having lost a large part of Europe, thus strove to make up the loss by gaining converts in heathen lands. Spain, being the power most rapidly advancing her conquests abroad, was the source of the most tireless missionary effort. From the time of Columbus, every fleet that sailed to gain plunder and lands for the Spanish kingdom carried bands of friars and churchmen to convert to Christianity the heathen peoples whom the sword of the soldier should reduce to obedience.
“The Laws of the Indies” gave special power and prominence to the priest. In these early days of Spain’s colonial empire many priests were men of piety, learning, and unselfish devotion. Their efforts softened somewhat the violence and brutality that often marred the Spanish treatment of the native, and they became the civilizing agents among the peoples whom the Spanish soldiers had conquered.
In Paraguay, California, and the Philippines the power and importance of the Spanish missionary outweighed that of the soldier or governor in the settlement of those countries and the control of the native inhabitants. Churchmen, full of the missionary spirit, pressed upon the king the duties of the crown in advancing the cross, and more than one country was opened to Spanish settlement through the enthusiasm of the priest.
dx3yd8q13owxeszl47yxt9qn1mkav34
99928
99927
2024-11-10T11:00:33Z
Glorious Engine
9499
99928
wikitext
text/x-wiki
<center>'''Bab VI'''</center>
<center>'''Prajurit Spanyol dan Misionaris Spanyol'''</center>
Sejarah Filipina sebagai Bagian dari Sejarah Koloni Spanyol.—Kami telah melihat bagaimana Filipina ditemukan oleh Magellan dalam pencariannya untuk Kepulauan Rempah-rempah. Brilian dan romantis sebagaimana kisah perjalanan tersebut, ini tak membawa penerimaan langsung untuk Spanyol. Portugal masih menikmati perdaagngan Timur dan nyaris separuh abad menaungi sebelum Spanyol menghimpun pemukiman di kepulauan tersebut. Namun jika pada suatu waktu ia merangsek Timur Jauh, Spanyol dari Semenanjung menghimpun dirinya dengan nyaris tenaga tak terbatas dan pencurahan dalam penaklukan material dan spiritual Amerika. Seluruh pengabdian terbesar prajurit Spanyol dan misionaris Spanyol telah diamankan dalam lima puluh tahun dari masa kala Columbus melihat Hindia Barat.
Dalam rangka memahami sejarah Filipina, kami tak harus melupakan bahwa kepulauan tersebut membentuk bagian dari kekaisaran kolonial besar dan di bawah pemerintahan yang sama; bahwa selama lebih dari dua abad, Filipina dicapai melalui Meksiko dan pada keadaan tertentu diperintah oleh Meksiko; bahwa gubernur, hakim dan prajurit yang sama memegang jabatan di kedua hemisfer tersebut, melitnas dari Amerika ke Filipina dan dipromosikan dari Kepulauan tersebut untuk jabatan resmi yang lebih tinggi di Meksiko dan Peru. Sehingga untuk memahami kekuasaan Spanyol di Filipina, kami harus mengkaji pergerakan pemerintahan besar dan badan hukum besar yang berkembang pada pemerintahan Hindia.
Karakter Penjelajah Spanyol.—Penaklukan mereka sendiri banyak terdampak melalui usaha dan kekayaan orang-orangs wasta; namun orang-orang yang memegang jabatan dari takhta Spanyol, tindakan mereka tunduk pada kendali kerajaan yang ketat, dan sebagian besar laba dan hasil dari penjelajahan mereka dibayarkan kepada perbendaharaan kerajaan. Setelah beberapa penakluk, mahkota menyematkan gelar kebanggaan “adelantado.” Bangsawan Spanyol mencurahkan diri mereka sendiri dalam pemahaman berbahaya tersebut dengan keberanian dan penentuan pasti yang lahir dari perjuangan panjang mereka dengan Moor. Terlepas dari keadaan pencobaan jiwa dari penaklukan Barat yang mengembangkan banyak rintangan, meskipun sejumlah semangat brilian mereka,, sampai posisi pasti dan kekuatan; namun jabatan kewalirajaan dan gubernur disandang untuk menggelari orang-orang kesayangan raja.
Audiencia Kerajaan.—Pemerintahan Spanyol paling awal, dalam rangka melindungi otoritasnya sendiri, mendapatinya dibutuhkan untuk meneruskan ambisi dan penakluk petualang oleh penguasa dalam hubungan dekat denagn ketergantungan mutlak pada kehendak kerajaan. Sehingga di Meksiko, Cortes sang penakluk dicopot dan digantikan oleh wali raja Mendoza, yang melakukan penaklukan terhadap bekas koloni Spanyol besar Spanyol Baru, yang sampai saat ini merupakan peristiwa paling sukses dari seluruh negara yang ditanam oleh Spanyol di Amerika.
Untuk membatasi kekuatan gubernur dan wakil raja, serta dintakan pemerintahan tertinggi untuk penetapan tindakan dan pertanyaan hukum, Spanyol menciptakan “Audiencia Kerajaan.” Ini adalah badan golongan bangsawan dan melek hukum, dikirim dari Spanyol uintuk membentuk pemerintahan kolonial di setiap negara; namun kekuatan mereka tak hanya yudisial; mereka juga bersifat administratif. Dalam ketiadaan gubernur, mereka memegang tugas-tugasnya.
Perlakuan Penduduk Asli oleh Spanyol.—Dalam perlakuan terhadap penduduk asli, yang wilayahnya ditaklukan olehnya, raja Spanyol mengupayakan tiga hal,—pertama, untuk mengamankan kolonis dan mahkota pergerakan buruhnya, kedua, untuk memindahkan Indian ke agama Kristen sebagaimana yang diutamakan oleh Gereja Katolik Roma, dan ketiga, untuk melindungi mereka dari kekejaman dan ketidakperikemanusiaan. Edik demi edik, hukum demi hukum, dikeluarkan dari takhta Spanyol dengan akhir pandangan tersebut. Kala mereka berdiri pada buku-buku hukum kolonial terbesar, Recopilacion de Leyes de las Indias, mereka menyimpan kesensitivan untuk kebutuhan Indian dan apresiasi bahaya yang ia hadapi; namun dalam praktek sebenarnya, tujuan bermanfaat tersebut kebanyakan tak berguna.
Keperluan pertama dan ketiga Spanyol dalam perlakuannya terhadap penduduk asli menghimpun ketidakpastian. Sejarah telah menunjukkan bahwa kebebasan dan pencerahan tak dapat diambil dari sebuah ras dengan satu tanagn dan perlindungan yang memberikannya dengan tangan lainnya. Ssleuruh kelas dari pemerintah kolonial Spanyol menyelaraskan kekayaan. Kebanggaan mengisi mereka semua, dan merupakan mata air utama darissetiap penemuan dan setiap ketetapan. Raja menginginkan pendapatan untuk perbendaharaannya; bangsawan dan prajurit, ditugaskan pada keperluan pribadi mereka; frater, diperkaya untuk ordonya; uskup, dikuatkan untuk gerejanya. Seluruh kekayaan tersebut datang dari penghasilan penduduk asli di tanah yang dikuasai penakluk Spanyol; dan sementara motif bangsawan mungkin tak pernah absen dan pada waktu tertentu selaras, sehingga pad autamanya penduduk asli AMerika dan Filipina menjadi terdera di bawah tangan dan kekuasaan Spanyol.
“Encomendero.”—Sistem pengendalian kehidupan Spanyol dan pengerjaan Indian berdasarkan pada keberadaan tertentu pada sistem feodal, masih ada di Semenanjung pada waktu penaklukan kolonialnya. Para kapten dan prajurit serta imam dari penaklukan suksesnya menugaskan mereka untuk pertanahan besar atau lahan berbuah dengan penduduk asli mereka, yang merek aurus dan kuasai untuk laba mereka sendiri. Lahan semacam itu disebut “repartimientos” pertama. Namun kemudian menjadi penerapan, di Amerika, untuk menarik sejumlah ebsar Indian untuk penugasan orang Spanyol, yang menaungi mereka dengan kekuasaan majikan dan yang menikmati laba ketenagakerjaaan mereka. Sebagai balasannya, ia diperintahkan untuk memindahkan agama orang-orang Indian dan perintah agama mereka. Pemberian Indian semacam itu disebut “encomienda.” “Encomendero” bukanlah tuan mutlak dari kehidupan dan harta benda Indian, untuk hukum kerjasama yang dinaungi untuk perlindungan Indian. Sehingga, pemberian subyek tanpa tanah yang ditinggali oleh mereka membuat kemungkinan pemindahan mereka dan penjualan dari satu encomendero ke lainnya, dan dalam cara ini, ribuan Indian Amerika secara terapan dijadikan budak, dan dipaksa menjadi buruh dalam pertambangan.
Sebagaimana yang kami lihat, seluruh sistem tersebut diserang oleh imam Dominikan, Las Casas, seorang sosok bangsawan sebenarnya dalam sejarah kolonisasi Amerika, dan berbagai upaay dibuat di Amerika untuk membatasi encomienda dan untuk mencegah pengenalan mereka ke Meksiko dan Peru; namun kekuatan besar encomendero di America, bersama dengan pengaruh Gereja, yang memegang encomienda secara luas, telah terdorong untuk meluaskan kelembagaan tersebut, bahkan melawan tindakan bersemangat Las Casas. Peniadaannya di Meksiko didekritkan pada 1544, namun “para komisioner mewakili munisipalitas Meksiko dan ordo-ordo keagamaan dikirim ke Spanyol untuk membujuk raja untuk menariks etidaknya bagian-bagian ‘Hukum Baru’ yang emngancam kepentingan pemukim. Lewat dekrit kerajaan 20 Oktober 1545, penerapan yang diinginkan diterima. Tindakan tersebut mengisi pemukim Spanyol dengan kegembiraan dan Indian yang diperbudak dengan perbaikan.”
Ini menjadi kelembagaan yang awalnya didirikan sebagai bagian sistem kolonial dan didatangkan dengan penakluk ke Filipina.
Pembatasan pada Kolonisasi dan Perdagangan.—Untuk kepengurusan setiap urusan kolonial, raja menciptakan badan besar, atau biro, yang dikenal sebagai “Dewan Hindia,” yang duduk di Madrid dan para anggotanya adalah para pejabat tertinggi di Spanyol. Pemerintah Spanyol memegang penaungan terdekat atas seluruh persoalan kolonial, dan kolonisasi tak pernah bebas. Seluruh orang, gudang, dan kapal, yang didatangkan dari Spanyol ke wilayah kolonialnya, ditujukan untuk melintas melewati Sevilla, dan pelabuhan itu sendiri.
Kota kuno kaya, yang terletak di sungai Guadalquivir, Spanyol barat daya, adalah gerbang masuk menuju Kekaisaran Spanyol. Dari pelabuhan tersebut didatangkan prajurit penyurat, frater berjubah, bangsawan petualang, dan wanita-wanita Spanyol pemberani dan mentereng, yang menyertai suami mereka ke wilayah yang sangat jauh sepanjang laut. Dan kemabli ke pelabuhan membawa emas Peru, perak Meksiko, dan sutra dan brodiran Tiongkok, yang diangkut melalui Filipina.
Harus diamati bahwa seluruh perhubungan antara Spanyol dan koloni-koloninya sangat dikendalikan oleh pemerintah. Spanyol berniat untuk menciptakan dan menghimpun monopoli khsusu dari perdagangan kolonialnya. Untuk memberlakukan dan mengarahkan monopolinya, di Sevilla, terdapat Dewan Perdagangan, atau “Casa de Contratacion.” Tak ada orang yang dapat berlayar dari Spanyol ke wilayah kolonial tanpa ijin dan melewati pendaftaran pemerintah. Tak ada orang yang dapat mengirim barang ke luar atau mengimpornya kecuali melalui Dewan Perdagangan dan kala pembayaran pengiriman luar biasa. Perdagangan secara mutlak dilarang untuk orang-orang Spanyol tertentu. Dan melalui bentengnya dan armadanya, Spanyol mengisolasi koloninya dari jamahan Portugis, Belanda, atau Inggris, yang kapal-kapalnya, yang diisi awak selain orang-orang Spanyol sendiri, merupakan permulaan untuk mengarungi laut dalam mencari kekayaan dan penghasilan dari penaklukan dan perdagangan asing.
Summary of the Colonial Policy of Spain.—Spain sought foreign colonies, first, for the spoils of accumulated wealth that could be seized and carried away at once, and, secondly, for the income that could be procured through the labor of the inhabitants of the lands she gained. In framing her government and administration of her colonies, she sought primarily the political enlightenment and welfare neither of the Spanish colonist nor the native race, but the glory, power, and patronage of the crown. The commercial and trade regulations were devised, not to develop the resources and increase the prosperity of the colonies, but to add wealth to the Peninsula. Yet the purposes of Spain were far from being wholly selfish. With zeal and success she sought the conversion of the heathen natives, whom she subjected, and in this showed a humanitarian interest in advance of the Dutch and English, who rivaled her in colonial empire.[114]
The colonial ideals under which the policy of Spain was framed were those of the times. In the centuries that have succeeded, public wisdom and conscience on these matters have immeasurably improved. Nations no longer make conquests frankly to exploit them, but the public opinion of the world demands that the welfare of the colonial subject be sought and that he be protected from official greed. There is great advance still to be made. It can hardly be said that the world yet recognizes that a stronger people should assist a weaker without assurance of material reward, but this is the direction in which the most enlightened feeling is advancing. Every undertaking of the white race, which has such aims in view, is an experiment worthy of the most profound interest and most solicitous sympathy.
Result of the Voyage of Magellan and El Cano.—The mind of the Spanish adventurer was greatly excited by the results of Sebastian del Cano’s voyage. Here was the opportunity for rich trade and great profit. Numerous plans were laid before the king, one of them for the building of an Indian trading-fleet and an annual voyage to the Moluccas to gather a great harvest of spices.
Portugal protested against this move until the question of her claim to the Moluccas, under the division of Pope Alexander, could be settled. The exact longitude of Ternate west from the line 370 leagues beyond the Verde Islands was not well known. Spaniards argued that it was less than 180 degrees, and, therefore, in spite of Portugal’s earlier discovery, belonged to them. The pilot, Medina, for example, explained to Charles V. that from the meridian 370 leagues west of San Anton (the most westerly island of the Verde group) to the city of Mexico was 59 degrees, from Mexico to Navidad, 9 degrees, and [115]from this port to Cebu, 100 degrees, a total of only 168 degrees, leaving a margin of 12 degrees; therefore by the pope’s decision the Indies, Moluccas, Borneo, Gilolo, and the Philippines were Spain’s.3 A great council of embassadors and cosmographers was held at Badajoz in 1524, but reached no agreement. Spain announced her resolution to occupy the Moluccas, and Portugal threatened with death the Spanish adventurers who should be found there.
The First Expedition to the Philippines.—Spain acted immediately upon her determination, and in 1525 dispatched an expedition under Jofre de Loaisa to reap the fruits of Magellan’s discoveries.4 The captain of one vessel was Sebastian del Cano, who completed the voyage of Magellan. On his ship sailed Andres de Urdaneta, who later became an Augustinian friar and accompanied the expedition of Legaspi that finally effected the settlement of the Philippines. Not without great hardship and losses did the fleet pass the Straits of Magellan and enter the Pacific Ocean. In mid-ocean Loaisa died, and four days later the heroic Sebastian del Cano. Following a route somewhat similar to that of Magellan, the fleet reached first the Ladrone Islands and later the coast of Mindanao. From here they attempted to sail to Cebu, but the strong northeast monsoon drove them southward to the Moluccas, and they landed on Tidor the last day of the year 1526.[116]
The Failure of the Expedition.—The Portuguese were at this moment fighting to reduce the native rajas of these islands to subjection. They regarded the Spaniards as enemies, and each party of Europeans was shortly engaged in fighting and in inciting the natives against the other. The condition of the Spaniards became desperate in the extreme, and indicates at what cost of life the conquests of the sixteenth century were made. Their ships had become so battered by storm as to be no longer sea-worthy. The two officers, who had successively followed Loaisa and El Cano in command, had likewise perished. Of the 450 men who had sailed from Spain, but 120 now survived. These, under the leadership of Hernando de la Torre, threw up a fort on the island of Tidor, unable to go farther or to retire, and awaited hoped-for succor from Spain.
Relief came, not from the Peninsula, but from Mexico. Under the instructions of the Spanish king, in October, 1527, Cortes dispatched from Mexico a small expedition in charge of D. Alvaro de Saavedra. Swept rapidly by the equatorial trades, in a few months Saavedra had traversed the Carolines, reprovisioned on Mindanao, and reached the survivors on Tidor. Twice they attempted to return to New Spain, but strong trade winds blow without cessation north and south on either side of the equator for the space of more than twelve hundred miles, and the northern latitude of calms and prevailing westerly winds were not yet known.
Twice Saavedra beat his way eastward among the strange islands of Papua and Melanesia, only to be at last driven back upon Tidor and there to die. The survivors were forced to abandon the Moluccas. By surrendering to the Portuguese they were assisted to return [117]to Europe by way of Malacca, Ceylon, and Africa, and they arrived at Lisbon in 1536, the survivors of Loaisa’s expedition, having been gone from Spain eleven years.
The efforts of the Spanish crown to obtain possession of the Spice Islands, the Celebes and Moluccas, with their coveted products of nutmeg, cinnamon, and pepper, were for the time being ended. By the Treaty of Zaragoza (1529) the Emperor, Charles V., for the sum of three hundred and fifty thousand gold ducats, renounced all claim to the Moluccas. For thirteen years the provisions of this treaty were respected by the Spaniards, and then another attempt was made to obtain a foothold in the East Indies.
The Second Expedition to the Philippines.—The facts that disaster had overwhelmed so many, that two oceans must be crossed, and that no sailing-route from Asia back to America was known, did not deter the Spaniards from their perilous conquests; and in 1542 another expedition sailed from Mexico, under command of Lopez de Villalobos, to explore the Philippines and if possible to reach China.
Across the Pacific they made a safe and pleasant voyage. In the warm waters of the Pacific they sailed among those wonderful coral atolls, rings of low shore, decked with palms, grouped in beautiful archipelagoes, whose appearance has never failed to delight the navigator, and whose composition is one of the most interesting subjects known to students of the earth’s structure and history. Some of these coral islands Villalobos took possession of in the name of Spain. These were perhaps the Pelew Islands or the Carolines.
At last Villalobos reached the east coast of Mindanao, but after some deaths and sickness they sailed again and [118]were carried south by the monsoon to the little island of Sarangani, south of the southern peninsula of Mindanao. The natives were hostile, but the Spaniards drove them from their stronghold and made some captures of musk, amber, oil, and gold-dust. In need of provisions, they planted the maize, or Indian corn, the wonderful cereal of America, which yields so bounteously, and so soon after planting. Food was greatly needed by the Spaniards and was very difficult to obtain.
The Naming of the Islands.—Villalobos equipped a small vessel and sent it northward to try to reach Cebu. This vessel reached the coast of Samar. Villalobos gave to the island the name of Filipina, in honor of the Spanish Infante, or heir apparent, Philip, who was soon to succeed his father Charles V. as King Philip the Second of Spain. Later in his correspondence with the Portuguese Villalobos speaks of the archipelago as Las Filipinas. Although for many years the title of the Islas del Poniente continued in use, Villalobos’ name of Filipinas gradually gained place and has lived.
The End of the Expedition.—While on Sarangani demands were made by the Portuguese, who claimed that Mindanao belonged with the Celebes, that the Spaniards should leave. Driven from Mindanao by lack of food and hostility of the natives, Villalobos was blown southward by storms to Gilolo. Here, after long negotiations, the Portuguese compelled him to surrender. The survivors of the expedition dispersed, some remaining in the Indies, and some eventually reaching Spain; but Villalobos, overwhelmed by discouragement, died on the island of Amboyna. The priest who ministered to him in his last hours was the famous Jesuit missionary to the Indies, Saint Francis Xavier.[119]
Twenty-three years were to elapse after the sailing of Villalobos’ fleet before another Spanish expedition should reach the Philippines. The year 1565 dates the permanent occupation of the archipelago by the Spanish.
Increase in Political Power of the Church.—Under Philip the Second, the champion of ecclesiasticism, the Spanish crown cemented the union of the monarchy with the church and devoted the resources of the empire, not only to colonial acquisition, but to combating the Protestant revolution on the one hand and heathenism on the other. The Spanish king effected so close a union of the church and state in Spain, that from this time on churchmen rose higher and higher in the Spanish councils, and profoundly influenced the policy and fate of the nation. The policy of Philip the Second, however, brought upon Spain the revolt of the Dutch Lowlands and the wars with England, and her struggle with these two nations drained her resources both on land and sea, and occasioned a physical and moral decline. But while Spain was constantly losing power and prestige in Europe, the king was extending his colonial domain, lending royal aid to the ambitious adventurer and to the ardent missionary friar. Spain’s object being to christianize as well as to conquer, the missionary became a very important figure in the history of every colonial enterprise, and these great orders to whom missions were intrusted thus became the central institutions in the history of the Philippines.
The Rise of Monasticism.—Monasticism was introduced into Europe from the East at the very commencement of the Middle Ages. The fundamental idea of the old monasticism was retirement from human society in the belief that the world was bad and could not be bettered, and [120]that men could lead holier lives and better please God by forsaking secular employments and family relations, and devoting all their attention to purifying their characters. The first monastic order in Europe were the Benedictines, organized in the seventh century, whose rule and organization were the pattern for those that followed.
The clergy of the church were divided thus into two groups,—first, the parish priests, or ministers, who lived among the people over whom they exercised the care of souls, and who, because they were of the people themselves and lived their lives in association with the community, were known as the “secular clergy,” and second, the monks, or “regular clergy,” were so called because they lived under the “rule” of their order.
In the early part of the thirteenth century monasticism, which had waned somewhat during the preceding two centuries, received a new impetus and inspiration from the organization of new orders known as brethren or “Friars.” The idea underlying their organization was noble, and above that of the old monasticism; for it was the idea of service, of ministry both to the hearts and bodies of depressed and suffering men.
The Dominicans.—The Order of Dominicans was organized by Saint Dominic, an Italian, about 1215. The primary object of its members was to defend the doctrines of the Church and, by teaching and preaching, destroy the doubts and protests which in the thirteenth century were beginning to disturb the claims of the Catholic Church and the Papacy. The Dominican friars did not live in communities, but traveled about, humbly clad, preaching in the villages and towns, and seeking to expose and punish the heretic. The mediæval universities, through their study of philosophy and the Roman law, [121]were producing a class of men disposed to hold opinions contrary to the teachings of the Church. The Dominicans realized the importance of these great centers of instruction and entered them as teachers and masters, and by the beginning of the fifteenth century had made them strongholds of conservatism and orthodoxy.
The Franciscans.—A few years after this organization, the Order of Franciscans was founded by Saint Francis of Assisi, of Spain. The aims of this order were not only to preach and administer the sacraments, but to nurse the sick, provide for the destitute, and alleviate the dreadful misery which affected whole classes in the Middle Ages. They took vows of absolute poverty, and so humble was the garb prescribed by their rule that they went barefooted from place to place.
The Augustinian Order was founded by Pope Alexander IV., in 1265, and still other orders came later.
The Degeneration of the Orders.—Without doubt the early ministrations of these friars were productive of great good both on the religious and humanitarian sides. But, as the orders became wealthy, the friars lost their spirituality and their lives grew vicious. By the beginning of the sixteenth century the administration of the Church throughout Europe had become so corrupt, the economic burden of the religious orders so great, and religious teaching and belief so material, that the best and noblest minds in all countries were agitating for reform.
The Reformation.—In addition to changes in church administration, many Christians were demanding a greater freedom of religious thinking and radical changes in the Church doctrine which had taken form in the Middle Ages. Thus, while all the best minds in the Church were united in seeking a reformation of character and of administration, [122]great differences arose between them as to the possibility of change in Church doctrines. These differences accordingly separated them into two parties, the Papacy adhering strongly to the doctrine as it was then accepted, while various leaders in the north of Europe, including Martin Luther in Germany, Swingli in Switzerland, and John Calvin in France and Geneva, broke with the authority of the Pope and declared for a liberation of the individual conscience.
Upon the side of the Papacy, the Emperor Charles the Fifth threw the weight of the Spanish monarchy, and to enforce the Papal authority he attacked the German princes by force of arms. The result was a great revolt from the Roman Catholic Church, which spread all over northern Germany, a large portion of Switzerland, the lowlands of the Rhine, and England, and which included a numerous and very influential element among the French people. These countries, with the exception of France, have remained Protestant to the present day; and the great expansion of the English people in America and the East has established Protestantism in all parts of the world.
Effects of the Reformation in the Roman Catholic Church.—The reform movement, which lasted through the century, brought about a great improvement in the Roman Catholic Church. Many, who remained devoted to Roman Catholic orthodoxy, were zealous for administrative reform. A great assembly of Churchmen, the Council of Trent, for years devoted itself to legislation to correct abuses. The Inquisition was revived and put into force against Protestants, especially in the dominions of Spain, and the religious orders were reformed and stimulated to new sacrifices and great undertakings.
But greater, perhaps, than any of these agencies in re-establishing [123]the power of the Pope and reviving the life of the Roman Catholic Church was the organization of a new order, the “Society of Jesus.” The founder was a Spaniard, Ignatius Loyola, The Jesuits devoted themselves especially to education and missionary activity. Their schools soon covered Europe, while their mission stations were to be found in both North and South America, India, the East Indies, China, and Japan.
The Spanish Missionary.—The Roman Catholic Church, having lost a large part of Europe, thus strove to make up the loss by gaining converts in heathen lands. Spain, being the power most rapidly advancing her conquests abroad, was the source of the most tireless missionary effort. From the time of Columbus, every fleet that sailed to gain plunder and lands for the Spanish kingdom carried bands of friars and churchmen to convert to Christianity the heathen peoples whom the sword of the soldier should reduce to obedience.
“The Laws of the Indies” gave special power and prominence to the priest. In these early days of Spain’s colonial empire many priests were men of piety, learning, and unselfish devotion. Their efforts softened somewhat the violence and brutality that often marred the Spanish treatment of the native, and they became the civilizing agents among the peoples whom the Spanish soldiers had conquered.
In Paraguay, California, and the Philippines the power and importance of the Spanish missionary outweighed that of the soldier or governor in the settlement of those countries and the control of the native inhabitants. Churchmen, full of the missionary spirit, pressed upon the king the duties of the crown in advancing the cross, and more than one country was opened to Spanish settlement through the enthusiasm of the priest.
fwoqodqb94fs1fa1mm41n8y1joe8jdq
Ketika Aku dan Kalian Menjadi Kita
0
24561
99896
2024-11-10T05:49:53Z
HaidirAndiNovianto
33608
Membuat halaman cerpen Ketika Aku dan Kalian Menjadi Kita
99896
wikitext
text/x-wiki
=== Ketika Aku dan Kalian Menjadi Kita ===
Penulis: '''Haidir Andi Novianto'''
==== Penafian ====
Cerita ini hanya fiktif belaka meski menggunakan latar tempat yang nyata. Jika ada kesamaan nama tokoh, atau pun cerita, itu adalah kebetulan semata dan tidak ada unsur kesengajaan.
== Isi Cerita ==
Aku Nadya, lahir dari Ayah keturunan Inggris dan Ibu dari Indonesia bersuku Jawa. Sejak saat itu aku merasa muak dengan kata sekolah, entahlah, mungkin karena aku terlalu mengambil hati dan merasa tidak dihargai berada dalam lingkungan mereka. Semenjak orang tuaku memutuskan pindah ke Indonesia semua kehidupan di sekolahku sebelumnya berubah.
“Nad, kamu kemana aja? Sudah 2 hari kamu tidak masuk sekolah” tanya Bu Dinda yang merupakan wali kelasku. “Saya?, ya di rumah Bu,” jawabku singkat. “Kalau kamu di rumah, kenapa orang tuamu tidak memberitahu ibu?” jelas Bu Dinda. “Saya yang minta Bu,” singkatku. “Mau saya telepon orang tuamu?” ancam Bu Dinda. Saat itu aku hanya memandangi langit-langit ruangan kantor. Seandainya yang ada di hadapanku bukanlah orang tua pasti aku akan lawan dan mengelak.
“Apa yang sedang kamu pikirkan?” tanya Bu Dinda lagi. “Ya bu, saya berbohong dan saya minta maaf, saya bolos tanpa sepengetahuan orang tua saya.”
“Ada alasan apa kamu berani bolos seperti itu? Dari yang Ibu lihat, kamu ini sedang ada masalah. Kamu itu baru sebulan sekolah di sini dan masih kelas X tapi sudah berani bolos,” ucap Bu Dinda.
“Saya baik-baik saja kok, Bu. Lagi malas aja. Hehehe.” Kujawab Bu Dinda dengan berbohong. “Ibu bisa baca tatapan matamu yang berbohong, Nadya. Ayo sini cerita aja sama Ibu, siapa tau Ibu bisa bantu.”
Aku pun menceritakan apa yang sedang kualami saat ini, merasa tidak dihargai dan dikucilkan karena aku berbeda dengan mereka. Perbedaan membuat mereka tidak menghargaiku, mereka berbicara seenaknya dan tidak memikirkan bagaimana perasaanku. Terkadang aku hanya diam dan mencoba untuk bersabar, tapi rasanya kesabaran itu hilang ketika mereka benar-benar tidak menganggapku lagi.
“Kenapa kamu mengambil hati? Mungkin mereka hanya ingin bercanda dan ingin dekat denganmu,” jelas Bu Dinda. “Tapi kan bercanda gak harus kayak gitu juga kan, Bu? Mereka keterlaluan Bu, kadang mereka membicarakan aku di belakang dan suka mengejekku.”
“Iya sih memang, tapi tidak semua seperti itu. Masih ada kok yang mau berteman sama kamu. Kamu hanya melihat sebelah mata, Nadya. Cobalah kamu lihat yang lain.” Ucap Bu Dinda.
“Iya sih, Bu. Tapi saya jera, saya capek dengan ledekan-ledekan seperti itu. Ada beberapa yang membuat saya jadi malas. Pertama, ada Sena yang suka menganggap dirinya paling benar, Bu. Dia kayaknya benci Bu sama saya. Setiap saya ajak bicara dia selalu tertawa dan tidak menganggap saya. Kedua, Lita. Dia terkadang baik sekali tapi dia tiba-tiba berubah jutek kalau sudah bergabung dengan teman-temannya. Yang terakhir ada Denis yang suka menyontek sama saya, Bu. Eh, dia malah gak pernah bilang terima kasih sama saya, Bu.” Jelasku lagi supaya Bu Dinda mengerti akan persoalanku.
“Nanti Ibu akan panggil siapa yang meledek kamu tadi. Sekarang Ibu harap kamu jangan malas untuk ke sekolah dan kamu harus fokus mengikuti setiap pelajaran yang ada. Kamu itu pintar, Nadya. Jadi sayang kalau disia-siakan. Nanti ibu akan minta penjelasan dari mereka. Sekarang kamu boleh kembali ke kelas,”
Bu Dinda mencoba menenangkanku dan memberi saran yang baik. Setelah aku pikir-pikir lagi tidak ada salahnya jika aku menuruti saran yang Bu Dinda berikan.
“Baik, Bu, saya minta maaf karena sudah bolos sekolah, saya tidak akan mengulanginya lagi, Bu.” Balasku dengan kepala tertunduk. Aku pun kembali ke kelas. Seperti biasa, aku hanya duduk diam dan mendengarkan penjelasan dari guru.
Beberapa jam kemudian.
“Permisi… Maaf, bu, saya ada perlu dengan Nadya.” Seorang siswa yang meminta izin pada guru kami untuk memanggilku karena ada keperluan. Aku pun keluar sembari memikirkan apa yang akan terjadi.
“Ada apa, ya?” tanyaku saat di depan kelas. “Ikut aja, ayo, Bu Dinda panggil kamu,” jawabnya singkat. Aku pun mengikuti anak laki-laki itu dan melihat lebih jelas, sontak aku teringat bahwa dia adalah salah satu siswa yang sering kali menggangguku. “Selamat siang, Bu. Ini Nadya-nya sudah datang,” sapanya. “Oh, iya-iya. Kalian berdua duduk dulu sebentar, ya. Ibu mau panggilkan yang lain,” seru Bu Dinda.
Kami hanya mengangguk dan duduk manis sambil menunggu Bu Dinda memanggil yang lainnya. Tidak lama kemudian datang segerombolan orang-orang yang selama ini aku tidak sukai, orang-orang yang selalu menggangguku karena sebuah perbedaan.
“Ya, karena kalian sudah berkumpul di sini, Ibu mau bertanya terlebih dahulu kepada Sena,” seru Bu Dinda memulai percakapan serius kami.
“Saya bu? Ada apa dengan saya?” Sena kebingungan dan menggaruk-garuk kepalanya yang sebenarnya tidaklah gatal.
“Sena, kamu kenal perempuan yang di sebelah kamu?”
“Ya kenal lah Bu, dia kan teman sekelas saya.”
“Apa kamu merasa ada yang salah antara kalian berdua?” tanya Bu Ida lagi.
“Emmm...” Sena mulai berpikir.
“Kayaknya gak ada deh, Bu. Saya berteman baik-baik aja dengan Nadya. Ya ‘kan, Nadya?” jawab Sena dan aku hanya melihatnya dengan wajah kebingungan.
“Sekarang Ibu tanya kalian berdua, Lita dan Denis. Kalian juga kenal kan sama Nadya?” Ku lihat mereka hanya tersenyum sinis dan mengiyakan pertanyaan Bu Dinda.
“Ibu kenapa sih tiba-tiba nanya-nanya kayak gitu? Kami kan sekelas, Bu. Ya pasti kami kenal lah. Huuhh,” jawab Lita yang sedikit kesal.
“Kalian bertiga tidak merasa ada yang salah? Ibu dengar dari Nadya kalau kalian suka sekali mengejek dan menyontek?” tanya Bu Dinda lebih serius lagi.
“Hah? Ngejek Nadya? Nyontek?” sontak Sena, Lita, dan Denis menjawab dengan bersamaan. “Hahaha. Ya nggak lah, Bu. Masa’ kita ngeledekin temen sendiri. Ya kalaupun nyontek kan wajar ya, Bu. Namanya juga ada yang saya gak bisa. Nah, Nadya kan pinter, bu, jadi kami nyontek dong” jawab Denis. “Iya, Denis. Ibu tau kalau kamu tidak pintar. Tapi kamu seharusnya belajar, bukan nyontek sama teman!” jawab Bu Dinda yang sedikit kesal.
“Baiklah, Bu. Maafkan kami, ya. Saya suka mengejek Nadya karena menurut saya dan teman-teman yang lain kalau dia itu susah untuk diajak bergaul, Bu. Dia itu selalu menutup diri kalau bergabung dengan kami,” jawab Lita dengan wajah serius dan sebentar-sebentar dia melirik ke arahku.
“Baiklah, Ibu sudah menemukan permasalahannya. Ibu akan membantu kalian berdamai dan menyelesaikan permasalahan ini.”
“Bu, kami malah gak bermaksud untuk menyakiti perasaan Nadya. Kami pikir kami bisa bergaul baik dengan Nadya, ya kami sadar ternyata cara kami bercanda itu salah,” seru Sena mencoba menjelaskan.
“Iyaaa emang jelas salah dong kalau bercandanya kayak gini. Jangan bawa-bawa fisik kan bisa. Aku emang beda sama kalian tapi jangan ledekin aku dong,” jawabku.
“Tolong maafin kami, ya. Kami janji gak akan lagi bercanda yang kelewatan. Semoga kita bisa jadi teman dekat dan semoga kita bisa saling berbagi ya, Nad.” Seru Sena lagi yang membuat hati ku sedikit tenang.
“Ya udah, aku maafin, soalnya orang tuaku juga ngajarin buat maafin orang lain. Aku gak nuntut banyak kok, cukup hargai aku aja temen-temen.” Mereka pun memahami perkataanku dan hanya mengangguk serta tersenyum padaku.
“Nah, gitu dong. Perbedaan itu wajar. Nadya yang orang tuanya campuran Inggris-Indonesia membuat fisiknya agak berbeda dari kalian. Dia baru pindah dari negara asal ayahnya, wajar ada sedikit perbedaan kultur dan budaya. Jadi seharusnya kalian rangkul Nadya, bukan menjauhi dan menyinggung perasannya.
Setelah kejadian itu, aku pun memiliki banyak teman di kelas. Bukan hanya di kelas saja, tetapi satu sekolah. Aku mulai mengikuti ekstrakurikuler seperti basket, paduan suara, dan drama. Aku begitu menikmati setiap harinya membuatku semangat untuk pergi ke sekolah, belajar, dan bermain bersama-sama dengan teman-temanku. Kami sering kali saling bertukar cerita.
Hal itu membuat kami menjadi semakin akrab dan saling menjaga perasaan satu sama lain. Bahkan, orang yang dulu aku kenal jahat ternyata mereka begitu baik dan ceria. Aku salah menilai mereka dan begitu pun dengan mereka yang salah menilaiku. Terima kasih teman karena sudah mau menerima perbedaan ini.
ogcxiemwuxb0plmoqe29el8z5x9b1io
99898
99896
2024-11-10T05:52:51Z
HaidirAndiNovianto
33608
added [[Category:Cerita pendek]] using [[Help:Gadget-HotCat|HotCat]]
99898
wikitext
text/x-wiki
=== Ketika Aku dan Kalian Menjadi Kita ===
Penulis: '''Haidir Andi Novianto'''
==== Penafian ====
Cerita ini hanya fiktif belaka meski menggunakan latar tempat yang nyata. Jika ada kesamaan nama tokoh, atau pun cerita, itu adalah kebetulan semata dan tidak ada unsur kesengajaan.
== Isi Cerita ==
Aku Nadya, lahir dari Ayah keturunan Inggris dan Ibu dari Indonesia bersuku Jawa. Sejak saat itu aku merasa muak dengan kata sekolah, entahlah, mungkin karena aku terlalu mengambil hati dan merasa tidak dihargai berada dalam lingkungan mereka. Semenjak orang tuaku memutuskan pindah ke Indonesia semua kehidupan di sekolahku sebelumnya berubah.
“Nad, kamu kemana aja? Sudah 2 hari kamu tidak masuk sekolah” tanya Bu Dinda yang merupakan wali kelasku. “Saya?, ya di rumah Bu,” jawabku singkat. “Kalau kamu di rumah, kenapa orang tuamu tidak memberitahu ibu?” jelas Bu Dinda. “Saya yang minta Bu,” singkatku. “Mau saya telepon orang tuamu?” ancam Bu Dinda. Saat itu aku hanya memandangi langit-langit ruangan kantor. Seandainya yang ada di hadapanku bukanlah orang tua pasti aku akan lawan dan mengelak.
“Apa yang sedang kamu pikirkan?” tanya Bu Dinda lagi. “Ya bu, saya berbohong dan saya minta maaf, saya bolos tanpa sepengetahuan orang tua saya.”
“Ada alasan apa kamu berani bolos seperti itu? Dari yang Ibu lihat, kamu ini sedang ada masalah. Kamu itu baru sebulan sekolah di sini dan masih kelas X tapi sudah berani bolos,” ucap Bu Dinda.
“Saya baik-baik saja kok, Bu. Lagi malas aja. Hehehe.” Kujawab Bu Dinda dengan berbohong. “Ibu bisa baca tatapan matamu yang berbohong, Nadya. Ayo sini cerita aja sama Ibu, siapa tau Ibu bisa bantu.”
Aku pun menceritakan apa yang sedang kualami saat ini, merasa tidak dihargai dan dikucilkan karena aku berbeda dengan mereka. Perbedaan membuat mereka tidak menghargaiku, mereka berbicara seenaknya dan tidak memikirkan bagaimana perasaanku. Terkadang aku hanya diam dan mencoba untuk bersabar, tapi rasanya kesabaran itu hilang ketika mereka benar-benar tidak menganggapku lagi.
“Kenapa kamu mengambil hati? Mungkin mereka hanya ingin bercanda dan ingin dekat denganmu,” jelas Bu Dinda. “Tapi kan bercanda gak harus kayak gitu juga kan, Bu? Mereka keterlaluan Bu, kadang mereka membicarakan aku di belakang dan suka mengejekku.”
“Iya sih memang, tapi tidak semua seperti itu. Masih ada kok yang mau berteman sama kamu. Kamu hanya melihat sebelah mata, Nadya. Cobalah kamu lihat yang lain.” Ucap Bu Dinda.
“Iya sih, Bu. Tapi saya jera, saya capek dengan ledekan-ledekan seperti itu. Ada beberapa yang membuat saya jadi malas. Pertama, ada Sena yang suka menganggap dirinya paling benar, Bu. Dia kayaknya benci Bu sama saya. Setiap saya ajak bicara dia selalu tertawa dan tidak menganggap saya. Kedua, Lita. Dia terkadang baik sekali tapi dia tiba-tiba berubah jutek kalau sudah bergabung dengan teman-temannya. Yang terakhir ada Denis yang suka menyontek sama saya, Bu. Eh, dia malah gak pernah bilang terima kasih sama saya, Bu.” Jelasku lagi supaya Bu Dinda mengerti akan persoalanku.
“Nanti Ibu akan panggil siapa yang meledek kamu tadi. Sekarang Ibu harap kamu jangan malas untuk ke sekolah dan kamu harus fokus mengikuti setiap pelajaran yang ada. Kamu itu pintar, Nadya. Jadi sayang kalau disia-siakan. Nanti ibu akan minta penjelasan dari mereka. Sekarang kamu boleh kembali ke kelas,”
Bu Dinda mencoba menenangkanku dan memberi saran yang baik. Setelah aku pikir-pikir lagi tidak ada salahnya jika aku menuruti saran yang Bu Dinda berikan.
“Baik, Bu, saya minta maaf karena sudah bolos sekolah, saya tidak akan mengulanginya lagi, Bu.” Balasku dengan kepala tertunduk. Aku pun kembali ke kelas. Seperti biasa, aku hanya duduk diam dan mendengarkan penjelasan dari guru.
Beberapa jam kemudian.
“Permisi… Maaf, bu, saya ada perlu dengan Nadya.” Seorang siswa yang meminta izin pada guru kami untuk memanggilku karena ada keperluan. Aku pun keluar sembari memikirkan apa yang akan terjadi.
“Ada apa, ya?” tanyaku saat di depan kelas. “Ikut aja, ayo, Bu Dinda panggil kamu,” jawabnya singkat. Aku pun mengikuti anak laki-laki itu dan melihat lebih jelas, sontak aku teringat bahwa dia adalah salah satu siswa yang sering kali menggangguku. “Selamat siang, Bu. Ini Nadya-nya sudah datang,” sapanya. “Oh, iya-iya. Kalian berdua duduk dulu sebentar, ya. Ibu mau panggilkan yang lain,” seru Bu Dinda.
Kami hanya mengangguk dan duduk manis sambil menunggu Bu Dinda memanggil yang lainnya. Tidak lama kemudian datang segerombolan orang-orang yang selama ini aku tidak sukai, orang-orang yang selalu menggangguku karena sebuah perbedaan.
“Ya, karena kalian sudah berkumpul di sini, Ibu mau bertanya terlebih dahulu kepada Sena,” seru Bu Dinda memulai percakapan serius kami.
“Saya bu? Ada apa dengan saya?” Sena kebingungan dan menggaruk-garuk kepalanya yang sebenarnya tidaklah gatal.
“Sena, kamu kenal perempuan yang di sebelah kamu?”
“Ya kenal lah Bu, dia kan teman sekelas saya.”
“Apa kamu merasa ada yang salah antara kalian berdua?” tanya Bu Ida lagi.
“Emmm...” Sena mulai berpikir.
“Kayaknya gak ada deh, Bu. Saya berteman baik-baik aja dengan Nadya. Ya ‘kan, Nadya?” jawab Sena dan aku hanya melihatnya dengan wajah kebingungan.
“Sekarang Ibu tanya kalian berdua, Lita dan Denis. Kalian juga kenal kan sama Nadya?” Ku lihat mereka hanya tersenyum sinis dan mengiyakan pertanyaan Bu Dinda.
“Ibu kenapa sih tiba-tiba nanya-nanya kayak gitu? Kami kan sekelas, Bu. Ya pasti kami kenal lah. Huuhh,” jawab Lita yang sedikit kesal.
“Kalian bertiga tidak merasa ada yang salah? Ibu dengar dari Nadya kalau kalian suka sekali mengejek dan menyontek?” tanya Bu Dinda lebih serius lagi.
“Hah? Ngejek Nadya? Nyontek?” sontak Sena, Lita, dan Denis menjawab dengan bersamaan. “Hahaha. Ya nggak lah, Bu. Masa’ kita ngeledekin temen sendiri. Ya kalaupun nyontek kan wajar ya, Bu. Namanya juga ada yang saya gak bisa. Nah, Nadya kan pinter, bu, jadi kami nyontek dong” jawab Denis. “Iya, Denis. Ibu tau kalau kamu tidak pintar. Tapi kamu seharusnya belajar, bukan nyontek sama teman!” jawab Bu Dinda yang sedikit kesal.
“Baiklah, Bu. Maafkan kami, ya. Saya suka mengejek Nadya karena menurut saya dan teman-teman yang lain kalau dia itu susah untuk diajak bergaul, Bu. Dia itu selalu menutup diri kalau bergabung dengan kami,” jawab Lita dengan wajah serius dan sebentar-sebentar dia melirik ke arahku.
“Baiklah, Ibu sudah menemukan permasalahannya. Ibu akan membantu kalian berdamai dan menyelesaikan permasalahan ini.”
“Bu, kami malah gak bermaksud untuk menyakiti perasaan Nadya. Kami pikir kami bisa bergaul baik dengan Nadya, ya kami sadar ternyata cara kami bercanda itu salah,” seru Sena mencoba menjelaskan.
“Iyaaa emang jelas salah dong kalau bercandanya kayak gini. Jangan bawa-bawa fisik kan bisa. Aku emang beda sama kalian tapi jangan ledekin aku dong,” jawabku.
“Tolong maafin kami, ya. Kami janji gak akan lagi bercanda yang kelewatan. Semoga kita bisa jadi teman dekat dan semoga kita bisa saling berbagi ya, Nad.” Seru Sena lagi yang membuat hati ku sedikit tenang.
“Ya udah, aku maafin, soalnya orang tuaku juga ngajarin buat maafin orang lain. Aku gak nuntut banyak kok, cukup hargai aku aja temen-temen.” Mereka pun memahami perkataanku dan hanya mengangguk serta tersenyum padaku.
“Nah, gitu dong. Perbedaan itu wajar. Nadya yang orang tuanya campuran Inggris-Indonesia membuat fisiknya agak berbeda dari kalian. Dia baru pindah dari negara asal ayahnya, wajar ada sedikit perbedaan kultur dan budaya. Jadi seharusnya kalian rangkul Nadya, bukan menjauhi dan menyinggung perasannya.
Setelah kejadian itu, aku pun memiliki banyak teman di kelas. Bukan hanya di kelas saja, tetapi satu sekolah. Aku mulai mengikuti ekstrakurikuler seperti basket, paduan suara, dan drama. Aku begitu menikmati setiap harinya membuatku semangat untuk pergi ke sekolah, belajar, dan bermain bersama-sama dengan teman-temanku. Kami sering kali saling bertukar cerita.
Hal itu membuat kami menjadi semakin akrab dan saling menjaga perasaan satu sama lain. Bahkan, orang yang dulu aku kenal jahat ternyata mereka begitu baik dan ceria. Aku salah menilai mereka dan begitu pun dengan mereka yang salah menilaiku. Terima kasih teman karena sudah mau menerima perbedaan ini.
[[Kategori:Cerita pendek]]
stqwpf2ec7iro6sa2c6plxmuuay2pj4
Resep Ayam Kari ala India
0
24562
99897
2024-11-10T05:52:37Z
Ning Gusti
39167
←Membuat halaman berisi '== Bahan-bahan: == * [[Berkas:South Indian Chicken 02.jpg|jmpl|Ayam Kari India]]500 gram ayam (potong sesuai selera) * 2 sdm minyak sayur atau ghee (mentega khas India) * 1 buah bawang bombay, cincang halus * 3 siung bawang putih, cincang * 1 ruas jahe, parut halus * 2 buah tomat, haluskan * 200 ml santan atau yogurt * 500 ml air * Garam secukupnya * Daun ketumbar segar untuk hiasan == Bumbu Kari: == * 1 sdt kunyit bubuk * 1 sdt ketumbar bubuk * 1 sdt jintan b...'
99897
wikitext
text/x-wiki
== Bahan-bahan: ==
* [[Berkas:South Indian Chicken 02.jpg|jmpl|Ayam Kari India]]500 gram ayam (potong sesuai selera)
* 2 sdm minyak sayur atau ghee (mentega khas India)
* 1 buah bawang bombay, cincang halus
* 3 siung bawang putih, cincang
* 1 ruas jahe, parut halus
* 2 buah tomat, haluskan
* 200 ml santan atau yogurt
* 500 ml air
* Garam secukupnya
* Daun ketumbar segar untuk hiasan
== Bumbu Kari: ==
* 1 sdt kunyit bubuk
* 1 sdt ketumbar bubuk
* 1 sdt jintan bubuk
* 1 sdt cabe bubuk (sesuai selera)
* 1 batang kayu manis
* 3 butir kapulaga
* 2 buah cengkeh
* 1 sdt garam masala (bumbu khas India)
== Langkah-langkah ==
# Panaskan minyak atau ghee dalam wajan. Tumis bawang bombay hingga layu dan harum.
# Tambahkan bawang putih dan jahe, tumis hingga aroma harum.
# Tambahkan bumbu kari (kunyit, ketumbar, jintan, cabe bubuk, kayu manis, kapulaga, dan cengkeh). Aduk rata hingga ayam terbalut bumbu.
# Tambahkan bumbu kari (kunyit, ketumbar, jintan, cabe bubuk, kayu manis, kapulaga, dan cengkeh). Aduk rata hingga ayam terbalut bumbu.
# Masukkan tomat yang sudah dihaluskan, aduk hingga tomat mengental dan mengeluarkan minyak.
# Tambahkan santan dan air, aduk rata. Masak dengan api kecil hingga ayam empuk dan kuah mengental, sekitar 20-25 menit. Jika kuah terlalu kental, tambahkan sedikit air.
# Masukkan garam masala dan garam secukupnya, aduk rata. Masak sebentar lagi agar bumbu meresap sempurna.
# Setelah matang, angkat dan sajikan dengan taburan daun ketumbar segar.
rfq6r42yvlaxqpssizwgts1ov5x0j0i
Resep Tumis Caisim
0
24563
99899
2024-11-10T05:59:33Z
Irnabela
40644
←Membuat halaman berisi '== Bahan-bahan: == [[Berkas:2016-08-13 Choi Sum (Brassica rapa subsp. chinensis var. parachinensis) dish in Beijing anagoria.jpg|jmpl|Tumis Sayur Caisim]] * 6 sdm minyak goreng * 2 butir telur, kocok lepas * 6 siung bawang putih, cincang halus * 600 g caisim, potong 4 cm * ½ sdt kaldu jamur * ¼ sdt gula * ¼ sdt merica bubuk * 75 ml air == Cara Membuat: == # Panaskan 3 sdm minyak goreng dalam wajan, masukkan telur masak menjadi orak arik. Angkat, sisihkan....'
99899
wikitext
text/x-wiki
== Bahan-bahan: ==
[[Berkas:2016-08-13 Choi Sum (Brassica rapa subsp. chinensis var. parachinensis) dish in Beijing anagoria.jpg|jmpl|Tumis Sayur Caisim]]
* 6 sdm minyak goreng
* 2 butir telur, kocok lepas
* 6 siung bawang putih, cincang halus
* 600 g caisim, potong 4 cm
* ½ sdt kaldu jamur
* ¼ sdt gula
* ¼ sdt merica bubuk
* 75 ml air
== Cara Membuat: ==
# Panaskan 3 sdm minyak goreng dalam wajan, masukkan telur masak menjadi orak arik. Angkat, sisihkan.
# Panaskan sisa minyak goreng dalam wajan, tumis bawang putih hingga harum.
# Masukkan caisim dan telur orak arik, aduk hingga rata.
# Tambahkan kaldu jamur, gula, merica dan air, masak hingga matang. Angkat, sajikan segera.
==== Tips: ====
Tambahkan sosis, bakso ataupun seafood sesuai selera untuk menambah variasi dalam hidangan.
8f34h1vdz6fl8sbbrq1akh0khya27xf
Puisi, Di Balik Senja Yang Memudar
0
24564
99900
2024-11-10T06:03:35Z
Lamyakin Sinaga
40643
Membuat Puisi Baru
99900
wikitext
text/x-wiki
Sibolga 2024
''Karya, Lamyakin Sinaga''
Saat senja tiba, di bawah langit yang memerah,
Aku duduk, menanti bayang-bayang yang datang menghampiri.
Mereka berbicara tanpa kata-kata,
Menceritakan semua kenangan yang pernah kita bagi.
Senja ini bukan sekadar matahari yang tenggelam,
Tapi juga tentang segala sesuatu yang hilang di balik cahaya yang meredup.
Aku teringat padamu dalam setiap sinar yang perlahan memudar,
Dan dalam bayang-bayang yang terus memanjang.
Waktu telah membawa kita jauh,
Namun senja selalu mengingatkan akan pertemuan-pertemuan yang telah lewat.
Di setiap senja, aku merasa kita masih dekat,
Seperti bayang-bayang yang selalu menyertai langkah.
Namun waktu terus berjalan, Dan senja pun akan lenyap,
Tapi bayang-bayang itu akan tetap ada,
Meninggalkan jejak yang tak bisa hilang,
Di dalam hati yang terus merindukanmu.
png7ycrbvj31str0b39zg8st0hlshcr
Resep Membuat Burger di Rumah
0
24565
99902
2024-11-10T06:11:24Z
Really Rin
39560
Membuat konten resep
99902
wikitext
text/x-wiki
== Bahan-bahan: ==
* 300 gram daging yang telah dicincang
* 4 buah roti bun
* 2 butir telur
* Garam secukupnya
* Lada hitam secukupnya
* Bawang Bombay
* Mentega
* Daun Selada
* Tomat
* Mentimun
* Abon daging sapi
* Minyak goreng
* Mayonais
* Saus sambal atau saus tomat sesuai selera
== Langkah-langkah: ==
# Roti bun dibelah dua, lalu oleskan mentega secukupnya.
# Panggang roti yang telah dioleskan mentega
# Campurkan daging yang telah dicincang dan telur. Tambahkan garam dan lada hitam secukupnya.
# Campuran dibentuk menjadi adonan dengan ukuran sama rata sebanyak 4 kepal.
# Panaskan minyak goreng, lalu goreng adonan campuran daging dan telur hingga rata kecoklatan sebagai irisan burger.
# Isian burger dihidangkan di dalam roti burger yang telah dipanggang dengan daun selada, irisan tomat, 1 ring bawang bombay, mentimun, dan abon daging sapi.
# Sebagai pelengkap penyedap, hidangkan burger dengan menambahkan saus sambal atau saus tomat dan myonais sesuai selera.
2iqv601n3mp7siflgx9wepvsq5m0zsa
Resep:Membuat beberoq
100
24566
99906
2024-11-10T06:33:12Z
Isnaini Sya'roin
40645
Resep membuat beberoq makanan khas Lombok ala rumahan
99906
wikitext
text/x-wiki
Bahan-bahan:
1. 10 batang kacang panjang
2. 2 buah terong ungu bulat
3. 1 buah jeruk limau
Bumbu halus:
1. 5 buah cabe (secukupnya)
2. 4 buah bawang merah
3. 1 siung bawang putih
4. 1 sdt terasi bakar
5. 1 sdt gula pasir
6. ½ sdt garam
7. ¼ sdt MSG
8. 1 sdm minyak goreng yang masih panas
Cara membuat Beberoq:
1. Potong kacang panjang sekitar 1 atau 2 cm.
2. Potong terong ungu bentuk dadu atau sesuaikan selera.
3. Potong tomat menjadi 8 bagian.
4. Campurkan semua bahan yang sudah dipotong dan letakkan di piring saji.
5. Tumbuk semua bahan bumbu halus lalu siramkan dengan minyak goreng panas.
6. Campurkan bumbu di atas sayuran yang sudah dipotong lalu tambahkan perasan jeruk limau di atasnya.
Beberoq siap dinikmati!.
Beberoq sangat direkomendasikan untuk dinikmati sebagai makanan pendamping ayam taliwang.
qe4bnruz55upzl6ai9oyd6hxgeq4niv
99909
99906
2024-11-10T06:34:38Z
Isnaini Sya'roin
40645
99909
wikitext
text/x-wiki
Bahan-bahan:
1. 10 batang kacang panjang
2. 2 buah terong ungu bulat
3. 1 buah jeruk limau
Bumbu halus:
1. 5 buah cabe (secukupnya)
2. 4 buah bawang merah
3. 1 siung bawang putih
4. 1 sdt terasi bakar
5. 1 sdt gula pasir
6. ½ sdt garam
7. ¼ sdt MSG
8. 1 sdm minyak goreng yang masih panas
Cara membuat Beberoq:
1. Potong kacang panjang sekitar 1 atau 2 cm.
2. Potong terong ungu bentuk dadu atau sesuaikan selera.
3. Potong tomat menjadi 8 bagian.
4. Campurkan semua bahan yang sudah dipotong dan letakkan di piring saji.
5. Tumbuk semua bahan bumbu halus lalu siramkan dengan minyak goreng panas.
6. Campurkan bumbu di atas sayuran yang sudah dipotong lalu tambahkan perasan jeruk limau di atasnya.
Beberoq siap dinikmati!.
Beberoq sangat direkomendasikan untuk dinikmati sebagai makanan pendamping ayam taliwang.
o9czrf4bjorgab7r799mi9226gbwx3x
99924
99909
2024-11-10T07:20:24Z
Isnaini Sya'roin
40645
99924
wikitext
text/x-wiki
Bahan-bahan:
1. 10 batang kacang panjang
2. 2 buah terong ungu bulat
3. 1 buah jeruk limau
Bumbu halus:
1. 5 buah cabe (secukupnya)
2. 4 buah bawang merah
3. 1 siung bawang putih
4. 1 sdt terasi bakar
5. 1 sdt gula pasir
6. ½ sdt garam
7. ¼ sdt MSG
8. 1 sdm minyak goreng yang masih panas
Cara membuat Beberoq:
1. Potong kacang panjang sekitar 1 atau 2 cm.
2. Potong terong ungu bentuk dadu atau sesuaikan selera.
3. Potong tomat menjadi 8 bagian.
4. Campurkan semua bahan yang sudah dipotong dan letakkan di piring saji.
5. Tumbuk semua bahan bumbu halus lalu siramkan dengan minyak goreng panas.
6. Campurkan bumbu di atas sayuran yang sudah dipotong lalu tambahkan perasan jeruk limau di atasnya.
Beberoq siap disajikan!.
Beberoq sangat direkomendasikan untuk dinikmati sebagai makanan pendamping ayam taliwang.
Selamat menikmati, Foodies!
4a9eo71e9y6xbsicdgsq0ex9kxu7had
99925
99924
2024-11-10T07:20:38Z
Isnaini Sya'roin
40645
99925
wikitext
text/x-wiki
Bahan-bahan:
1. 10 batang kacang panjang
2. 2 buah terong ungu bulat
3. 1 buah jeruk limau
Bumbu halus:
1. 5 buah cabe (secukupnya)
2. 4 buah bawang merah
3. 1 siung bawang putih
4. 1 sdt terasi bakar
5. 1 sdt gula pasir
6. ½ sdt garam
7. ¼ sdt MSG
8. 1 sdm minyak goreng yang masih panas
Cara membuat Beberoq:
1. Potong kacang panjang sekitar 1 atau 2 cm.
2. Potong terong ungu bentuk dadu atau sesuaikan selera.
3. Potong tomat menjadi 8 bagian.
4. Campurkan semua bahan yang sudah dipotong dan letakkan di piring saji.
5. Tumbuk semua bahan bumbu halus lalu siramkan dengan minyak goreng panas.
6. Campurkan bumbu di atas sayuran yang sudah dipotong lalu tambahkan perasan jeruk limau di atasnya.
Beberoq siap disajikan!.
Beberoq sangat direkomendasikan untuk dinikmati sebagai makanan pendamping ayam taliwang.
Selamat menikmati, Foodies!
hb7kaaya9g8fxzv6vjn4rbbncpj3uqq
Resep:Serosop
100
24567
99907
2024-11-10T06:34:08Z
Agus Damanik
33753
←Membuat halaman berisi 'Serosop adalah masakan Bali yang terbuat dari bahan baku jantung pisang. [[Berkas:Laksan 1.jpg|jmpl]] ==Bahan== ===Bahan utama=== * Bahan: * 1 potong nangka muda jantung pisang * 1/2 butir kelapa * 1 cangkir minyak goreng ===Bumbu=== * 12 buah bawang merah * 5 siung bawang putih * 1/2 sendok makan ketumbar * 5 lembar daun ganda ==Cara membuat == #Jantung pisang, nangka muda dibelah dua, lalu direbus sampai masak, dicincang sampai halus. #Bawang merah diiris...'
99907
wikitext
text/x-wiki
Serosop adalah masakan Bali yang terbuat dari bahan baku jantung pisang.
[[Berkas:Laksan 1.jpg|jmpl]]
==Bahan==
===Bahan utama===
* Bahan:
* 1 potong nangka muda jantung pisang
* 1/2 butir kelapa
* 1 cangkir minyak goreng
===Bumbu===
* 12 buah bawang merah
* 5 siung bawang putih
* 1/2 sendok makan ketumbar
* 5 lembar daun ganda
==Cara membuat ==
#Jantung pisang, nangka muda dibelah dua, lalu direbus sampai masak, dicincang sampai halus.
#Bawang merah diiris lalu digoreng.
#Kelapa diparut dibuat santan.
#Bumbu lainnja dihaluskan, ditumis sebentar.
#Djantung pisang, nangka muda dimasukkan ditambah santan.
#Direbus, setelah mendidih ditambah bawang merah goreng.<ref>{{Cite book|last=Pertanian|first=Indonesia Departemen|date=1967|url=https://books.google.co.id/books?id=Y74AAAAAMAAJ&q=mustika+rasa+google+book&dq=mustika+rasa+google+book&hl=id&newbks=1&newbks_redir=0&sa=X&ved=2ahUKEwiAr_euuO6FAxWM7jgGHdNRA3IQ6AF6BAgEEAI|title=Mustikarasa: memuat resep2 masakan Indonesia dari Sabang sampai Merauke|publisher=s.l.|language=id}}</ref>
===Referensi===
{{reflist}}
mpsxeen96qibtilpwogyixjnp5krizy
99908
99907
2024-11-10T06:34:20Z
Agus Damanik
33753
99908
wikitext
text/x-wiki
Serosop adalah masakan Bali yang terbuat dari bahan baku jantung pisang.
==Bahan==
===Bahan utama===
* Bahan:
* 1 potong nangka muda jantung pisang
* 1/2 butir kelapa
* 1 cangkir minyak goreng
===Bumbu===
* 12 buah bawang merah
* 5 siung bawang putih
* 1/2 sendok makan ketumbar
* 5 lembar daun ganda
==Cara membuat ==
#Jantung pisang, nangka muda dibelah dua, lalu direbus sampai masak, dicincang sampai halus.
#Bawang merah diiris lalu digoreng.
#Kelapa diparut dibuat santan.
#Bumbu lainnja dihaluskan, ditumis sebentar.
#Djantung pisang, nangka muda dimasukkan ditambah santan.
#Direbus, setelah mendidih ditambah bawang merah goreng.<ref>{{Cite book|last=Pertanian|first=Indonesia Departemen|date=1967|url=https://books.google.co.id/books?id=Y74AAAAAMAAJ&q=mustika+rasa+google+book&dq=mustika+rasa+google+book&hl=id&newbks=1&newbks_redir=0&sa=X&ved=2ahUKEwiAr_euuO6FAxWM7jgGHdNRA3IQ6AF6BAgEEAI|title=Mustikarasa: memuat resep2 masakan Indonesia dari Sabang sampai Merauke|publisher=s.l.|language=id}}</ref>
===Referensi===
{{reflist}}
4nuz719f3umtd1siaq8m0dqmccyh74c
Tips Menghadapi Ujian Masuk Kampus
0
24568
99910
2024-11-10T06:36:34Z
Ivens88
40642
←Membuat halaman berisi ''''Ujian masuk kampus''' atau sekarang dikenal dengan istilah UTBK-SNBT yang sebelumnya disebut dengan SBMPTN adalah sebuah seleksi untuk penerimaan mahasiswa baru berbasis tes yang dilakukan untuk dapat masuk ke dalam sebuah Perguruan Tinggi Negeri (PTN). Daftar materi yang di ujian diberikan tentu tidak mudah seperti Tes Potensi Skolastik (TPS) yang terdiri atas: * Penalaran Umum: Penalaran Induktif, Pelaran Deduktif, dan Penalaran Kuantitatif. * Pengetahuan...'
99910
wikitext
text/x-wiki
'''Ujian masuk kampus''' atau sekarang dikenal dengan istilah UTBK-SNBT yang sebelumnya disebut dengan SBMPTN adalah sebuah seleksi untuk penerimaan mahasiswa baru berbasis tes yang dilakukan untuk dapat masuk ke dalam sebuah Perguruan Tinggi Negeri (PTN). Daftar materi yang di ujian diberikan tentu tidak mudah seperti
Tes Potensi Skolastik (TPS) yang terdiri atas:
* Penalaran Umum: Penalaran Induktif, Pelaran Deduktif, dan Penalaran Kuantitatif.
* Pengetahuan dan Pemahaman Umum
* Kemampuan Memahami Bacaan dan Menulis
* Pengetahuan Kuantitatif
Tes Literasi terdiri atas:
* Literasi Bahasa Indonesia
* Literasi Bahasa Inggris
* Penalaran Matematika
Perlu persiapan yang matang serta keseriusan agar dapat mengerjakan soal-soal dalam Ujian Masuk kampus. Berikut beberapa tips yang dapat dilakukan dalam menghadapi ujian masuk kampus
* Belajar sungguh-sungguh, karena jika tidak belajar sungguh-sungguh atau setengah-setengah maka hasilnya tidak sesuai harapan.
* Niat yang kuat, sebelum menghadapi ujian apapun diperlukan niat yang sangat besar, terutama ujian masuk kampus karena soal-soal yang di ujiankan tidak mudah diperlukan niat yang besar agar dapat belajar dengan baik.
* Konsisten, selain niat diperlukan kekonsistenan, karena jika kita tidak konsisten dalam mempersiapkan diri untuk menghadapi ujian maka hasilnya tidak akan maksimal, hindari hal yang membuat diri tidak konsisten seperti nongkrong, bermain game atau sosial media berlebihan.
* Latihan soal, latihlah kemampuan diri dengan mengerjakan soal-soal dari ujian-ujian sudah diujikan dahulu, karena biasanya soal ujian masuk kampus tidak jauh beda setiap tahunnya, selain itu kegiatan-kegiatan seperti Try Out untuk dapat menilai sudah sejauh mana kemampuan diri.
* Kuasai materi yang paling dikuasai, kuasai materi yang dikuasai bukan berarti tidak mempelajari materi lain, namun jika sudah menguasai suatu materi akan dapat meningkatkan kepercayaan diri.
* Mental yang kuat, baik sebelum menghadapi ujian maupun saat menghadapi ujian diperlukan mental yang kuat, karena banyak hal yang dihadapi yang akan menguras mental maka dari itu diperlukan mental yang kuat.
Tips ini dapat kamu pakai untuk membantu diri kamu sebelum menghadapi ujian, perlu diingat tips ini tidak menjamin untuk bisa masuk ke Perguruan Tinggi Negeri, tips ini hanya untuk membantu diri kamu jika kamu tidak mengetahui bagaimana cara untuk memulai persiapan untuk menghadapi ujian.
hi600g139h1hgvghosfz8hx3etrw8cd
Seberapa
0
24569
99911
2024-11-10T06:37:27Z
Isnaini Sya'roin
40645
Puisi terkait apresiasi atas jiwa yang pernah terpuruk karena terlalu acuh dengan kalimat orang lain.
99911
wikitext
text/x-wiki
Seberapa ???
Mereka mencemooh tanpa memperhatikan diksi yang membunuh mental perlahan.
Sindiran mereka mengikis senyum pemilik diri.
Balas!
Langkahmu mungkin pelan tapi pasti.
Mereka tak perlu tau,
Seberapa lelah dan letihnya perjalanan mu
Seberapa banyak cucuran keringat yang engkau keluarkan
Seberapa sering masalah menggoyahkan tekadmu
Seberapa sakit hatimu melihat sukses orang lain
Seberapa terkekang nafsumu dalam penjuangan ini
Seberapa banyak bisikan memintamu berhenti
Seberapa sulit serpihan luka yang kau lalui
Seberapa jauh jalan yang kau tapaki
Seberapa sedih dirimu disaat sendiri melewati luka
Seberapa ingin hasratmu mengambil jalur lain
Seberapa banyak hal muncul ingin menempati tingkat prioritasmu
Seberapa ragu engkau terhadap kemampuanmu
Seberapa cemas dirimu menghadapi masa depan
Seberapa terpukulnya engkau mengingat penyesalan masa lalu
Seberapa lemahnya dirimu menahlukkan harapan yang engkaupun tak tau apa akhirnya
Yang perlu mereka tahu adalah dirimu pantas disebut orang berharga, yang harganya tak sepadan dengan anggapan remeh mereka.
Biarkan mereka yang menertawakan mu dengan gelak sekarang,
Menjadi mereka yang memberi tepuk tangan dengan gema riuh paling meriah saat panggung impian mu dipersembahkan untukmu dan oleh mu.
Ya, kamu lah orang paling berjasa untuk kesuksesanmu. Tindakanmu itu merupakan hal yang memberi progress besar dalam rekam jejak hidupmu.
Kamu adalah milikmu.
Dirimu adalah asetmu.
Jangan sia-siakan asetmu tanpa kau investasikan ditempat yang sesuai bahkan lebih dari hargamu!
Terimakasih karena bersedia menjadikan jalanku berwarna.
Dan, terimakasih karena tetap memotivasi diri ini untuk menjadi lebih baik.
Wahai para pencela yang budiman!
Untuk diriku, aku tak tau seberapa hebat dirimu, yang aku tau bahwa kau sudah banyak berjuang sampai saat ini dan akan terus berlanjut lagi, aku bangga dengan mu.
6a3dbxrz53ft2hvpjczhoznesrcj9kr
99912
99911
2024-11-10T06:39:04Z
Isnaini Sya'roin
40645
99912
wikitext
text/x-wiki
Seberapa ???
Mereka mencemooh tanpa memperhatikan diksi yang membunuh mental perlahan.
Sindiran mereka mengikis senyum pemilik diri.
Balas!
Langkahmu mungkin pelan tapi pasti.
Mereka tak perlu tau,
Seberapa lelah dan letihnya perjalananmu
Seberapa banyak cucuran keringat yang engkau keluarkan
Seberapa sering masalah menggoyahkan tekadmu
Seberapa sakit hatimu melihat sukses orang lain
Seberapa terkekang nafsumu dalam penjuangan ini
Seberapa banyak bisikan memintamu berhenti
Seberapa sulit serpihan luka yang kau lalui
Seberapa jauh jalan yang kau tapaki
Seberapa sedih dirimu disaat sendiri melewati luka
Seberapa ingin hasratmu mengambil jalur lain
Seberapa banyak hal muncul ingin menempati tingkat prioritasmu
Seberapa ragu engkau terhadap kemampuanmu
Seberapa cemas dirimu menghadapi masa depan
Seberapa terpukulnya engkau mengingat penyesalan masa lalu
Seberapa lemahnya dirimu menahlukkan harapan yang engkaupun tak tau apa akhirnya
Yang perlu mereka tahu adalah dirimu pantas disebut orang berharga, yang harganya tak sepadan dengan anggapan remeh mereka.
Biarkan mereka yang menertawakan mu dengan gelak sekarang,
Menjadi mereka yang memberi tepuk tangan dengan gema riuh paling meriah saat panggung impian mu dipersembahkan untukmu dan oleh mu.
Ya, kamu lah orang paling berjasa untuk kesuksesanmu. Tindakanmu itu merupakan hal yang memberi progress besar dalam rekam jejak hidupmu.
Kamu adalah milikmu.
Dirimu adalah asetmu.
Jangan sia-siakan asetmu tanpa kau investasikan ditempat yang sesuai bahkan lebih dari hargamu!
Terimakasih karena bersedia menjadikan jalanku berwarna.
Dan, terimakasih karena tetap memotivasi diri ini untuk menjadi lebih baik.
Wahai para pencela yang budiman!
Untuk diriku, aku tak tau seberapa hebat dirimu, yang aku tau bahwa kau sudah banyak berjuang sampai saat ini dan akan terus berlanjut lagi, aku bangga dengan mu.
0705neqbg6ziri61arweimx0w1n0c00
99914
99912
2024-11-10T06:46:21Z
Isnaini Sya'roin
40645
99914
wikitext
text/x-wiki
Puisi karya Oin_Cheers
Seberapa ???
Mereka mencemooh tanpa memperhatikan diksi yang membunuh mental perlahan.
Sindiran mereka mengikis senyum pemilik diri.
Balas!
Langkahmu mungkin pelan tapi pasti.
Mereka tak perlu tau,
Seberapa lelah dan letihnya perjalananmu
Seberapa banyak cucuran keringat yang engkau keluarkan
Seberapa sering masalah menggoyahkan tekadmu
Seberapa sakit hatimu melihat sukses orang lain
Seberapa terkekang nafsumu dalam penjuangan ini
Seberapa banyak bisikan memintamu berhenti
Seberapa sulit serpihan luka yang kau lalui
Seberapa jauh jalan yang kau tapaki
Seberapa sedih dirimu disaat sendiri melewati luka
Seberapa ingin hasratmu mengambil jalur lain
Seberapa banyak hal muncul ingin menempati tingkat prioritasmu
Seberapa ragu engkau terhadap kemampuanmu
Seberapa cemas dirimu menghadapi masa depan
Seberapa terpukulnya engkau mengingat penyesalan masa lalu
Seberapa lemahnya dirimu menahlukkan harapan yang engkaupun tak tau apa akhirnya
Yang perlu mereka tahu adalah dirimu pantas disebut orang berharga, yang harganya tak sepadan dengan anggapan remeh mereka.
Biarkan mereka yang menertawakan mu dengan gelak sekarang,
Menjadi mereka yang memberi tepuk tangan dengan gema riuh paling meriah saat panggung impian mu dipersembahkan untukmu dan oleh mu.
Ya, kamu lah orang paling berjasa untuk kesuksesanmu. Tindakanmu itu merupakan hal yang memberi progress besar dalam rekam jejak hidupmu.
Kamu adalah milikmu.
Dirimu adalah asetmu.
Jangan sia-siakan asetmu tanpa kau investasikan ditempat yang sesuai bahkan lebih dari hargamu!
Terimakasih karena bersedia menjadikan jalanku berwarna.
Dan, terimakasih karena tetap memotivasi diri ini untuk menjadi lebih baik.
Wahai para pencela yang budiman!
Untuk diriku, aku tak tau seberapa hebat dirimu, yang aku tau bahwa kau sudah banyak berjuang sampai saat ini dan akan terus berlanjut lagi, aku bangga dengan mu.
0s7y83d5jiw3lr699y015rf81me93g5
99915
99914
2024-11-10T06:46:41Z
Isnaini Sya'roin
40645
99915
wikitext
text/x-wiki
''Puisi karya Oin_Cheers''
Seberapa ???
Mereka mencemooh tanpa memperhatikan diksi yang membunuh mental perlahan.
Sindiran mereka mengikis senyum pemilik diri.
Balas!
Langkahmu mungkin pelan tapi pasti.
Mereka tak perlu tau,
Seberapa lelah dan letihnya perjalananmu
Seberapa banyak cucuran keringat yang engkau keluarkan
Seberapa sering masalah menggoyahkan tekadmu
Seberapa sakit hatimu melihat sukses orang lain
Seberapa terkekang nafsumu dalam penjuangan ini
Seberapa banyak bisikan memintamu berhenti
Seberapa sulit serpihan luka yang kau lalui
Seberapa jauh jalan yang kau tapaki
Seberapa sedih dirimu disaat sendiri melewati luka
Seberapa ingin hasratmu mengambil jalur lain
Seberapa banyak hal muncul ingin menempati tingkat prioritasmu
Seberapa ragu engkau terhadap kemampuanmu
Seberapa cemas dirimu menghadapi masa depan
Seberapa terpukulnya engkau mengingat penyesalan masa lalu
Seberapa lemahnya dirimu menahlukkan harapan yang engkaupun tak tau apa akhirnya
Yang perlu mereka tahu adalah dirimu pantas disebut orang berharga, yang harganya tak sepadan dengan anggapan remeh mereka.
Biarkan mereka yang menertawakan mu dengan gelak sekarang,
Menjadi mereka yang memberi tepuk tangan dengan gema riuh paling meriah saat panggung impian mu dipersembahkan untukmu dan oleh mu.
Ya, kamu lah orang paling berjasa untuk kesuksesanmu. Tindakanmu itu merupakan hal yang memberi progress besar dalam rekam jejak hidupmu.
Kamu adalah milikmu.
Dirimu adalah asetmu.
Jangan sia-siakan asetmu tanpa kau investasikan ditempat yang sesuai bahkan lebih dari hargamu!
Terimakasih karena bersedia menjadikan jalanku berwarna.
Dan, terimakasih karena tetap memotivasi diri ini untuk menjadi lebih baik.
Wahai para pencela yang budiman!
Untuk diriku, aku tak tau seberapa hebat dirimu, yang aku tau bahwa kau sudah banyak berjuang sampai saat ini dan akan terus berlanjut lagi, aku bangga dengan mu.
fkwoxg820rcnbqu6868d0t8dmmoe06j
Resep garang asem ayam
0
24570
99913
2024-11-10T06:39:30Z
Irnabela
40644
←Membuat halaman berisi '== Bahan utama: == [[Berkas:Garang asem Pj.JPG|jmpl|Garang Asem Ayam ]] * 1/2 ekor ayam * 250 ml santan kental atau perasan pertama * 750 ml santan encer dari perasan berikutnya * 3 cm lengkuas, memarkan * 2 batang serai, ambil bagian bawah yang putihnya dan memarkan * 2 lembar saun salam * 2 lembar daun jeruk * 1/2 sdm gula * 1 sdm garam * Daun pisang untuk membungkus secukupnya == Bumbu iris: == * 15 siung bawang merah * 9 siung bawang putih * 5 buah belimb...'
99913
wikitext
text/x-wiki
== Bahan utama: ==
[[Berkas:Garang asem Pj.JPG|jmpl|Garang Asem Ayam ]]
* 1/2 ekor ayam
* 250 ml santan kental atau perasan pertama
* 750 ml santan encer dari perasan berikutnya
* 3 cm lengkuas, memarkan
* 2 batang serai, ambil bagian bawah yang putihnya dan memarkan
* 2 lembar saun salam
* 2 lembar daun jeruk
* 1/2 sdm gula
* 1 sdm garam
* Daun pisang untuk membungkus secukupnya
== Bumbu iris: ==
* 15 siung bawang merah
* 9 siung bawang putih
* 5 buah belimbing wuluh dipotong-potong
* 3 buah tomat hijau
* 5 cabai rawit merah utuh
== Bumbu rempah tambahan: ==
* 5 cm lengkuas, iris tipis
* 3 lembar daun salam
* 4 lembar daun jeruk
== Langkah-langkah: ==
* Cuci bersih ayam, potong-potong menjadi beberapa bagian kecil. Sisihkan.
* Rebus santan encer bersama daun salam, daun jeruk, lengkuas, serai, garam, dan gula.
* Masukkan ayam dan masak hingga ayam empuk dan airnya menyusut.
* Apabila ayam belum empuk, bisa ditambahkan air dan masak kembali hingga empuk.
* Masukkan santan kental dan masak kembali sambil diaduk perlahan hingga mendidih, serta santan meresap ke ayam. Angkat ayam dan bagi menjadi 5 bagian lalu sisihkan.
* Siapkan bumbu iris, campur menjadi satu dalam wadah. Bagi menjadi 5 bagian dan sisihkan.
* Ambil dua lembar daun pisang, lalu susun dan tumpuk jadi satu.
* Taruh bumbu rempah tambahan seperti daun salam, daun jeruk, dan irisan lengkuas. Taruh di atasnya 1 bagian ayam. lalu tambahkan bumbu iris 1 bagian. Siram dengan kuah santan rebusan ayam.
* Bungkus rapi lalu sematkan atasnya dengan tusuk gigi.
* Kukus garang asem selama kurang lebih 30 menit. Angkat dan siap disajikan bersama nasi hangat dan kerupuk sebagai pelengkap.
2exrvwenvn3mg1drjuyqrs1kd7bjno4
99922
99913
2024-11-10T07:01:50Z
Irnabela
40644
99922
wikitext
text/x-wiki
'''Garang asem''' adalah makanan khas Jawa Tengah. Cara membuat garang asem ayam ini mudah dan bahannya sederhana. Selain itu, dengan metode memasak ayam yang dibungkus daun pisang menghasilkan cita rasa dan aromanya yang khas. Bagi yang bosan dengan menu olahan ayam itu-itu saja, tidak ada salahnya mencoba resep garang asem ayam berikut yang rasanya gurih dan segar. Dirangkum berbagai sumber, di bawah ini terdapat cara membuat garang asem ayam untuk porsi sedang sekitar dua atau tiga orang.
== Bahan utama: ==
[[Berkas:Garang asem Pj.JPG|jmpl|Garang Asem Ayam ]]
* 1/2 ekor ayam
* 250 ml santan kental atau perasan pertama
* 750 ml santan encer dari perasan berikutnya
* 3 cm lengkuas, memarkan
* 2 batang serai, ambil bagian bawah yang putihnya dan memarkan
* 2 lembar saun salam
* 2 lembar daun jeruk
* 1/2 sdm gula
* 1 sdm garam
* Daun pisang untuk membungkus secukupnya
== Bumbu iris: ==
* 15 siung bawang merah
* 9 siung bawang putih
* 5 buah belimbing wuluh dipotong-potong
* 3 buah tomat hijau
* 5 cabai rawit merah utuh
== Bumbu rempah tambahan: ==
* 5 cm lengkuas, iris tipis
* 3 lembar daun salam
* 4 lembar daun jeruk
== Langkah-langkah: ==
* Cuci bersih ayam, potong-potong menjadi beberapa bagian kecil. Sisihkan.
* Rebus santan encer bersama daun salam, daun jeruk, lengkuas, serai, garam, dan gula.
* Masukkan ayam dan masak hingga ayam empuk dan airnya menyusut.
* Apabila ayam belum empuk, bisa ditambahkan air dan masak kembali hingga empuk.
* Masukkan santan kental dan masak kembali sambil diaduk perlahan hingga mendidih, serta santan meresap ke ayam. Angkat ayam dan bagi menjadi 5 bagian lalu sisihkan.
* Siapkan bumbu iris, campur menjadi satu dalam wadah. Bagi menjadi 5 bagian dan sisihkan.
* Ambil dua lembar daun pisang, lalu susun dan tumpuk jadi satu.
* Taruh bumbu rempah tambahan seperti daun salam, daun jeruk, dan irisan lengkuas. Taruh di atasnya 1 bagian ayam. lalu tambahkan bumbu iris 1 bagian. Siram dengan kuah santan rebusan ayam.
* Bungkus rapi lalu sematkan atasnya dengan tusuk gigi.
* Kukus garang asem selama kurang lebih 30 menit. Angkat dan siap disajikan bersama nasi hangat dan kerupuk sebagai pelengkap.
n4yiwvaz1u7qa2qrvvndyd49sfxzw0p
Resep Garang Asem Ayam Tanpa Santan dan Daun Pisang
0
24571
99920
2024-11-10T06:54:59Z
Irnabela
40644
←Membuat halaman berisi '== Bahan-bahan: == * 500 gram ayam * 5 butir bawang merah * 3 siung bawang putih * 3 buah cabai merah keriting * Cabai rawit utuh secukupnya * 1 buah tomat merah * 15 buah belimbing wuluh * 1 batang serai * 1 ruas lengkuas * 1 ruas jahe * 3 lembar daun salam * 3 lembar daun jeruk * 1 batang daun bawang * Garam, gula, lada, kaldu jamur, dan minyak goreng secukupnya * Air jeruk nipis secukupnya == Cara membuat: == * Cuci ayam sampai bersih dan beri pe...'
99920
wikitext
text/x-wiki
== Bahan-bahan: ==
* 500 gram ayam
* 5 butir bawang merah
* 3 siung bawang putih
* 3 buah cabai merah keriting
* Cabai rawit utuh secukupnya
* 1 buah tomat merah
* 15 buah belimbing wuluh
* 1 batang serai
* 1 ruas lengkuas
* 1 ruas jahe
* 3 lembar daun salam
* 3 lembar daun jeruk
* 1 batang daun bawang
* Garam, gula, lada, kaldu jamur, dan minyak goreng secukupnya
* Air jeruk nipis secukupnya
== Cara membuat: ==
* Cuci ayam sampai bersih dan beri perasan air jeruk nipis. Biarkan 10 menit. Bilas dengan air bersih. Marinasi ayam dengan garam dan lada sekitar 15 menit.
* Iris bawang merah, bawang putih, cabe merah, belimbing wuluh, tomat, dan daun bawang. Geprek lengkuas, sereh, dan jahe. Siapkan daun salam dan daun jeruk.
* Panaskan sedikit minyak goreng. Tumis bawang merah dan bawang putih hingga harum. Masukkan cabai merah, daun salam, daun jeruk, serai, lengkuas, dan jahe. Tumis kembali sampai layu.
* Masukan ayam, masak sampai berubah warna. Tuang air. Tambahkan tomat dan belimbing wuluh. Beri garam, gula pasir, dan kaldu jamur. Koreksi rasa. Masak ayam sampai matang dan air menyusut. Tambahkan daun bawang dan cabai rawit. Angkat dan sajikan.
ntbyqt1qi9y3rd7mgziu0mnxpeg1x0l
99921
99920
2024-11-10T06:58:08Z
Irnabela
40644
99921
wikitext
text/x-wiki
Garang asem adalah masakan khas Jawa Tengah yang rasanya asam segar karena menggunakan belimbing wuluh. Selain belimbing wuluh, ciri khas garang asem juga menggunakan santan dan cara membuatnya dibungkus daun pisang seperti botok. Namun, kalau sedang mengurangi santan kamu bisa tidak menggunakannya. Selain itu, kamu bisa membuat garang asem tanpa daun pisang. Sehingga cara masaknya bukan dikukus melainkan direbus.
== Bahan-bahan: ==
* 500 gram ayam
* 5 butir bawang merah
* 3 siung bawang putih
* 3 buah cabai merah keriting
* Cabai rawit utuh secukupnya
* 1 buah tomat merah
* 15 buah belimbing wuluh
* 1 batang serai
* 1 ruas lengkuas
* 1 ruas jahe
* 3 lembar daun salam
* 3 lembar daun jeruk
* 1 batang daun bawang
* Garam, gula, lada, kaldu jamur, dan minyak goreng secukupnya
* Air jeruk nipis secukupnya
== Cara membuat: ==
* Cuci ayam sampai bersih dan beri perasan air jeruk nipis. Biarkan 10 menit. Bilas dengan air bersih. Marinasi ayam dengan garam dan lada sekitar 15 menit.
* Iris bawang merah, bawang putih, cabe merah, belimbing wuluh, tomat, dan daun bawang. Geprek lengkuas, sereh, dan jahe. Siapkan daun salam dan daun jeruk.
* Panaskan sedikit minyak goreng. Tumis bawang merah dan bawang putih hingga harum. Masukkan cabai merah, daun salam, daun jeruk, serai, lengkuas, dan jahe. Tumis kembali sampai layu.
* Masukan ayam, masak sampai berubah warna. Tuang air. Tambahkan tomat dan belimbing wuluh. Beri garam, gula pasir, dan kaldu jamur. Koreksi rasa. Masak ayam sampai matang dan air menyusut. Tambahkan daun bawang dan cabai rawit. Angkat dan sajikan.
5fzgea1hvgszzyhwylerdd6zu6jfzio
Resep:Kacang telur
100
24572
99923
2024-11-10T07:18:22Z
Isnaini Sya'roin
40645
←Membuat halaman berisi 'Bahan-bahan: 1. 700 gr kacang tanah 2. 700 gr tepung terigu 3. 150 gr tepung tapioka 4. 250 gr gula pasir 5. 3 butir telur ayam 6. ½ sdt garam 7. ¼ sdt vanila bubuk 8. 2 sdm margarin, cairkan Cara membuat: 1. Cuci bersih kacang tanah lalu sangrai sebentar hingga cukup kering. Sisihkan kacang yang bisa digunakan. 2. Campur vanila bubuk, tepung terigu dan tepung tapioka. 3. Campurkan telur, gula, dan garam hingga gula larut. Lalu, campur margarin ca...'
99923
wikitext
text/x-wiki
Bahan-bahan:
1. 700 gr kacang tanah
2. 700 gr tepung terigu
3. 150 gr tepung tapioka
4. 250 gr gula pasir
5. 3 butir telur ayam
6. ½ sdt garam
7. ¼ sdt vanila bubuk
8. 2 sdm margarin, cairkan
Cara membuat:
1. Cuci bersih kacang tanah lalu sangrai sebentar hingga cukup kering. Sisihkan kacang yang bisa digunakan.
2. Campur vanila bubuk, tepung terigu dan tepung tapioka.
3. Campurkan telur, gula, dan garam hingga gula larut. Lalu, campur margarin cair dan aduk hingga merata.
4. Masukkan kacang ke wadah yang besar lalu tuang kocokan telur sedikit sedikit secara bergantian dengan campuran tepung.
5. Lakukan sampai kocokan telur dan tepung habis.
6. Jika ingin permukaan lebih halus maka bisa dibulatkan secara manual dengan tangan.
7. Panaskan minyak goreng dan masukkan kacang telur.
8. Aduk secara perlahan supaya kacang matang merata hingga berubah warna menjadi agak kecoklatan. Kacang yang sudah matang biasanya terasa lebih ringan ketika diaduk.
Kacang telur siap disajikan.
Selamat menikmati, Foodies!
n49uxjlh99z31im0jlm2d3i73rqz8m7
Puisi, Di Balik Pintu yang Tertutup
0
24573
99926
2024-11-10T09:32:36Z
Lamyakin Sinaga
40643
Membuat Puisi Baru
99926
wikitext
text/x-wiki
Medan, 10 November 2024
''Karya, Lamyakin Sinaga''
Di balik pintu yang tertutup,
Ada dunia yang belum pernah aku lihat.
Suara-suara di sana terdengar samar, seperti bisikan angin,
Namun aku tahu ada sesuatu yang menanti.
Pintu ini tidak pernah terbuka,
Dan aku belum tahu apakah aku ingin membukanya.
Ada ketakutan yang menggelayuti hati,
Namun juga rasa penasaran yang membakar.
Aku berdiri di depan pintu itu,
Dengan semua pertanyaan yang berputar di kepala.
Apakah di balik pintu itu ada jawaban,
Atau hanya lebih banyak misteri yang akan mengaburkan jalan?
Namun aku sadar,
Setiap pintu yang tertutup adalah awal dari perjalanan baru,
Dan meskipun aku takut,
Aku tahu suatu saat nanti,
Aku akan melangkah melewatinya,
Menghadapi segala yang tersembunyi di baliknya.
15s0l5rlxpkpwq501yxd7t6pos1dk8a