Wikibuku
idwikibooks
https://id.wikibooks.org/wiki/Halaman_Utama
MediaWiki 1.44.0-wmf.2
first-letter
Media
Istimewa
Pembicaraan
Pengguna
Pembicaraan Pengguna
Wikibuku
Pembicaraan Wikibuku
Berkas
Pembicaraan Berkas
MediaWiki
Pembicaraan MediaWiki
Templat
Pembicaraan Templat
Bantuan
Pembicaraan Bantuan
Kategori
Pembicaraan Kategori
Resep
Pembicaraan Resep
Wisata
Pembicaraan Wisata
TimedText
TimedText talk
Modul
Pembicaraan Modul
Sejarah Filipina/Bab 6
0
24549
99929
99928
2024-11-11T00:43:21Z
Glorious Engine
9499
99929
wikitext
text/x-wiki
<center>'''Bab VI'''</center>
<center>'''Prajurit Spanyol dan Misionaris Spanyol'''</center>
Sejarah Filipina sebagai Bagian dari Sejarah Koloni Spanyol.—Kami telah melihat bagaimana Filipina ditemukan oleh Magellan dalam pencariannya untuk Kepulauan Rempah-rempah. Brilian dan romantis sebagaimana kisah perjalanan tersebut, ini tak membawa penerimaan langsung untuk Spanyol. Portugal masih menikmati perdagangan Timur dan nyaris separuh abad menaungi sebelum Spanyol menghimpun pemukiman di kepulauan tersebut. Namun jika pada suatu waktu ia merangsek Timur Jauh, Spanyol dari Semenanjung menghimpun dirinya dengan nyaris tenaga tak terbatas dan pencurahan dalam penaklukan material dan spiritual Amerika. Seluruh pengabdian terbesar prajurit Spanyol dan misionaris Spanyol telah diamankan dalam lima puluh tahun dari masa kala Columbus melihat Hindia Barat.
Dalam rangka memahami sejarah Filipina, kami tak harus melupakan bahwa kepulauan tersebut membentuk bagian dari kekaisaran kolonial besar dan di bawah pemerintahan yang sama; bahwa selama lebih dari dua abad, Filipina dicapai melalui Meksiko dan pada keadaan tertentu diperintah oleh Meksiko; bahwa gubernur, hakim dan prajurit yang sama memegang jabatan di kedua hemisfer tersebut, melitnas dari Amerika ke Filipina dan dipromosikan dari Kepulauan tersebut untuk jabatan resmi yang lebih tinggi di Meksiko dan Peru. Sehingga untuk memahami kekuasaan Spanyol di Filipina, kami harus mengkaji pergerakan pemerintahan besar dan badan hukum besar yang berkembang pada pemerintahan Hindia.
Karakter Penjelajah Spanyol.—Penaklukan mereka sendiri banyak terdampak melalui usaha dan kekayaan orang-orangs wasta; namun orang-orang yang memegang jabatan dari takhta Spanyol, tindakan mereka tunduk pada kendali kerajaan yang ketat, dan sebagian besar laba dan hasil dari penjelajahan mereka dibayarkan kepada perbendaharaan kerajaan. Setelah beberapa penakluk, mahkota menyematkan gelar kebanggaan “adelantado.” Bangsawan Spanyol mencurahkan diri mereka sendiri dalam pemahaman berbahaya tersebut dengan keberanian dan penentuan pasti yang lahir dari perjuangan panjang mereka dengan Moor. Terlepas dari keadaan pencobaan jiwa dari penaklukan Barat yang mengembangkan banyak rintangan, meskipun sejumlah semangat brilian mereka,, sampai posisi pasti dan kekuatan; namun jabatan kewalirajaan dan gubernur disandang untuk menggelari orang-orang kesayangan raja.
Audiencia Kerajaan.—Pemerintahan Spanyol paling awal, dalam rangka melindungi otoritasnya sendiri, mendapatinya dibutuhkan untuk meneruskan ambisi dan penakluk petualang oleh penguasa dalam hubungan dekat denagn ketergantungan mutlak pada kehendak kerajaan. Sehingga di Meksiko, Cortes sang penakluk dicopot dan digantikan oleh wali raja Mendoza, yang melakukan penaklukan terhadap bekas koloni Spanyol besar Spanyol Baru, yang sampai saat ini merupakan peristiwa paling sukses dari seluruh negara yang ditanam oleh Spanyol di Amerika.
Untuk membatasi kekuatan gubernur dan wakil raja, serta dintakan pemerintahan tertinggi untuk penetapan tindakan dan pertanyaan hukum, Spanyol menciptakan “Audiencia Kerajaan.” Ini adalah badan golongan bangsawan dan melek hukum, dikirim dari Spanyol uintuk membentuk pemerintahan kolonial di setiap negara; namun kekuatan mereka tak hanya yudisial; mereka juga bersifat administratif. Dalam ketiadaan gubernur, mereka memegang tugas-tugasnya.
Perlakuan Penduduk Asli oleh Spanyol.—Dalam perlakuan terhadap penduduk asli, yang wilayahnya ditaklukan olehnya, raja Spanyol mengupayakan tiga hal,—pertama, untuk mengamankan kolonis dan mahkota pergerakan buruhnya, kedua, untuk memindahkan Indian ke agama Kristen sebagaimana yang diutamakan oleh Gereja Katolik Roma, dan ketiga, untuk melindungi mereka dari kekejaman dan ketidakperikemanusiaan. Edik demi edik, hukum demi hukum, dikeluarkan dari takhta Spanyol dengan akhir pandangan tersebut. Kala mereka berdiri pada buku-buku hukum kolonial terbesar, Recopilacion de Leyes de las Indias, mereka menyimpan kesensitivan untuk kebutuhan Indian dan apresiasi bahaya yang ia hadapi; namun dalam praktek sebenarnya, tujuan bermanfaat tersebut kebanyakan tak berguna.
Keperluan pertama dan ketiga Spanyol dalam perlakuannya terhadap penduduk asli menghimpun ketidakpastian. Sejarah telah menunjukkan bahwa kebebasan dan pencerahan tak dapat diambil dari sebuah ras dengan satu tanagn dan perlindungan yang memberikannya dengan tangan lainnya. Ssleuruh kelas dari pemerintah kolonial Spanyol menyelaraskan kekayaan. Kebanggaan mengisi mereka semua, dan merupakan mata air utama darissetiap penemuan dan setiap ketetapan. Raja menginginkan pendapatan untuk perbendaharaannya; bangsawan dan prajurit, ditugaskan pada keperluan pribadi mereka; frater, diperkaya untuk ordonya; uskup, dikuatkan untuk gerejanya. Seluruh kekayaan tersebut datang dari penghasilan penduduk asli di tanah yang dikuasai penakluk Spanyol; dan sementara motif bangsawan mungkin tak pernah absen dan pada waktu tertentu selaras, sehingga pad autamanya penduduk asli AMerika dan Filipina menjadi terdera di bawah tangan dan kekuasaan Spanyol.
“Encomendero.”—Sistem pengendalian kehidupan Spanyol dan pengerjaan Indian berdasarkan pada keberadaan tertentu pada sistem feodal, masih ada di Semenanjung pada waktu penaklukan kolonialnya. Para kapten dan prajurit serta imam dari penaklukan suksesnya menugaskan mereka untuk pertanahan besar atau lahan berbuah dengan penduduk asli mereka, yang merek aurus dan kuasai untuk laba mereka sendiri. Lahan semacam itu disebut “repartimientos” pertama. Namun kemudian menjadi penerapan, di Amerika, untuk menarik sejumlah ebsar Indian untuk penugasan orang Spanyol, yang menaungi mereka dengan kekuasaan majikan dan yang menikmati laba ketenagakerjaaan mereka. Sebagai balasannya, ia diperintahkan untuk memindahkan agama orang-orang Indian dan perintah agama mereka. Pemberian Indian semacam itu disebut “encomienda.” “Encomendero” bukanlah tuan mutlak dari kehidupan dan harta benda Indian, untuk hukum kerjasama yang dinaungi untuk perlindungan Indian. Sehingga, pemberian subyek tanpa tanah yang ditinggali oleh mereka membuat kemungkinan pemindahan mereka dan penjualan dari satu encomendero ke lainnya, dan dalam cara ini, ribuan Indian Amerika secara terapan dijadikan budak, dan dipaksa menjadi buruh dalam pertambangan.
Sebagaimana yang kami lihat, seluruh sistem tersebut diserang oleh imam Dominikan, Las Casas, seorang sosok bangsawan sebenarnya dalam sejarah kolonisasi Amerika, dan berbagai upaay dibuat di Amerika untuk membatasi encomienda dan untuk mencegah pengenalan mereka ke Meksiko dan Peru; namun kekuatan besar encomendero di America, bersama dengan pengaruh Gereja, yang memegang encomienda secara luas, telah terdorong untuk meluaskan kelembagaan tersebut, bahkan melawan tindakan bersemangat Las Casas. Peniadaannya di Meksiko didekritkan pada 1544, namun “para komisioner mewakili munisipalitas Meksiko dan ordo-ordo keagamaan dikirim ke Spanyol untuk membujuk raja untuk menariks etidaknya bagian-bagian ‘Hukum Baru’ yang emngancam kepentingan pemukim. Lewat dekrit kerajaan 20 Oktober 1545, penerapan yang diinginkan diterima. Tindakan tersebut mengisi pemukim Spanyol dengan kegembiraan dan Indian yang diperbudak dengan perbaikan.”
Ini menjadi kelembagaan yang awalnya didirikan sebagai bagian sistem kolonial dan didatangkan dengan penakluk ke Filipina.
Pembatasan pada Kolonisasi dan Perdagangan.—Untuk kepengurusan setiap urusan kolonial, raja menciptakan badan besar, atau biro, yang dikenal sebagai “Dewan Hindia,” yang duduk di Madrid dan para anggotanya adalah para pejabat tertinggi di Spanyol. Pemerintah Spanyol memegang penaungan terdekat atas seluruh persoalan kolonial, dan kolonisasi tak pernah bebas. Seluruh orang, gudang, dan kapal, yang didatangkan dari Spanyol ke wilayah kolonialnya, ditujukan untuk melintas melewati Sevilla, dan pelabuhan itu sendiri.
Kota kuno kaya, yang terletak di sungai Guadalquivir, Spanyol barat daya, adalah gerbang masuk menuju Kekaisaran Spanyol. Dari pelabuhan tersebut didatangkan prajurit penyurat, frater berjubah, bangsawan petualang, dan wanita-wanita Spanyol pemberani dan mentereng, yang menyertai suami mereka ke wilayah yang sangat jauh sepanjang laut. Dan kemabli ke pelabuhan membawa emas Peru, perak Meksiko, dan sutra dan brodiran Tiongkok, yang diangkut melalui Filipina.
Harus diamati bahwa seluruh perhubungan antara Spanyol dan koloni-koloninya sangat dikendalikan oleh pemerintah. Spanyol berniat untuk menciptakan dan menghimpun monopoli khsusu dari perdagangan kolonialnya. Untuk memberlakukan dan mengarahkan monopolinya, di Sevilla, terdapat Dewan Perdagangan, atau “Casa de Contratacion.” Tak ada orang yang dapat berlayar dari Spanyol ke wilayah kolonial tanpa ijin dan melewati pendaftaran pemerintah. Tak ada orang yang dapat mengirim barang ke luar atau mengimpornya kecuali melalui Dewan Perdagangan dan kala pembayaran pengiriman luar biasa. Perdagangan secara mutlak dilarang untuk orang-orang Spanyol tertentu. Dan melalui bentengnya dan armadanya, Spanyol mengisolasi koloninya dari jamahan Portugis, Belanda, atau Inggris, yang kapal-kapalnya, yang diisi awak selain orang-orang Spanyol sendiri, merupakan permulaan untuk mengarungi laut dalam mencari kekayaan dan penghasilan dari penaklukan dan perdagangan asing.
Summary of the Colonial Policy of Spain.—Spain sought foreign colonies, first, for the spoils of accumulated wealth that could be seized and carried away at once, and, secondly, for the income that could be procured through the labor of the inhabitants of the lands she gained. In framing her government and administration of her colonies, she sought primarily the political enlightenment and welfare neither of the Spanish colonist nor the native race, but the glory, power, and patronage of the crown. The commercial and trade regulations were devised, not to develop the resources and increase the prosperity of the colonies, but to add wealth to the Peninsula. Yet the purposes of Spain were far from being wholly selfish. With zeal and success she sought the conversion of the heathen natives, whom she subjected, and in this showed a humanitarian interest in advance of the Dutch and English, who rivaled her in colonial empire.[114]
The colonial ideals under which the policy of Spain was framed were those of the times. In the centuries that have succeeded, public wisdom and conscience on these matters have immeasurably improved. Nations no longer make conquests frankly to exploit them, but the public opinion of the world demands that the welfare of the colonial subject be sought and that he be protected from official greed. There is great advance still to be made. It can hardly be said that the world yet recognizes that a stronger people should assist a weaker without assurance of material reward, but this is the direction in which the most enlightened feeling is advancing. Every undertaking of the white race, which has such aims in view, is an experiment worthy of the most profound interest and most solicitous sympathy.
Result of the Voyage of Magellan and El Cano.—The mind of the Spanish adventurer was greatly excited by the results of Sebastian del Cano’s voyage. Here was the opportunity for rich trade and great profit. Numerous plans were laid before the king, one of them for the building of an Indian trading-fleet and an annual voyage to the Moluccas to gather a great harvest of spices.
Portugal protested against this move until the question of her claim to the Moluccas, under the division of Pope Alexander, could be settled. The exact longitude of Ternate west from the line 370 leagues beyond the Verde Islands was not well known. Spaniards argued that it was less than 180 degrees, and, therefore, in spite of Portugal’s earlier discovery, belonged to them. The pilot, Medina, for example, explained to Charles V. that from the meridian 370 leagues west of San Anton (the most westerly island of the Verde group) to the city of Mexico was 59 degrees, from Mexico to Navidad, 9 degrees, and [115]from this port to Cebu, 100 degrees, a total of only 168 degrees, leaving a margin of 12 degrees; therefore by the pope’s decision the Indies, Moluccas, Borneo, Gilolo, and the Philippines were Spain’s.3 A great council of embassadors and cosmographers was held at Badajoz in 1524, but reached no agreement. Spain announced her resolution to occupy the Moluccas, and Portugal threatened with death the Spanish adventurers who should be found there.
The First Expedition to the Philippines.—Spain acted immediately upon her determination, and in 1525 dispatched an expedition under Jofre de Loaisa to reap the fruits of Magellan’s discoveries.4 The captain of one vessel was Sebastian del Cano, who completed the voyage of Magellan. On his ship sailed Andres de Urdaneta, who later became an Augustinian friar and accompanied the expedition of Legaspi that finally effected the settlement of the Philippines. Not without great hardship and losses did the fleet pass the Straits of Magellan and enter the Pacific Ocean. In mid-ocean Loaisa died, and four days later the heroic Sebastian del Cano. Following a route somewhat similar to that of Magellan, the fleet reached first the Ladrone Islands and later the coast of Mindanao. From here they attempted to sail to Cebu, but the strong northeast monsoon drove them southward to the Moluccas, and they landed on Tidor the last day of the year 1526.[116]
The Failure of the Expedition.—The Portuguese were at this moment fighting to reduce the native rajas of these islands to subjection. They regarded the Spaniards as enemies, and each party of Europeans was shortly engaged in fighting and in inciting the natives against the other. The condition of the Spaniards became desperate in the extreme, and indicates at what cost of life the conquests of the sixteenth century were made. Their ships had become so battered by storm as to be no longer sea-worthy. The two officers, who had successively followed Loaisa and El Cano in command, had likewise perished. Of the 450 men who had sailed from Spain, but 120 now survived. These, under the leadership of Hernando de la Torre, threw up a fort on the island of Tidor, unable to go farther or to retire, and awaited hoped-for succor from Spain.
Relief came, not from the Peninsula, but from Mexico. Under the instructions of the Spanish king, in October, 1527, Cortes dispatched from Mexico a small expedition in charge of D. Alvaro de Saavedra. Swept rapidly by the equatorial trades, in a few months Saavedra had traversed the Carolines, reprovisioned on Mindanao, and reached the survivors on Tidor. Twice they attempted to return to New Spain, but strong trade winds blow without cessation north and south on either side of the equator for the space of more than twelve hundred miles, and the northern latitude of calms and prevailing westerly winds were not yet known.
Twice Saavedra beat his way eastward among the strange islands of Papua and Melanesia, only to be at last driven back upon Tidor and there to die. The survivors were forced to abandon the Moluccas. By surrendering to the Portuguese they were assisted to return [117]to Europe by way of Malacca, Ceylon, and Africa, and they arrived at Lisbon in 1536, the survivors of Loaisa’s expedition, having been gone from Spain eleven years.
The efforts of the Spanish crown to obtain possession of the Spice Islands, the Celebes and Moluccas, with their coveted products of nutmeg, cinnamon, and pepper, were for the time being ended. By the Treaty of Zaragoza (1529) the Emperor, Charles V., for the sum of three hundred and fifty thousand gold ducats, renounced all claim to the Moluccas. For thirteen years the provisions of this treaty were respected by the Spaniards, and then another attempt was made to obtain a foothold in the East Indies.
The Second Expedition to the Philippines.—The facts that disaster had overwhelmed so many, that two oceans must be crossed, and that no sailing-route from Asia back to America was known, did not deter the Spaniards from their perilous conquests; and in 1542 another expedition sailed from Mexico, under command of Lopez de Villalobos, to explore the Philippines and if possible to reach China.
Across the Pacific they made a safe and pleasant voyage. In the warm waters of the Pacific they sailed among those wonderful coral atolls, rings of low shore, decked with palms, grouped in beautiful archipelagoes, whose appearance has never failed to delight the navigator, and whose composition is one of the most interesting subjects known to students of the earth’s structure and history. Some of these coral islands Villalobos took possession of in the name of Spain. These were perhaps the Pelew Islands or the Carolines.
At last Villalobos reached the east coast of Mindanao, but after some deaths and sickness they sailed again and [118]were carried south by the monsoon to the little island of Sarangani, south of the southern peninsula of Mindanao. The natives were hostile, but the Spaniards drove them from their stronghold and made some captures of musk, amber, oil, and gold-dust. In need of provisions, they planted the maize, or Indian corn, the wonderful cereal of America, which yields so bounteously, and so soon after planting. Food was greatly needed by the Spaniards and was very difficult to obtain.
The Naming of the Islands.—Villalobos equipped a small vessel and sent it northward to try to reach Cebu. This vessel reached the coast of Samar. Villalobos gave to the island the name of Filipina, in honor of the Spanish Infante, or heir apparent, Philip, who was soon to succeed his father Charles V. as King Philip the Second of Spain. Later in his correspondence with the Portuguese Villalobos speaks of the archipelago as Las Filipinas. Although for many years the title of the Islas del Poniente continued in use, Villalobos’ name of Filipinas gradually gained place and has lived.
The End of the Expedition.—While on Sarangani demands were made by the Portuguese, who claimed that Mindanao belonged with the Celebes, that the Spaniards should leave. Driven from Mindanao by lack of food and hostility of the natives, Villalobos was blown southward by storms to Gilolo. Here, after long negotiations, the Portuguese compelled him to surrender. The survivors of the expedition dispersed, some remaining in the Indies, and some eventually reaching Spain; but Villalobos, overwhelmed by discouragement, died on the island of Amboyna. The priest who ministered to him in his last hours was the famous Jesuit missionary to the Indies, Saint Francis Xavier.[119]
Twenty-three years were to elapse after the sailing of Villalobos’ fleet before another Spanish expedition should reach the Philippines. The year 1565 dates the permanent occupation of the archipelago by the Spanish.
Increase in Political Power of the Church.—Under Philip the Second, the champion of ecclesiasticism, the Spanish crown cemented the union of the monarchy with the church and devoted the resources of the empire, not only to colonial acquisition, but to combating the Protestant revolution on the one hand and heathenism on the other. The Spanish king effected so close a union of the church and state in Spain, that from this time on churchmen rose higher and higher in the Spanish councils, and profoundly influenced the policy and fate of the nation. The policy of Philip the Second, however, brought upon Spain the revolt of the Dutch Lowlands and the wars with England, and her struggle with these two nations drained her resources both on land and sea, and occasioned a physical and moral decline. But while Spain was constantly losing power and prestige in Europe, the king was extending his colonial domain, lending royal aid to the ambitious adventurer and to the ardent missionary friar. Spain’s object being to christianize as well as to conquer, the missionary became a very important figure in the history of every colonial enterprise, and these great orders to whom missions were intrusted thus became the central institutions in the history of the Philippines.
The Rise of Monasticism.—Monasticism was introduced into Europe from the East at the very commencement of the Middle Ages. The fundamental idea of the old monasticism was retirement from human society in the belief that the world was bad and could not be bettered, and [120]that men could lead holier lives and better please God by forsaking secular employments and family relations, and devoting all their attention to purifying their characters. The first monastic order in Europe were the Benedictines, organized in the seventh century, whose rule and organization were the pattern for those that followed.
The clergy of the church were divided thus into two groups,—first, the parish priests, or ministers, who lived among the people over whom they exercised the care of souls, and who, because they were of the people themselves and lived their lives in association with the community, were known as the “secular clergy,” and second, the monks, or “regular clergy,” were so called because they lived under the “rule” of their order.
In the early part of the thirteenth century monasticism, which had waned somewhat during the preceding two centuries, received a new impetus and inspiration from the organization of new orders known as brethren or “Friars.” The idea underlying their organization was noble, and above that of the old monasticism; for it was the idea of service, of ministry both to the hearts and bodies of depressed and suffering men.
The Dominicans.—The Order of Dominicans was organized by Saint Dominic, an Italian, about 1215. The primary object of its members was to defend the doctrines of the Church and, by teaching and preaching, destroy the doubts and protests which in the thirteenth century were beginning to disturb the claims of the Catholic Church and the Papacy. The Dominican friars did not live in communities, but traveled about, humbly clad, preaching in the villages and towns, and seeking to expose and punish the heretic. The mediæval universities, through their study of philosophy and the Roman law, [121]were producing a class of men disposed to hold opinions contrary to the teachings of the Church. The Dominicans realized the importance of these great centers of instruction and entered them as teachers and masters, and by the beginning of the fifteenth century had made them strongholds of conservatism and orthodoxy.
The Franciscans.—A few years after this organization, the Order of Franciscans was founded by Saint Francis of Assisi, of Spain. The aims of this order were not only to preach and administer the sacraments, but to nurse the sick, provide for the destitute, and alleviate the dreadful misery which affected whole classes in the Middle Ages. They took vows of absolute poverty, and so humble was the garb prescribed by their rule that they went barefooted from place to place.
The Augustinian Order was founded by Pope Alexander IV., in 1265, and still other orders came later.
The Degeneration of the Orders.—Without doubt the early ministrations of these friars were productive of great good both on the religious and humanitarian sides. But, as the orders became wealthy, the friars lost their spirituality and their lives grew vicious. By the beginning of the sixteenth century the administration of the Church throughout Europe had become so corrupt, the economic burden of the religious orders so great, and religious teaching and belief so material, that the best and noblest minds in all countries were agitating for reform.
The Reformation.—In addition to changes in church administration, many Christians were demanding a greater freedom of religious thinking and radical changes in the Church doctrine which had taken form in the Middle Ages. Thus, while all the best minds in the Church were united in seeking a reformation of character and of administration, [122]great differences arose between them as to the possibility of change in Church doctrines. These differences accordingly separated them into two parties, the Papacy adhering strongly to the doctrine as it was then accepted, while various leaders in the north of Europe, including Martin Luther in Germany, Swingli in Switzerland, and John Calvin in France and Geneva, broke with the authority of the Pope and declared for a liberation of the individual conscience.
Upon the side of the Papacy, the Emperor Charles the Fifth threw the weight of the Spanish monarchy, and to enforce the Papal authority he attacked the German princes by force of arms. The result was a great revolt from the Roman Catholic Church, which spread all over northern Germany, a large portion of Switzerland, the lowlands of the Rhine, and England, and which included a numerous and very influential element among the French people. These countries, with the exception of France, have remained Protestant to the present day; and the great expansion of the English people in America and the East has established Protestantism in all parts of the world.
Effects of the Reformation in the Roman Catholic Church.—The reform movement, which lasted through the century, brought about a great improvement in the Roman Catholic Church. Many, who remained devoted to Roman Catholic orthodoxy, were zealous for administrative reform. A great assembly of Churchmen, the Council of Trent, for years devoted itself to legislation to correct abuses. The Inquisition was revived and put into force against Protestants, especially in the dominions of Spain, and the religious orders were reformed and stimulated to new sacrifices and great undertakings.
But greater, perhaps, than any of these agencies in re-establishing [123]the power of the Pope and reviving the life of the Roman Catholic Church was the organization of a new order, the “Society of Jesus.” The founder was a Spaniard, Ignatius Loyola, The Jesuits devoted themselves especially to education and missionary activity. Their schools soon covered Europe, while their mission stations were to be found in both North and South America, India, the East Indies, China, and Japan.
The Spanish Missionary.—The Roman Catholic Church, having lost a large part of Europe, thus strove to make up the loss by gaining converts in heathen lands. Spain, being the power most rapidly advancing her conquests abroad, was the source of the most tireless missionary effort. From the time of Columbus, every fleet that sailed to gain plunder and lands for the Spanish kingdom carried bands of friars and churchmen to convert to Christianity the heathen peoples whom the sword of the soldier should reduce to obedience.
“The Laws of the Indies” gave special power and prominence to the priest. In these early days of Spain’s colonial empire many priests were men of piety, learning, and unselfish devotion. Their efforts softened somewhat the violence and brutality that often marred the Spanish treatment of the native, and they became the civilizing agents among the peoples whom the Spanish soldiers had conquered.
In Paraguay, California, and the Philippines the power and importance of the Spanish missionary outweighed that of the soldier or governor in the settlement of those countries and the control of the native inhabitants. Churchmen, full of the missionary spirit, pressed upon the king the duties of the crown in advancing the cross, and more than one country was opened to Spanish settlement through the enthusiasm of the priest.
q86fqlfqopiw9nyz607eszhuhr20p4i
99930
99929
2024-11-11T02:25:35Z
Glorious Engine
9499
99930
wikitext
text/x-wiki
<center>'''Bab VI'''</center>
<center>'''Prajurit Spanyol dan Misionaris Spanyol'''</center>
Sejarah Filipina sebagai Bagian dari Sejarah Koloni Spanyol.—Kami telah melihat bagaimana Filipina ditemukan oleh Magellan dalam pencariannya untuk Kepulauan Rempah-rempah. Brilian dan romantis sebagaimana kisah perjalanan tersebut, ini tak membawa penerimaan langsung untuk Spanyol. Portugal masih menikmati perdagangan Timur dan nyaris separuh abad menaungi sebelum Spanyol menghimpun pemukiman di kepulauan tersebut. Namun jika pada suatu waktu ia merangsek Timur Jauh, Spanyol dari Semenanjung menghimpun dirinya dengan nyaris tenaga tak terbatas dan pencurahan dalam penaklukan material dan spiritual Amerika. Seluruh pengabdian terbesar prajurit Spanyol dan misionaris Spanyol telah diamankan dalam lima puluh tahun dari masa kala Columbus melihat Hindia Barat.
Dalam rangka memahami sejarah Filipina, kami tak harus melupakan bahwa kepulauan tersebut membentuk bagian dari kekaisaran kolonial besar dan di bawah pemerintahan yang sama; bahwa selama lebih dari dua abad, Filipina dicapai melalui Meksiko dan pada keadaan tertentu diperintah oleh Meksiko; bahwa gubernur, hakim dan prajurit yang sama memegang jabatan di kedua hemisfer tersebut, melitnas dari Amerika ke Filipina dan dipromosikan dari Kepulauan tersebut untuk jabatan resmi yang lebih tinggi di Meksiko dan Peru. Sehingga untuk memahami kekuasaan Spanyol di Filipina, kami harus mengkaji pergerakan pemerintahan besar dan badan hukum besar yang berkembang pada pemerintahan Hindia.
Karakter Penjelajah Spanyol.—Penaklukan mereka sendiri banyak terdampak melalui usaha dan kekayaan orang-orangs wasta; namun orang-orang yang memegang jabatan dari takhta Spanyol, tindakan mereka tunduk pada kendali kerajaan yang ketat, dan sebagian besar laba dan hasil dari penjelajahan mereka dibayarkan kepada perbendaharaan kerajaan. Setelah beberapa penakluk, mahkota menyematkan gelar kebanggaan “adelantado.” Bangsawan Spanyol mencurahkan diri mereka sendiri dalam pemahaman berbahaya tersebut dengan keberanian dan penentuan pasti yang lahir dari perjuangan panjang mereka dengan Moor. Terlepas dari keadaan pencobaan jiwa dari penaklukan Barat yang mengembangkan banyak rintangan, meskipun sejumlah semangat brilian mereka,, sampai posisi pasti dan kekuatan; namun jabatan kewalirajaan dan gubernur disandang untuk menggelari orang-orang kesayangan raja.
Audiencia Kerajaan.—Pemerintahan Spanyol paling awal, dalam rangka melindungi otoritasnya sendiri, mendapatinya dibutuhkan untuk meneruskan ambisi dan penakluk petualang oleh penguasa dalam hubungan dekat denagn ketergantungan mutlak pada kehendak kerajaan. Sehingga di Meksiko, Cortes sang penakluk dicopot dan digantikan oleh wali raja Mendoza, yang melakukan penaklukan terhadap bekas koloni Spanyol besar Spanyol Baru, yang sampai saat ini merupakan peristiwa paling sukses dari seluruh negara yang ditanam oleh Spanyol di Amerika.
Untuk membatasi kekuatan gubernur dan wakil raja, serta dintakan pemerintahan tertinggi untuk penetapan tindakan dan pertanyaan hukum, Spanyol menciptakan “Audiencia Kerajaan.” Ini adalah badan golongan bangsawan dan melek hukum, dikirim dari Spanyol uintuk membentuk pemerintahan kolonial di setiap negara; namun kekuatan mereka tak hanya yudisial; mereka juga bersifat administratif. Dalam ketiadaan gubernur, mereka memegang tugas-tugasnya.
Perlakuan Penduduk Asli oleh Spanyol.—Dalam perlakuan terhadap penduduk asli, yang wilayahnya ditaklukan olehnya, raja Spanyol mengupayakan tiga hal,—pertama, untuk mengamankan kolonis dan mahkota pergerakan buruhnya, kedua, untuk memindahkan Indian ke agama Kristen sebagaimana yang diutamakan oleh Gereja Katolik Roma, dan ketiga, untuk melindungi mereka dari kekejaman dan ketidakperikemanusiaan. Edik demi edik, hukum demi hukum, dikeluarkan dari takhta Spanyol dengan akhir pandangan tersebut. Kala mereka berdiri pada buku-buku hukum kolonial terbesar, Recopilacion de Leyes de las Indias, mereka menyimpan kesensitivan untuk kebutuhan Indian dan apresiasi bahaya yang ia hadapi; namun dalam praktek sebenarnya, tujuan bermanfaat tersebut kebanyakan tak berguna.
Keperluan pertama dan ketiga Spanyol dalam perlakuannya terhadap penduduk asli menghimpun ketidakpastian. Sejarah telah menunjukkan bahwa kebebasan dan pencerahan tak dapat diambil dari sebuah ras dengan satu tanagn dan perlindungan yang memberikannya dengan tangan lainnya. Ssleuruh kelas dari pemerintah kolonial Spanyol menyelaraskan kekayaan. Kebanggaan mengisi mereka semua, dan merupakan mata air utama darissetiap penemuan dan setiap ketetapan. Raja menginginkan pendapatan untuk perbendaharaannya; bangsawan dan prajurit, ditugaskan pada keperluan pribadi mereka; frater, diperkaya untuk ordonya; uskup, dikuatkan untuk gerejanya. Seluruh kekayaan tersebut datang dari penghasilan penduduk asli di tanah yang dikuasai penakluk Spanyol; dan sementara motif bangsawan mungkin tak pernah absen dan pada waktu tertentu selaras, sehingga pad autamanya penduduk asli AMerika dan Filipina menjadi terdera di bawah tangan dan kekuasaan Spanyol.
“Encomendero.”—Sistem pengendalian kehidupan Spanyol dan pengerjaan Indian berdasarkan pada keberadaan tertentu pada sistem feodal, masih ada di Semenanjung pada waktu penaklukan kolonialnya. Para kapten dan prajurit serta imam dari penaklukan suksesnya menugaskan mereka untuk pertanahan besar atau lahan berbuah dengan penduduk asli mereka, yang merek aurus dan kuasai untuk laba mereka sendiri. Lahan semacam itu disebut “repartimientos” pertama. Namun kemudian menjadi penerapan, di Amerika, untuk menarik sejumlah ebsar Indian untuk penugasan orang Spanyol, yang menaungi mereka dengan kekuasaan majikan dan yang menikmati laba ketenagakerjaaan mereka. Sebagai balasannya, ia diperintahkan untuk memindahkan agama orang-orang Indian dan perintah agama mereka. Pemberian Indian semacam itu disebut “encomienda.” “Encomendero” bukanlah tuan mutlak dari kehidupan dan harta benda Indian, untuk hukum kerjasama yang dinaungi untuk perlindungan Indian. Sehingga, pemberian subyek tanpa tanah yang ditinggali oleh mereka membuat kemungkinan pemindahan mereka dan penjualan dari satu encomendero ke lainnya, dan dalam cara ini, ribuan Indian Amerika secara terapan dijadikan budak, dan dipaksa menjadi buruh dalam pertambangan.
Sebagaimana yang kami lihat, seluruh sistem tersebut diserang oleh imam Dominikan, Las Casas, seorang sosok bangsawan sebenarnya dalam sejarah kolonisasi Amerika, dan berbagai upaay dibuat di Amerika untuk membatasi encomienda dan untuk mencegah pengenalan mereka ke Meksiko dan Peru; namun kekuatan besar encomendero di America, bersama dengan pengaruh Gereja, yang memegang encomienda secara luas, telah terdorong untuk meluaskan kelembagaan tersebut, bahkan melawan tindakan bersemangat Las Casas. Peniadaannya di Meksiko didekritkan pada 1544, namun “para komisioner mewakili munisipalitas Meksiko dan ordo-ordo keagamaan dikirim ke Spanyol untuk membujuk raja untuk menariks etidaknya bagian-bagian ‘Hukum Baru’ yang emngancam kepentingan pemukim. Lewat dekrit kerajaan 20 Oktober 1545, penerapan yang diinginkan diterima. Tindakan tersebut mengisi pemukim Spanyol dengan kegembiraan dan Indian yang diperbudak dengan perbaikan.”
Ini menjadi kelembagaan yang awalnya didirikan sebagai bagian sistem kolonial dan didatangkan dengan penakluk ke Filipina.
Pembatasan pada Kolonisasi dan Perdagangan.—Untuk kepengurusan setiap urusan kolonial, raja menciptakan badan besar, atau biro, yang dikenal sebagai “Dewan Hindia,” yang duduk di Madrid dan para anggotanya adalah para pejabat tertinggi di Spanyol. Pemerintah Spanyol memegang penaungan terdekat atas seluruh persoalan kolonial, dan kolonisasi tak pernah bebas. Seluruh orang, gudang, dan kapal, yang didatangkan dari Spanyol ke wilayah kolonialnya, ditujukan untuk melintas melewati Sevilla, dan pelabuhan itu sendiri.
Kota kuno kaya, yang terletak di sungai Guadalquivir, Spanyol barat daya, adalah gerbang masuk menuju Kekaisaran Spanyol. Dari pelabuhan tersebut didatangkan prajurit penyurat, frater berjubah, bangsawan petualang, dan wanita-wanita Spanyol pemberani dan mentereng, yang menyertai suami mereka ke wilayah yang sangat jauh sepanjang laut. Dan kemabli ke pelabuhan membawa emas Peru, perak Meksiko, dan sutra dan brodiran Tiongkok, yang diangkut melalui Filipina.
Harus diamati bahwa seluruh perhubungan antara Spanyol dan koloni-koloninya sangat dikendalikan oleh pemerintah. Spanyol berniat untuk menciptakan dan menghimpun monopoli khsusu dari perdagangan kolonialnya. Untuk memberlakukan dan mengarahkan monopolinya, di Sevilla, terdapat Dewan Perdagangan, atau “Casa de Contratacion.” Tak ada orang yang dapat berlayar dari Spanyol ke wilayah kolonial tanpa ijin dan melewati pendaftaran pemerintah. Tak ada orang yang dapat mengirim barang ke luar atau mengimpornya kecuali melalui Dewan Perdagangan dan kala pembayaran pengiriman luar biasa. Perdagangan secara mutlak dilarang untuk orang-orang Spanyol tertentu. Dan melalui bentengnya dan armadanya, Spanyol mengisolasi koloninya dari jamahan Portugis, Belanda, atau Inggris, yang kapal-kapalnya, yang diisi awak selain orang-orang Spanyol sendiri, merupakan permulaan untuk mengarungi laut dalam mencari kekayaan dan penghasilan dari penaklukan dan perdagangan asing.
Penjelasan Kebijakan Kolonial Spanyol.—Spanyol mendorong koloni-koloni asing, mula-mula, untuk mengumpulkan kekayaan terakumulasi yang dapat diambil dan dibawa sesekali, dan, kedua, untuk pemasukan yang dapat didapatkan melalui tenaga kerja penduduk wilayah yang dikuasai olehnya. Dalam melingkupi pemerintahan dan kepengurusan koloni-koloninya, ia utamanya mengupayakan pencerahan politik dan kekayaan entah lewat kolonis Spanyol maupun ras penduduk asli, namun kejayaan, kekuaran dan perlindungan mahkota. Aturan komersial dan perdagangan diberlakukan, bukan untuk mengembangkan sumber daya dan meningkatkan kemakmuran koloni, namun untuk menambah kekayaan Semenanjung. Sehingga, keperluan Spanyol jauh dari kesendirian sepenuhnya. Dengan tindakan dan kesuksesan yang dibawa olehnya terhadap pemindahan agama penduduk asli, yang dinaunginya, dan di dalamnya menunjukkan kepentingan kemanusiaan selaras dengan Belanda dan Inggris, yang bersaing dengannya dalam kekaisaran kolonial.
Gagasan kolonial di bawah kebijakan Spanyol dinaungi dari waktu ke waktu. Sepanjang berabad-abad kesuksesannya, kebijaksanaan dan hati nurani masyarakat pada persoalan tersebut terhimpun tanpa batas. Bangsa-bangsa tak lagi melakukan penaklukan untuk mengeksploitasi mereka, namun wacana publik di dunia menawarkan bahwa kesejahteraan subyek kolonial diupayakan dan bahwa ia dilindungi dari penanganan resmi. Terdapat kemajuan besar sampai itu dibuat. Ini dapat dikatakan bahwa dunia mengakui bahwa orang terkuat harsu membantu orang yang lebih lemah tanpa bantuan pemberian material, namun ini merupakan pengarahan yang dalam perasaan paling tercerahkan adalah kemajuan. Setiap penanganan ras kulit putih, yang memiliki tujuan semacam itu dalam pandangannya, adalah eksperimen yang menguntungkan dari kepentingan paling menonjol dan simpati paling mengeratkan.
Hasil Pelayaran Magellan dan El Cano.—Pemikiran petualang Spanyol tersebut sangat terpukau oleh hasil pelayaran Sebastian del Cano. Ini adalah kesempatan untuk perdagangan kaya dan laba besar. Sejumlah penanaman dilayangkan ke hadapan raja, salah satunya untuk pembangunan armada dagang India dan pelayaran tahunan ke Maluku untuk mengumpulkan panen rempah-rempah yang besar.
Portugal memprotes melawan pergerakan tersebut sampai pertanyaan atas klaimnya terhadap Maluku, di bawah pembagian Paus Aleksander, dapat diselesaikan. Lintang pasti dari barat Ternate dari lintang 370 league di luar Kepulauan Verde tidak dikenal. Spanyol berpendapat bahwa ini kurang dari 180 derajat, dan sehingga, di samping penemuan Portugal sebelumnya, masuk pada meeka. Seorang pilot, Medina, contohnya, menjelaskan kepada Charles V bahwa dari meridian 370 league di selatan San Anton (pulau paling barat dari kepulauan Verde) sampai kota Meksiko adalah 59 derajat, dari Meksiko ke Navidad, 9 derajat, dan dari pelabuhan tersebut ke Cebu, 100 derajat, total hanya 168 derajat, meninggalkan margin 12 derajat; sehingga oleh keputusan Paus, Hindia, Maluku, Kalimantan, Gilolo, dan Filipina adalah milik Spanyol. Dewan utusan dan kosmografer ebsar diadakan di Badajoz pada 1524, namun tanpa mencapai kesepakatan. Spanyol mengumumkan resolusinya untuk menduduki Maluku, dan Portugal mengancam mati petualang Spanyol yang ditemukan disana.
Ekspedisi Pertama ke Filipina.—Spanyol bertindak langsung pada keputusannya, dan pada 1525 mengerahkan ekspedisi di bawah naungan Jofre de Loaisa untuk mengumpulkan buah penemuan Magellan. Kapten dari satu kapal adalah Sebastian del Cano, yang merampungkan pelayaran Magellan. Di kapalnya, Andres de Urdaneta berlayar, yang kemudian menajdi frater Augustinian dan mendampingi ekspedisi Legaspi yang akhirnya berdampak pada pemukiman Filipina. Bukan tanpa kerja keras besar dan kehilangan yang dialami armada melintasi Selat Magellan dan memasuki Samudra Pasifik. Di tengah samudra, Loaisa meninggal, dan empat hari kemudian digantikan oleh Sebastian del Cano. Mengikuti rute yang mirip dengan rute Magellan, armada tersebut mula-mula mencapai Kepulauan Ladrone dan kemudian pantai Mindanao. Dari sana, mereka berniat untuk berlayar ke Cebu, namun muson timur laut kuat mengarahkan mereka ke selatan Maluku, dan mereka mendarat di Tidor pada hari terakhir dari tahun 1526.
Kegagalan Penjelajahan.—Portugis berada pada kesempatan bertarung untuk mengurangi raja asli dari kepulauan tersebut untuk penundukan. Mereka dianggap oleh Spanyol sebagai musuh, dan setiap pihak Eropa tak lama memutuskan untuk bertempur dan membuat penduduk asli melawan satu sama lain. Kondisi Spanyol menjadi sangat tertekan, dan menandakan pengorbanan nyawa yang dialami pada penaklukan abad keenam belas. Kapal-kapal mereka menjadi menghadapi badai kala tak lagi mencapai lautan. Dua perwira, yang berhasil mengikuti komando Loaisa dan El Cano, nampaknya gugur. Dari 450 orang yang berlayar dari Spanyol, hanya 120 yang kini selamat. Di bawah kepemimpinan Hernando de la Torre, mereka membangun benteng di pulau Tidor, tak dapat bergerak lebih jauh atau menarik diri, dan menunggu harapan untuk bala bantuan dari Spanyol.
Pemulihan datang, bukan dari Semenanjung, namun dari Meksiko. Di bawah perintah raja Spanyol, pada Oktober, 1527, Cortes menegrahkan ekspedisi kecil dari Meksiko dalam penugasan D. Alvaro de Saavedra. Tersapu cepatu oleh perdagangan khatulistiwa, dalam beberapa bulan, Saavedra mengerahkan Carolines, yang bergerak ke Mindanao, dan menghampiri para penyintas di Tidor. Sebanyak dua kali, mereka berupaya kembali ke Spanyol baru, namun angin perdagangan kuat berhembus tanpa henti ke utara dan selatan pada setiap sisi khatulistiwa untuk jarak lebih dari seribu dua ratus mil, dan lintang utara tenang dan angin barat tak diketahui.
Twice Saavedra beat his way eastward among the strange islands of Papua and Melanesia, only to be at last driven back upon Tidor and there to die. The survivors were forced to abandon the Moluccas. By surrendering to the Portuguese they were assisted to return [117]to Europe by way of Malacca, Ceylon, and Africa, and they arrived at Lisbon in 1536, the survivors of Loaisa’s expedition, having been gone from Spain eleven years.
The efforts of the Spanish crown to obtain possession of the Spice Islands, the Celebes and Moluccas, with their coveted products of nutmeg, cinnamon, and pepper, were for the time being ended. By the Treaty of Zaragoza (1529) the Emperor, Charles V., for the sum of three hundred and fifty thousand gold ducats, renounced all claim to the Moluccas. For thirteen years the provisions of this treaty were respected by the Spaniards, and then another attempt was made to obtain a foothold in the East Indies.
The Second Expedition to the Philippines.—The facts that disaster had overwhelmed so many, that two oceans must be crossed, and that no sailing-route from Asia back to America was known, did not deter the Spaniards from their perilous conquests; and in 1542 another expedition sailed from Mexico, under command of Lopez de Villalobos, to explore the Philippines and if possible to reach China.
Across the Pacific they made a safe and pleasant voyage. In the warm waters of the Pacific they sailed among those wonderful coral atolls, rings of low shore, decked with palms, grouped in beautiful archipelagoes, whose appearance has never failed to delight the navigator, and whose composition is one of the most interesting subjects known to students of the earth’s structure and history. Some of these coral islands Villalobos took possession of in the name of Spain. These were perhaps the Pelew Islands or the Carolines.
At last Villalobos reached the east coast of Mindanao, but after some deaths and sickness they sailed again and [118]were carried south by the monsoon to the little island of Sarangani, south of the southern peninsula of Mindanao. The natives were hostile, but the Spaniards drove them from their stronghold and made some captures of musk, amber, oil, and gold-dust. In need of provisions, they planted the maize, or Indian corn, the wonderful cereal of America, which yields so bounteously, and so soon after planting. Food was greatly needed by the Spaniards and was very difficult to obtain.
The Naming of the Islands.—Villalobos equipped a small vessel and sent it northward to try to reach Cebu. This vessel reached the coast of Samar. Villalobos gave to the island the name of Filipina, in honor of the Spanish Infante, or heir apparent, Philip, who was soon to succeed his father Charles V. as King Philip the Second of Spain. Later in his correspondence with the Portuguese Villalobos speaks of the archipelago as Las Filipinas. Although for many years the title of the Islas del Poniente continued in use, Villalobos’ name of Filipinas gradually gained place and has lived.
The End of the Expedition.—While on Sarangani demands were made by the Portuguese, who claimed that Mindanao belonged with the Celebes, that the Spaniards should leave. Driven from Mindanao by lack of food and hostility of the natives, Villalobos was blown southward by storms to Gilolo. Here, after long negotiations, the Portuguese compelled him to surrender. The survivors of the expedition dispersed, some remaining in the Indies, and some eventually reaching Spain; but Villalobos, overwhelmed by discouragement, died on the island of Amboyna. The priest who ministered to him in his last hours was the famous Jesuit missionary to the Indies, Saint Francis Xavier.[119]
Twenty-three years were to elapse after the sailing of Villalobos’ fleet before another Spanish expedition should reach the Philippines. The year 1565 dates the permanent occupation of the archipelago by the Spanish.
Increase in Political Power of the Church.—Under Philip the Second, the champion of ecclesiasticism, the Spanish crown cemented the union of the monarchy with the church and devoted the resources of the empire, not only to colonial acquisition, but to combating the Protestant revolution on the one hand and heathenism on the other. The Spanish king effected so close a union of the church and state in Spain, that from this time on churchmen rose higher and higher in the Spanish councils, and profoundly influenced the policy and fate of the nation. The policy of Philip the Second, however, brought upon Spain the revolt of the Dutch Lowlands and the wars with England, and her struggle with these two nations drained her resources both on land and sea, and occasioned a physical and moral decline. But while Spain was constantly losing power and prestige in Europe, the king was extending his colonial domain, lending royal aid to the ambitious adventurer and to the ardent missionary friar. Spain’s object being to christianize as well as to conquer, the missionary became a very important figure in the history of every colonial enterprise, and these great orders to whom missions were intrusted thus became the central institutions in the history of the Philippines.
The Rise of Monasticism.—Monasticism was introduced into Europe from the East at the very commencement of the Middle Ages. The fundamental idea of the old monasticism was retirement from human society in the belief that the world was bad and could not be bettered, and [120]that men could lead holier lives and better please God by forsaking secular employments and family relations, and devoting all their attention to purifying their characters. The first monastic order in Europe were the Benedictines, organized in the seventh century, whose rule and organization were the pattern for those that followed.
The clergy of the church were divided thus into two groups,—first, the parish priests, or ministers, who lived among the people over whom they exercised the care of souls, and who, because they were of the people themselves and lived their lives in association with the community, were known as the “secular clergy,” and second, the monks, or “regular clergy,” were so called because they lived under the “rule” of their order.
In the early part of the thirteenth century monasticism, which had waned somewhat during the preceding two centuries, received a new impetus and inspiration from the organization of new orders known as brethren or “Friars.” The idea underlying their organization was noble, and above that of the old monasticism; for it was the idea of service, of ministry both to the hearts and bodies of depressed and suffering men.
The Dominicans.—The Order of Dominicans was organized by Saint Dominic, an Italian, about 1215. The primary object of its members was to defend the doctrines of the Church and, by teaching and preaching, destroy the doubts and protests which in the thirteenth century were beginning to disturb the claims of the Catholic Church and the Papacy. The Dominican friars did not live in communities, but traveled about, humbly clad, preaching in the villages and towns, and seeking to expose and punish the heretic. The mediæval universities, through their study of philosophy and the Roman law, [121]were producing a class of men disposed to hold opinions contrary to the teachings of the Church. The Dominicans realized the importance of these great centers of instruction and entered them as teachers and masters, and by the beginning of the fifteenth century had made them strongholds of conservatism and orthodoxy.
The Franciscans.—A few years after this organization, the Order of Franciscans was founded by Saint Francis of Assisi, of Spain. The aims of this order were not only to preach and administer the sacraments, but to nurse the sick, provide for the destitute, and alleviate the dreadful misery which affected whole classes in the Middle Ages. They took vows of absolute poverty, and so humble was the garb prescribed by their rule that they went barefooted from place to place.
The Augustinian Order was founded by Pope Alexander IV., in 1265, and still other orders came later.
The Degeneration of the Orders.—Without doubt the early ministrations of these friars were productive of great good both on the religious and humanitarian sides. But, as the orders became wealthy, the friars lost their spirituality and their lives grew vicious. By the beginning of the sixteenth century the administration of the Church throughout Europe had become so corrupt, the economic burden of the religious orders so great, and religious teaching and belief so material, that the best and noblest minds in all countries were agitating for reform.
The Reformation.—In addition to changes in church administration, many Christians were demanding a greater freedom of religious thinking and radical changes in the Church doctrine which had taken form in the Middle Ages. Thus, while all the best minds in the Church were united in seeking a reformation of character and of administration, [122]great differences arose between them as to the possibility of change in Church doctrines. These differences accordingly separated them into two parties, the Papacy adhering strongly to the doctrine as it was then accepted, while various leaders in the north of Europe, including Martin Luther in Germany, Swingli in Switzerland, and John Calvin in France and Geneva, broke with the authority of the Pope and declared for a liberation of the individual conscience.
Upon the side of the Papacy, the Emperor Charles the Fifth threw the weight of the Spanish monarchy, and to enforce the Papal authority he attacked the German princes by force of arms. The result was a great revolt from the Roman Catholic Church, which spread all over northern Germany, a large portion of Switzerland, the lowlands of the Rhine, and England, and which included a numerous and very influential element among the French people. These countries, with the exception of France, have remained Protestant to the present day; and the great expansion of the English people in America and the East has established Protestantism in all parts of the world.
Effects of the Reformation in the Roman Catholic Church.—The reform movement, which lasted through the century, brought about a great improvement in the Roman Catholic Church. Many, who remained devoted to Roman Catholic orthodoxy, were zealous for administrative reform. A great assembly of Churchmen, the Council of Trent, for years devoted itself to legislation to correct abuses. The Inquisition was revived and put into force against Protestants, especially in the dominions of Spain, and the religious orders were reformed and stimulated to new sacrifices and great undertakings.
But greater, perhaps, than any of these agencies in re-establishing [123]the power of the Pope and reviving the life of the Roman Catholic Church was the organization of a new order, the “Society of Jesus.” The founder was a Spaniard, Ignatius Loyola, The Jesuits devoted themselves especially to education and missionary activity. Their schools soon covered Europe, while their mission stations were to be found in both North and South America, India, the East Indies, China, and Japan.
The Spanish Missionary.—The Roman Catholic Church, having lost a large part of Europe, thus strove to make up the loss by gaining converts in heathen lands. Spain, being the power most rapidly advancing her conquests abroad, was the source of the most tireless missionary effort. From the time of Columbus, every fleet that sailed to gain plunder and lands for the Spanish kingdom carried bands of friars and churchmen to convert to Christianity the heathen peoples whom the sword of the soldier should reduce to obedience.
“The Laws of the Indies” gave special power and prominence to the priest. In these early days of Spain’s colonial empire many priests were men of piety, learning, and unselfish devotion. Their efforts softened somewhat the violence and brutality that often marred the Spanish treatment of the native, and they became the civilizing agents among the peoples whom the Spanish soldiers had conquered.
In Paraguay, California, and the Philippines the power and importance of the Spanish missionary outweighed that of the soldier or governor in the settlement of those countries and the control of the native inhabitants. Churchmen, full of the missionary spirit, pressed upon the king the duties of the crown in advancing the cross, and more than one country was opened to Spanish settlement through the enthusiasm of the priest.
qrk8lur6rqho6safy6egf3jrvt50wok
99931
99930
2024-11-11T08:34:40Z
Glorious Engine
9499
99931
wikitext
text/x-wiki
<center>'''Bab VI'''</center>
<center>'''Prajurit Spanyol dan Misionaris Spanyol'''</center>
Sejarah Filipina sebagai Bagian dari Sejarah Koloni Spanyol.—Kami telah melihat bagaimana Filipina ditemukan oleh Magellan dalam pencariannya untuk Kepulauan Rempah-rempah. Brilian dan romantis sebagaimana kisah perjalanan tersebut, ini tak membawa penerimaan langsung untuk Spanyol. Portugal masih menikmati perdagangan Timur dan nyaris separuh abad menaungi sebelum Spanyol menghimpun pemukiman di kepulauan tersebut. Namun jika pada suatu waktu ia merangsek Timur Jauh, Spanyol dari Semenanjung menghimpun dirinya dengan nyaris tenaga tak terbatas dan pencurahan dalam penaklukan material dan spiritual Amerika. Seluruh pengabdian terbesar prajurit Spanyol dan misionaris Spanyol telah diamankan dalam lima puluh tahun dari masa kala Columbus melihat Hindia Barat.
Dalam rangka memahami sejarah Filipina, kami tak harus melupakan bahwa kepulauan tersebut membentuk bagian dari kekaisaran kolonial besar dan di bawah pemerintahan yang sama; bahwa selama lebih dari dua abad, Filipina dicapai melalui Meksiko dan pada keadaan tertentu diperintah oleh Meksiko; bahwa gubernur, hakim dan prajurit yang sama memegang jabatan di kedua hemisfer tersebut, melitnas dari Amerika ke Filipina dan dipromosikan dari Kepulauan tersebut untuk jabatan resmi yang lebih tinggi di Meksiko dan Peru. Sehingga untuk memahami kekuasaan Spanyol di Filipina, kami harus mengkaji pergerakan pemerintahan besar dan badan hukum besar yang berkembang pada pemerintahan Hindia.
Karakter Penjelajah Spanyol.—Penaklukan mereka sendiri banyak terdampak melalui usaha dan kekayaan orang-orangs wasta; namun orang-orang yang memegang jabatan dari takhta Spanyol, tindakan mereka tunduk pada kendali kerajaan yang ketat, dan sebagian besar laba dan hasil dari penjelajahan mereka dibayarkan kepada perbendaharaan kerajaan. Setelah beberapa penakluk, mahkota menyematkan gelar kebanggaan “adelantado.” Bangsawan Spanyol mencurahkan diri mereka sendiri dalam pemahaman berbahaya tersebut dengan keberanian dan penentuan pasti yang lahir dari perjuangan panjang mereka dengan Moor. Terlepas dari keadaan pencobaan jiwa dari penaklukan Barat yang mengembangkan banyak rintangan, meskipun sejumlah semangat brilian mereka,, sampai posisi pasti dan kekuatan; namun jabatan kewalirajaan dan gubernur disandang untuk menggelari orang-orang kesayangan raja.
Audiencia Kerajaan.—Pemerintahan Spanyol paling awal, dalam rangka melindungi otoritasnya sendiri, mendapatinya dibutuhkan untuk meneruskan ambisi dan penakluk petualang oleh penguasa dalam hubungan dekat denagn ketergantungan mutlak pada kehendak kerajaan. Sehingga di Meksiko, Cortes sang penakluk dicopot dan digantikan oleh wali raja Mendoza, yang melakukan penaklukan terhadap bekas koloni Spanyol besar Spanyol Baru, yang sampai saat ini merupakan peristiwa paling sukses dari seluruh negara yang ditanam oleh Spanyol di Amerika.
Untuk membatasi kekuatan gubernur dan wakil raja, serta dintakan pemerintahan tertinggi untuk penetapan tindakan dan pertanyaan hukum, Spanyol menciptakan “Audiencia Kerajaan.” Ini adalah badan golongan bangsawan dan melek hukum, dikirim dari Spanyol uintuk membentuk pemerintahan kolonial di setiap negara; namun kekuatan mereka tak hanya yudisial; mereka juga bersifat administratif. Dalam ketiadaan gubernur, mereka memegang tugas-tugasnya.
Perlakuan Penduduk Asli oleh Spanyol.—Dalam perlakuan terhadap penduduk asli, yang wilayahnya ditaklukan olehnya, raja Spanyol mengupayakan tiga hal,—pertama, untuk mengamankan kolonis dan mahkota pergerakan buruhnya, kedua, untuk memindahkan Indian ke agama Kristen sebagaimana yang diutamakan oleh Gereja Katolik Roma, dan ketiga, untuk melindungi mereka dari kekejaman dan ketidakperikemanusiaan. Edik demi edik, hukum demi hukum, dikeluarkan dari takhta Spanyol dengan akhir pandangan tersebut. Kala mereka berdiri pada buku-buku hukum kolonial terbesar, Recopilacion de Leyes de las Indias, mereka menyimpan kesensitivan untuk kebutuhan Indian dan apresiasi bahaya yang ia hadapi; namun dalam praktek sebenarnya, tujuan bermanfaat tersebut kebanyakan tak berguna.
Keperluan pertama dan ketiga Spanyol dalam perlakuannya terhadap penduduk asli menghimpun ketidakpastian. Sejarah telah menunjukkan bahwa kebebasan dan pencerahan tak dapat diambil dari sebuah ras dengan satu tanagn dan perlindungan yang memberikannya dengan tangan lainnya. Ssleuruh kelas dari pemerintah kolonial Spanyol menyelaraskan kekayaan. Kebanggaan mengisi mereka semua, dan merupakan mata air utama darissetiap penemuan dan setiap ketetapan. Raja menginginkan pendapatan untuk perbendaharaannya; bangsawan dan prajurit, ditugaskan pada keperluan pribadi mereka; frater, diperkaya untuk ordonya; uskup, dikuatkan untuk gerejanya. Seluruh kekayaan tersebut datang dari penghasilan penduduk asli di tanah yang dikuasai penakluk Spanyol; dan sementara motif bangsawan mungkin tak pernah absen dan pada waktu tertentu selaras, sehingga pad autamanya penduduk asli AMerika dan Filipina menjadi terdera di bawah tangan dan kekuasaan Spanyol.
“Encomendero.”—Sistem pengendalian kehidupan Spanyol dan pengerjaan Indian berdasarkan pada keberadaan tertentu pada sistem feodal, masih ada di Semenanjung pada waktu penaklukan kolonialnya. Para kapten dan prajurit serta imam dari penaklukan suksesnya menugaskan mereka untuk pertanahan besar atau lahan berbuah dengan penduduk asli mereka, yang merek aurus dan kuasai untuk laba mereka sendiri. Lahan semacam itu disebut “repartimientos” pertama. Namun kemudian menjadi penerapan, di Amerika, untuk menarik sejumlah ebsar Indian untuk penugasan orang Spanyol, yang menaungi mereka dengan kekuasaan majikan dan yang menikmati laba ketenagakerjaaan mereka. Sebagai balasannya, ia diperintahkan untuk memindahkan agama orang-orang Indian dan perintah agama mereka. Pemberian Indian semacam itu disebut “encomienda.” “Encomendero” bukanlah tuan mutlak dari kehidupan dan harta benda Indian, untuk hukum kerjasama yang dinaungi untuk perlindungan Indian. Sehingga, pemberian subyek tanpa tanah yang ditinggali oleh mereka membuat kemungkinan pemindahan mereka dan penjualan dari satu encomendero ke lainnya, dan dalam cara ini, ribuan Indian Amerika secara terapan dijadikan budak, dan dipaksa menjadi buruh dalam pertambangan.
Sebagaimana yang kami lihat, seluruh sistem tersebut diserang oleh imam Dominikan, Las Casas, seorang sosok bangsawan sebenarnya dalam sejarah kolonisasi Amerika, dan berbagai upaay dibuat di Amerika untuk membatasi encomienda dan untuk mencegah pengenalan mereka ke Meksiko dan Peru; namun kekuatan besar encomendero di America, bersama dengan pengaruh Gereja, yang memegang encomienda secara luas, telah terdorong untuk meluaskan kelembagaan tersebut, bahkan melawan tindakan bersemangat Las Casas. Peniadaannya di Meksiko didekritkan pada 1544, namun “para komisioner mewakili munisipalitas Meksiko dan ordo-ordo keagamaan dikirim ke Spanyol untuk membujuk raja untuk menariks etidaknya bagian-bagian ‘Hukum Baru’ yang emngancam kepentingan pemukim. Lewat dekrit kerajaan 20 Oktober 1545, penerapan yang diinginkan diterima. Tindakan tersebut mengisi pemukim Spanyol dengan kegembiraan dan Indian yang diperbudak dengan perbaikan.”
Ini menjadi kelembagaan yang awalnya didirikan sebagai bagian sistem kolonial dan didatangkan dengan penakluk ke Filipina.
Pembatasan pada Kolonisasi dan Perdagangan.—Untuk kepengurusan setiap urusan kolonial, raja menciptakan badan besar, atau biro, yang dikenal sebagai “Dewan Hindia,” yang duduk di Madrid dan para anggotanya adalah para pejabat tertinggi di Spanyol. Pemerintah Spanyol memegang penaungan terdekat atas seluruh persoalan kolonial, dan kolonisasi tak pernah bebas. Seluruh orang, gudang, dan kapal, yang didatangkan dari Spanyol ke wilayah kolonialnya, ditujukan untuk melintas melewati Sevilla, dan pelabuhan itu sendiri.
Kota kuno kaya, yang terletak di sungai Guadalquivir, Spanyol barat daya, adalah gerbang masuk menuju Kekaisaran Spanyol. Dari pelabuhan tersebut didatangkan prajurit penyurat, frater berjubah, bangsawan petualang, dan wanita-wanita Spanyol pemberani dan mentereng, yang menyertai suami mereka ke wilayah yang sangat jauh sepanjang laut. Dan kemabli ke pelabuhan membawa emas Peru, perak Meksiko, dan sutra dan brodiran Tiongkok, yang diangkut melalui Filipina.
Harus diamati bahwa seluruh perhubungan antara Spanyol dan koloni-koloninya sangat dikendalikan oleh pemerintah. Spanyol berniat untuk menciptakan dan menghimpun monopoli khusus dari perdagangan kolonialnya. Untuk memberlakukan dan mengarahkan monopolinya, di Sevilla, terdapat Dewan Perdagangan, atau “Casa de Contratacion.” Tak ada orang yang dapat berlayar dari Spanyol ke wilayah kolonial tanpa ijin dan melewati pendaftaran pemerintah. Tak ada orang yang dapat mengirim barang ke luar atau mengimpornya kecuali melalui Dewan Perdagangan dan kala pembayaran pengiriman luar biasa. Perdagangan secara mutlak dilarang untuk orang-orang Spanyol tertentu. Dan melalui bentengnya dan armadanya, Spanyol mengisolasi koloninya dari jamahan Portugis, Belanda, atau Inggris, yang kapal-kapalnya, yang diisi awak selain orang-orang Spanyol sendiri, merupakan permulaan untuk mengarungi laut dalam mencari kekayaan dan penghasilan dari penaklukan dan perdagangan asing.
Penjelasan Kebijakan Kolonial Spanyol.—Spanyol mendorong koloni-koloni asing, mula-mula, untuk mengumpulkan kekayaan terakumulasi yang dapat diambil dan dibawa sesekali, dan, kedua, untuk pemasukan yang dapat didapatkan melalui tenaga kerja penduduk wilayah yang dikuasai olehnya. Dalam melingkupi pemerintahan dan kepengurusan koloni-koloninya, ia utamanya mengupayakan pencerahan politik dan kekayaan entah lewat kolonis Spanyol maupun ras penduduk asli, namun kejayaan, kekuaran dan perlindungan mahkota. Aturan komersial dan perdagangan diberlakukan, bukan untuk mengembangkan sumber daya dan meningkatkan kemakmuran koloni, namun untuk menambah kekayaan Semenanjung. Sehingga, keperluan Spanyol jauh dari kesendirian sepenuhnya. Dengan tindakan dan kesuksesan yang dibawa olehnya terhadap pemindahan agama penduduk asli, yang dinaunginya, dan di dalamnya menunjukkan kepentingan kemanusiaan selaras dengan Belanda dan Inggris, yang bersaing dengannya dalam kekaisaran kolonial.
Gagasan kolonial di bawah kebijakan Spanyol dinaungi dari waktu ke waktu. Sepanjang berabad-abad kesuksesannya, kebijaksanaan dan hati nurani masyarakat pada persoalan tersebut terhimpun tanpa batas. Bangsa-bangsa tak lagi melakukan penaklukan untuk mengeksploitasi mereka, namun wacana publik di dunia menawarkan bahwa kesejahteraan subyek kolonial diupayakan dan bahwa ia dilindungi dari penanganan resmi. Terdapat kemajuan besar sampai itu dibuat. Ini dapat dikatakan bahwa dunia mengakui bahwa orang terkuat harsu membantu orang yang lebih lemah tanpa bantuan pemberian material, namun ini merupakan pengarahan yang dalam perasaan paling tercerahkan adalah kemajuan. Setiap penanganan ras kulit putih, yang memiliki tujuan semacam itu dalam pandangannya, adalah eksperimen yang menguntungkan dari kepentingan paling menonjol dan simpati paling mengeratkan.
Hasil Pelayaran Magellan dan El Cano.—Pemikiran petualang Spanyol tersebut sangat terpukau oleh hasil pelayaran Sebastian del Cano. Ini adalah kesempatan untuk perdagangan kaya dan laba besar. Sejumlah penanaman dilayangkan ke hadapan raja, salah satunya untuk pembangunan armada dagang India dan pelayaran tahunan ke Maluku untuk mengumpulkan panen rempah-rempah yang besar.
Portugal memprotes melawan pergerakan tersebut sampai pertanyaan atas klaimnya terhadap Maluku, di bawah pembagian Paus Aleksander, dapat diselesaikan. Lintang pasti dari barat Ternate dari lintang 370 league di luar Kepulauan Verde tidak dikenal. Spanyol berpendapat bahwa ini kurang dari 180 derajat, dan sehingga, di samping penemuan Portugal sebelumnya, masuk pada meeka. Seorang pilot, Medina, contohnya, menjelaskan kepada Charles V bahwa dari meridian 370 league di selatan San Anton (pulau paling barat dari kepulauan Verde) sampai kota Meksiko adalah 59 derajat, dari Meksiko ke Navidad, 9 derajat, dan dari pelabuhan tersebut ke Cebu, 100 derajat, total hanya 168 derajat, meninggalkan margin 12 derajat; sehingga oleh keputusan Paus, Hindia, Maluku, Kalimantan, Gilolo, dan Filipina adalah milik Spanyol. Dewan utusan dan kosmografer ebsar diadakan di Badajoz pada 1524, namun tanpa mencapai kesepakatan. Spanyol mengumumkan resolusinya untuk menduduki Maluku, dan Portugal mengancam mati petualang Spanyol yang ditemukan disana.
Ekspedisi Pertama ke Filipina.—Spanyol bertindak langsung pada keputusannya, dan pada 1525 mengerahkan ekspedisi di bawah naungan Jofre de Loaisa untuk mengumpulkan buah penemuan Magellan. Kapten dari satu kapal adalah Sebastian del Cano, yang merampungkan pelayaran Magellan. Di kapalnya, Andres de Urdaneta berlayar, yang kemudian menajdi frater Augustinian dan mendampingi ekspedisi Legaspi yang akhirnya berdampak pada pemukiman Filipina. Bukan tanpa kerja keras besar dan kehilangan yang dialami armada melintasi Selat Magellan dan memasuki Samudra Pasifik. Di tengah samudra, Loaisa meninggal, dan empat hari kemudian digantikan oleh Sebastian del Cano. Mengikuti rute yang mirip dengan rute Magellan, armada tersebut mula-mula mencapai Kepulauan Ladrone dan kemudian pantai Mindanao. Dari sana, mereka berniat untuk berlayar ke Cebu, namun muson timur laut kuat mengarahkan mereka ke selatan Maluku, dan mereka mendarat di Tidor pada hari terakhir dari tahun 1526.
Kegagalan Penjelajahan.—Portugis berada pada kesempatan bertarung untuk mengurangi raja asli dari kepulauan tersebut untuk penundukan. Mereka dianggap oleh Spanyol sebagai musuh, dan setiap pihak Eropa tak lama memutuskan untuk bertempur dan membuat penduduk asli melawan satu sama lain. Kondisi Spanyol menjadi sangat tertekan, dan menandakan pengorbanan nyawa yang dialami pada penaklukan abad keenam belas. Kapal-kapal mereka menjadi menghadapi badai kala tak lagi mencapai lautan. Dua perwira, yang berhasil mengikuti komando Loaisa dan El Cano, nampaknya gugur. Dari 450 orang yang berlayar dari Spanyol, hanya 120 yang kini selamat. Di bawah kepemimpinan Hernando de la Torre, mereka membangun benteng di pulau Tidor, tak dapat bergerak lebih jauh atau menarik diri, dan menunggu harapan untuk bala bantuan dari Spanyol.
Pemulihan datang, bukan dari Semenanjung, namun dari Meksiko. Di bawah perintah raja Spanyol, pada Oktober, 1527, Cortes menegrahkan ekspedisi kecil dari Meksiko dalam penugasan D. Alvaro de Saavedra. Tersapu cepatu oleh perdagangan khatulistiwa, dalam beberapa bulan, Saavedra mengerahkan Carolines, yang bergerak ke Mindanao, dan menghampiri para penyintas di Tidor. Sebanyak dua kali, mereka berupaya kembali ke Spanyol baru, namun angin perdagangan kuat berhembus tanpa henti ke utara dan selatan pada setiap sisi khatulistiwa untuk jarak lebih dari seribu dua ratus mil, dan lintang utara tenang dan angin barat tak diketahui.
Twice Saavedra beat his way eastward among the strange islands of Papua and Melanesia, only to be at last driven back upon Tidor and there to die. The survivors were forced to abandon the Moluccas. By surrendering to the Portuguese they were assisted to return [117]to Europe by way of Malacca, Ceylon, and Africa, and they arrived at Lisbon in 1536, the survivors of Loaisa’s expedition, having been gone from Spain eleven years.
The efforts of the Spanish crown to obtain possession of the Spice Islands, the Celebes and Moluccas, with their coveted products of nutmeg, cinnamon, and pepper, were for the time being ended. By the Treaty of Zaragoza (1529) the Emperor, Charles V., for the sum of three hundred and fifty thousand gold ducats, renounced all claim to the Moluccas. For thirteen years the provisions of this treaty were respected by the Spaniards, and then another attempt was made to obtain a foothold in the East Indies.
The Second Expedition to the Philippines.—The facts that disaster had overwhelmed so many, that two oceans must be crossed, and that no sailing-route from Asia back to America was known, did not deter the Spaniards from their perilous conquests; and in 1542 another expedition sailed from Mexico, under command of Lopez de Villalobos, to explore the Philippines and if possible to reach China.
Across the Pacific they made a safe and pleasant voyage. In the warm waters of the Pacific they sailed among those wonderful coral atolls, rings of low shore, decked with palms, grouped in beautiful archipelagoes, whose appearance has never failed to delight the navigator, and whose composition is one of the most interesting subjects known to students of the earth’s structure and history. Some of these coral islands Villalobos took possession of in the name of Spain. These were perhaps the Pelew Islands or the Carolines.
At last Villalobos reached the east coast of Mindanao, but after some deaths and sickness they sailed again and [118]were carried south by the monsoon to the little island of Sarangani, south of the southern peninsula of Mindanao. The natives were hostile, but the Spaniards drove them from their stronghold and made some captures of musk, amber, oil, and gold-dust. In need of provisions, they planted the maize, or Indian corn, the wonderful cereal of America, which yields so bounteously, and so soon after planting. Food was greatly needed by the Spaniards and was very difficult to obtain.
The Naming of the Islands.—Villalobos equipped a small vessel and sent it northward to try to reach Cebu. This vessel reached the coast of Samar. Villalobos gave to the island the name of Filipina, in honor of the Spanish Infante, or heir apparent, Philip, who was soon to succeed his father Charles V. as King Philip the Second of Spain. Later in his correspondence with the Portuguese Villalobos speaks of the archipelago as Las Filipinas. Although for many years the title of the Islas del Poniente continued in use, Villalobos’ name of Filipinas gradually gained place and has lived.
The End of the Expedition.—While on Sarangani demands were made by the Portuguese, who claimed that Mindanao belonged with the Celebes, that the Spaniards should leave. Driven from Mindanao by lack of food and hostility of the natives, Villalobos was blown southward by storms to Gilolo. Here, after long negotiations, the Portuguese compelled him to surrender. The survivors of the expedition dispersed, some remaining in the Indies, and some eventually reaching Spain; but Villalobos, overwhelmed by discouragement, died on the island of Amboyna. The priest who ministered to him in his last hours was the famous Jesuit missionary to the Indies, Saint Francis Xavier.[119]
Twenty-three years were to elapse after the sailing of Villalobos’ fleet before another Spanish expedition should reach the Philippines. The year 1565 dates the permanent occupation of the archipelago by the Spanish.
Increase in Political Power of the Church.—Under Philip the Second, the champion of ecclesiasticism, the Spanish crown cemented the union of the monarchy with the church and devoted the resources of the empire, not only to colonial acquisition, but to combating the Protestant revolution on the one hand and heathenism on the other. The Spanish king effected so close a union of the church and state in Spain, that from this time on churchmen rose higher and higher in the Spanish councils, and profoundly influenced the policy and fate of the nation. The policy of Philip the Second, however, brought upon Spain the revolt of the Dutch Lowlands and the wars with England, and her struggle with these two nations drained her resources both on land and sea, and occasioned a physical and moral decline. But while Spain was constantly losing power and prestige in Europe, the king was extending his colonial domain, lending royal aid to the ambitious adventurer and to the ardent missionary friar. Spain’s object being to christianize as well as to conquer, the missionary became a very important figure in the history of every colonial enterprise, and these great orders to whom missions were intrusted thus became the central institutions in the history of the Philippines.
The Rise of Monasticism.—Monasticism was introduced into Europe from the East at the very commencement of the Middle Ages. The fundamental idea of the old monasticism was retirement from human society in the belief that the world was bad and could not be bettered, and [120]that men could lead holier lives and better please God by forsaking secular employments and family relations, and devoting all their attention to purifying their characters. The first monastic order in Europe were the Benedictines, organized in the seventh century, whose rule and organization were the pattern for those that followed.
The clergy of the church were divided thus into two groups,—first, the parish priests, or ministers, who lived among the people over whom they exercised the care of souls, and who, because they were of the people themselves and lived their lives in association with the community, were known as the “secular clergy,” and second, the monks, or “regular clergy,” were so called because they lived under the “rule” of their order.
In the early part of the thirteenth century monasticism, which had waned somewhat during the preceding two centuries, received a new impetus and inspiration from the organization of new orders known as brethren or “Friars.” The idea underlying their organization was noble, and above that of the old monasticism; for it was the idea of service, of ministry both to the hearts and bodies of depressed and suffering men.
The Dominicans.—The Order of Dominicans was organized by Saint Dominic, an Italian, about 1215. The primary object of its members was to defend the doctrines of the Church and, by teaching and preaching, destroy the doubts and protests which in the thirteenth century were beginning to disturb the claims of the Catholic Church and the Papacy. The Dominican friars did not live in communities, but traveled about, humbly clad, preaching in the villages and towns, and seeking to expose and punish the heretic. The mediæval universities, through their study of philosophy and the Roman law, [121]were producing a class of men disposed to hold opinions contrary to the teachings of the Church. The Dominicans realized the importance of these great centers of instruction and entered them as teachers and masters, and by the beginning of the fifteenth century had made them strongholds of conservatism and orthodoxy.
The Franciscans.—A few years after this organization, the Order of Franciscans was founded by Saint Francis of Assisi, of Spain. The aims of this order were not only to preach and administer the sacraments, but to nurse the sick, provide for the destitute, and alleviate the dreadful misery which affected whole classes in the Middle Ages. They took vows of absolute poverty, and so humble was the garb prescribed by their rule that they went barefooted from place to place.
The Augustinian Order was founded by Pope Alexander IV., in 1265, and still other orders came later.
The Degeneration of the Orders.—Without doubt the early ministrations of these friars were productive of great good both on the religious and humanitarian sides. But, as the orders became wealthy, the friars lost their spirituality and their lives grew vicious. By the beginning of the sixteenth century the administration of the Church throughout Europe had become so corrupt, the economic burden of the religious orders so great, and religious teaching and belief so material, that the best and noblest minds in all countries were agitating for reform.
The Reformation.—In addition to changes in church administration, many Christians were demanding a greater freedom of religious thinking and radical changes in the Church doctrine which had taken form in the Middle Ages. Thus, while all the best minds in the Church were united in seeking a reformation of character and of administration, [122]great differences arose between them as to the possibility of change in Church doctrines. These differences accordingly separated them into two parties, the Papacy adhering strongly to the doctrine as it was then accepted, while various leaders in the north of Europe, including Martin Luther in Germany, Swingli in Switzerland, and John Calvin in France and Geneva, broke with the authority of the Pope and declared for a liberation of the individual conscience.
Upon the side of the Papacy, the Emperor Charles the Fifth threw the weight of the Spanish monarchy, and to enforce the Papal authority he attacked the German princes by force of arms. The result was a great revolt from the Roman Catholic Church, which spread all over northern Germany, a large portion of Switzerland, the lowlands of the Rhine, and England, and which included a numerous and very influential element among the French people. These countries, with the exception of France, have remained Protestant to the present day; and the great expansion of the English people in America and the East has established Protestantism in all parts of the world.
Effects of the Reformation in the Roman Catholic Church.—The reform movement, which lasted through the century, brought about a great improvement in the Roman Catholic Church. Many, who remained devoted to Roman Catholic orthodoxy, were zealous for administrative reform. A great assembly of Churchmen, the Council of Trent, for years devoted itself to legislation to correct abuses. The Inquisition was revived and put into force against Protestants, especially in the dominions of Spain, and the religious orders were reformed and stimulated to new sacrifices and great undertakings.
But greater, perhaps, than any of these agencies in re-establishing [123]the power of the Pope and reviving the life of the Roman Catholic Church was the organization of a new order, the “Society of Jesus.” The founder was a Spaniard, Ignatius Loyola, The Jesuits devoted themselves especially to education and missionary activity. Their schools soon covered Europe, while their mission stations were to be found in both North and South America, India, the East Indies, China, and Japan.
The Spanish Missionary.—The Roman Catholic Church, having lost a large part of Europe, thus strove to make up the loss by gaining converts in heathen lands. Spain, being the power most rapidly advancing her conquests abroad, was the source of the most tireless missionary effort. From the time of Columbus, every fleet that sailed to gain plunder and lands for the Spanish kingdom carried bands of friars and churchmen to convert to Christianity the heathen peoples whom the sword of the soldier should reduce to obedience.
“The Laws of the Indies” gave special power and prominence to the priest. In these early days of Spain’s colonial empire many priests were men of piety, learning, and unselfish devotion. Their efforts softened somewhat the violence and brutality that often marred the Spanish treatment of the native, and they became the civilizing agents among the peoples whom the Spanish soldiers had conquered.
In Paraguay, California, and the Philippines the power and importance of the Spanish missionary outweighed that of the soldier or governor in the settlement of those countries and the control of the native inhabitants. Churchmen, full of the missionary spirit, pressed upon the king the duties of the crown in advancing the cross, and more than one country was opened to Spanish settlement through the enthusiasm of the priest.
o3qafm1ilaawbcibyx0w82tptf541cz
99932
99931
2024-11-11T08:54:02Z
Glorious Engine
9499
99932
wikitext
text/x-wiki
<center>'''Bab VI'''</center>
<center>'''Prajurit Spanyol dan Misionaris Spanyol'''</center>
Sejarah Filipina sebagai Bagian dari Sejarah Koloni Spanyol.—Kami telah melihat bagaimana Filipina ditemukan oleh Magellan dalam pencariannya untuk Kepulauan Rempah-rempah. Brilian dan romantis sebagaimana kisah perjalanan tersebut, ini tak membawa penerimaan langsung untuk Spanyol. Portugal masih menikmati perdagangan Timur dan nyaris separuh abad menaungi sebelum Spanyol menghimpun pemukiman di kepulauan tersebut. Namun jika pada suatu waktu ia merangsek Timur Jauh, Spanyol dari Semenanjung menghimpun dirinya dengan nyaris tenaga tak terbatas dan pencurahan dalam penaklukan material dan spiritual Amerika. Seluruh pengabdian terbesar prajurit Spanyol dan misionaris Spanyol telah diamankan dalam lima puluh tahun dari masa kala Columbus melihat Hindia Barat.
Dalam rangka memahami sejarah Filipina, kami tak harus melupakan bahwa kepulauan tersebut membentuk bagian dari kekaisaran kolonial besar dan di bawah pemerintahan yang sama; bahwa selama lebih dari dua abad, Filipina dicapai melalui Meksiko dan pada keadaan tertentu diperintah oleh Meksiko; bahwa gubernur, hakim dan prajurit yang sama memegang jabatan di kedua hemisfer tersebut, melitnas dari Amerika ke Filipina dan dipromosikan dari Kepulauan tersebut untuk jabatan resmi yang lebih tinggi di Meksiko dan Peru. Sehingga untuk memahami kekuasaan Spanyol di Filipina, kami harus mengkaji pergerakan pemerintahan besar dan badan hukum besar yang berkembang pada pemerintahan Hindia.
Karakter Penjelajah Spanyol.—Penaklukan mereka sendiri banyak terdampak melalui usaha dan kekayaan orang-orangs wasta; namun orang-orang yang memegang jabatan dari takhta Spanyol, tindakan mereka tunduk pada kendali kerajaan yang ketat, dan sebagian besar laba dan hasil dari penjelajahan mereka dibayarkan kepada perbendaharaan kerajaan. Setelah beberapa penakluk, mahkota menyematkan gelar kebanggaan “adelantado.” Bangsawan Spanyol mencurahkan diri mereka sendiri dalam pemahaman berbahaya tersebut dengan keberanian dan penentuan pasti yang lahir dari perjuangan panjang mereka dengan Moor. Terlepas dari keadaan pencobaan jiwa dari penaklukan Barat yang mengembangkan banyak rintangan, meskipun sejumlah semangat brilian mereka,, sampai posisi pasti dan kekuatan; namun jabatan kewalirajaan dan gubernur disandang untuk menggelari orang-orang kesayangan raja.
Audiencia Kerajaan.—Pemerintahan Spanyol paling awal, dalam rangka melindungi otoritasnya sendiri, mendapatinya dibutuhkan untuk meneruskan ambisi dan penakluk petualang oleh penguasa dalam hubungan dekat denagn ketergantungan mutlak pada kehendak kerajaan. Sehingga di Meksiko, Cortes sang penakluk dicopot dan digantikan oleh wali raja Mendoza, yang melakukan penaklukan terhadap bekas koloni Spanyol besar Spanyol Baru, yang sampai saat ini merupakan peristiwa paling sukses dari seluruh negara yang ditanam oleh Spanyol di Amerika.
Untuk membatasi kekuatan gubernur dan wakil raja, serta dintakan pemerintahan tertinggi untuk penetapan tindakan dan pertanyaan hukum, Spanyol menciptakan “Audiencia Kerajaan.” Ini adalah badan golongan bangsawan dan melek hukum, dikirim dari Spanyol uintuk membentuk pemerintahan kolonial di setiap negara; namun kekuatan mereka tak hanya yudisial; mereka juga bersifat administratif. Dalam ketiadaan gubernur, mereka memegang tugas-tugasnya.
Perlakuan Penduduk Asli oleh Spanyol.—Dalam perlakuan terhadap penduduk asli, yang wilayahnya ditaklukan olehnya, raja Spanyol mengupayakan tiga hal,—pertama, untuk mengamankan kolonis dan mahkota pergerakan buruhnya, kedua, untuk memindahkan Indian ke agama Kristen sebagaimana yang diutamakan oleh Gereja Katolik Roma, dan ketiga, untuk melindungi mereka dari kekejaman dan ketidakperikemanusiaan. Edik demi edik, hukum demi hukum, dikeluarkan dari takhta Spanyol dengan akhir pandangan tersebut. Kala mereka berdiri pada buku-buku hukum kolonial terbesar, Recopilacion de Leyes de las Indias, mereka menyimpan kesensitivan untuk kebutuhan Indian dan apresiasi bahaya yang ia hadapi; namun dalam praktek sebenarnya, tujuan bermanfaat tersebut kebanyakan tak berguna.
Keperluan pertama dan ketiga Spanyol dalam perlakuannya terhadap penduduk asli menghimpun ketidakpastian. Sejarah telah menunjukkan bahwa kebebasan dan pencerahan tak dapat diambil dari sebuah ras dengan satu tanagn dan perlindungan yang memberikannya dengan tangan lainnya. Ssleuruh kelas dari pemerintah kolonial Spanyol menyelaraskan kekayaan. Kebanggaan mengisi mereka semua, dan merupakan mata air utama darissetiap penemuan dan setiap ketetapan. Raja menginginkan pendapatan untuk perbendaharaannya; bangsawan dan prajurit, ditugaskan pada keperluan pribadi mereka; frater, diperkaya untuk ordonya; uskup, dikuatkan untuk gerejanya. Seluruh kekayaan tersebut datang dari penghasilan penduduk asli di tanah yang dikuasai penakluk Spanyol; dan sementara motif bangsawan mungkin tak pernah absen dan pada waktu tertentu selaras, sehingga pad autamanya penduduk asli AMerika dan Filipina menjadi terdera di bawah tangan dan kekuasaan Spanyol.
“Encomendero.”—Sistem pengendalian kehidupan Spanyol dan pengerjaan Indian berdasarkan pada keberadaan tertentu pada sistem feodal, masih ada di Semenanjung pada waktu penaklukan kolonialnya. Para kapten dan prajurit serta imam dari penaklukan suksesnya menugaskan mereka untuk pertanahan besar atau lahan berbuah dengan penduduk asli mereka, yang merek aurus dan kuasai untuk laba mereka sendiri. Lahan semacam itu disebut “repartimientos” pertama. Namun kemudian menjadi penerapan, di Amerika, untuk menarik sejumlah ebsar Indian untuk penugasan orang Spanyol, yang menaungi mereka dengan kekuasaan majikan dan yang menikmati laba ketenagakerjaaan mereka. Sebagai balasannya, ia diperintahkan untuk memindahkan agama orang-orang Indian dan perintah agama mereka. Pemberian Indian semacam itu disebut “encomienda.” “Encomendero” bukanlah tuan mutlak dari kehidupan dan harta benda Indian, untuk hukum kerjasama yang dinaungi untuk perlindungan Indian. Sehingga, pemberian subyek tanpa tanah yang ditinggali oleh mereka membuat kemungkinan pemindahan mereka dan penjualan dari satu encomendero ke lainnya, dan dalam cara ini, ribuan Indian Amerika secara terapan dijadikan budak, dan dipaksa menjadi buruh dalam pertambangan.
Sebagaimana yang kami lihat, seluruh sistem tersebut diserang oleh imam Dominikan, Las Casas, seorang sosok bangsawan sebenarnya dalam sejarah kolonisasi Amerika, dan berbagai upaay dibuat di Amerika untuk membatasi encomienda dan untuk mencegah pengenalan mereka ke Meksiko dan Peru; namun kekuatan besar encomendero di America, bersama dengan pengaruh Gereja, yang memegang encomienda secara luas, telah terdorong untuk meluaskan kelembagaan tersebut, bahkan melawan tindakan bersemangat Las Casas. Peniadaannya di Meksiko didekritkan pada 1544, namun “para komisioner mewakili munisipalitas Meksiko dan ordo-ordo keagamaan dikirim ke Spanyol untuk membujuk raja untuk menariks etidaknya bagian-bagian ‘Hukum Baru’ yang emngancam kepentingan pemukim. Lewat dekrit kerajaan 20 Oktober 1545, penerapan yang diinginkan diterima. Tindakan tersebut mengisi pemukim Spanyol dengan kegembiraan dan Indian yang diperbudak dengan perbaikan.”
Ini menjadi kelembagaan yang awalnya didirikan sebagai bagian sistem kolonial dan didatangkan dengan penakluk ke Filipina.
Pembatasan pada Kolonisasi dan Perdagangan.—Untuk kepengurusan setiap urusan kolonial, raja menciptakan badan besar, atau biro, yang dikenal sebagai “Dewan Hindia,” yang duduk di Madrid dan para anggotanya adalah para pejabat tertinggi di Spanyol. Pemerintah Spanyol memegang penaungan terdekat atas seluruh persoalan kolonial, dan kolonisasi tak pernah bebas. Seluruh orang, gudang, dan kapal, yang didatangkan dari Spanyol ke wilayah kolonialnya, ditujukan untuk melintas melewati Sevilla, dan pelabuhan itu sendiri.
Kota kuno kaya, yang terletak di sungai Guadalquivir, Spanyol barat daya, adalah gerbang masuk menuju Kekaisaran Spanyol. Dari pelabuhan tersebut didatangkan prajurit penyurat, frater berjubah, bangsawan petualang, dan wanita-wanita Spanyol pemberani dan mentereng, yang menyertai suami mereka ke wilayah yang sangat jauh sepanjang laut. Dan kemabli ke pelabuhan membawa emas Peru, perak Meksiko, dan sutra dan brodiran Tiongkok, yang diangkut melalui Filipina.
Harus diamati bahwa seluruh perhubungan antara Spanyol dan koloni-koloninya sangat dikendalikan oleh pemerintah. Spanyol berniat untuk menciptakan dan menghimpun monopoli khusus dari perdagangan kolonialnya. Untuk memberlakukan dan mengarahkan monopolinya, di Sevilla, terdapat Dewan Perdagangan, atau “Casa de Contratacion.” Tak ada orang yang dapat berlayar dari Spanyol ke wilayah kolonial tanpa ijin dan melewati pendaftaran pemerintah. Tak ada orang yang dapat mengirim barang ke luar atau mengimpornya kecuali melalui Dewan Perdagangan dan kala pembayaran pengiriman luar biasa. Perdagangan secara mutlak dilarang untuk orang-orang Spanyol tertentu. Dan melalui bentengnya dan armadanya, Spanyol mengisolasi koloninya dari jamahan Portugis, Belanda, atau Inggris, yang kapal-kapalnya, yang diisi awak selain orang-orang Spanyol sendiri, merupakan permulaan untuk mengarungi laut dalam mencari kekayaan dan penghasilan dari penaklukan dan perdagangan asing.
Penjelasan Kebijakan Kolonial Spanyol.—Spanyol mendorong koloni-koloni asing, mula-mula, untuk mengumpulkan kekayaan terakumulasi yang dapat diambil dan dibawa sesekali, dan, kedua, untuk pemasukan yang dapat didapatkan melalui tenaga kerja penduduk wilayah yang dikuasai olehnya. Dalam melingkupi pemerintahan dan kepengurusan koloni-koloninya, ia utamanya mengupayakan pencerahan politik dan kekayaan entah lewat kolonis Spanyol maupun ras penduduk asli, namun kejayaan, kekuaran dan perlindungan mahkota. Aturan komersial dan perdagangan diberlakukan, bukan untuk mengembangkan sumber daya dan meningkatkan kemakmuran koloni, namun untuk menambah kekayaan Semenanjung. Sehingga, keperluan Spanyol jauh dari kesendirian sepenuhnya. Dengan tindakan dan kesuksesan yang dibawa olehnya terhadap pemindahan agama penduduk asli, yang dinaunginya, dan di dalamnya menunjukkan kepentingan kemanusiaan selaras dengan Belanda dan Inggris, yang bersaing dengannya dalam kekaisaran kolonial.
Gagasan kolonial di bawah kebijakan Spanyol dinaungi dari waktu ke waktu. Sepanjang berabad-abad kesuksesannya, kebijaksanaan dan hati nurani masyarakat pada persoalan tersebut terhimpun tanpa batas. Bangsa-bangsa tak lagi melakukan penaklukan untuk mengeksploitasi mereka, namun wacana publik di dunia menawarkan bahwa kesejahteraan subyek kolonial diupayakan dan bahwa ia dilindungi dari penanganan resmi. Terdapat kemajuan besar sampai itu dibuat. Ini dapat dikatakan bahwa dunia mengakui bahwa orang terkuat harsu membantu orang yang lebih lemah tanpa bantuan pemberian material, namun ini merupakan pengarahan yang dalam perasaan paling tercerahkan adalah kemajuan. Setiap penanganan ras kulit putih, yang memiliki tujuan semacam itu dalam pandangannya, adalah eksperimen yang menguntungkan dari kepentingan paling menonjol dan simpati paling mengeratkan.
Hasil Pelayaran Magellan dan El Cano.—Pemikiran petualang Spanyol tersebut sangat terpukau oleh hasil pelayaran Sebastian del Cano. Ini adalah kesempatan untuk perdagangan kaya dan laba besar. Sejumlah penanaman dilayangkan ke hadapan raja, salah satunya untuk pembangunan armada dagang India dan pelayaran tahunan ke Maluku untuk mengumpulkan panen rempah-rempah yang besar.
Portugal memprotes melawan pergerakan tersebut sampai pertanyaan atas klaimnya terhadap Maluku, di bawah pembagian Paus Aleksander, dapat diselesaikan. Lintang pasti dari barat Ternate dari lintang 370 league di luar Kepulauan Verde tidak dikenal. Spanyol berpendapat bahwa ini kurang dari 180 derajat, dan sehingga, di samping penemuan Portugal sebelumnya, masuk pada meeka. Seorang pilot, Medina, contohnya, menjelaskan kepada Charles V bahwa dari meridian 370 league di selatan San Anton (pulau paling barat dari kepulauan Verde) sampai kota Meksiko adalah 59 derajat, dari Meksiko ke Navidad, 9 derajat, dan dari pelabuhan tersebut ke Cebu, 100 derajat, total hanya 168 derajat, meninggalkan margin 12 derajat; sehingga oleh keputusan Paus, Hindia, Maluku, Kalimantan, Gilolo, dan Filipina adalah milik Spanyol. Dewan utusan dan kosmografer ebsar diadakan di Badajoz pada 1524, namun tanpa mencapai kesepakatan. Spanyol mengumumkan resolusinya untuk menduduki Maluku, dan Portugal mengancam mati petualang Spanyol yang ditemukan disana.
Ekspedisi Pertama ke Filipina.—Spanyol bertindak langsung pada keputusannya, dan pada 1525 mengerahkan ekspedisi di bawah naungan Jofre de Loaisa untuk mengumpulkan buah penemuan Magellan. Kapten dari satu kapal adalah Sebastian del Cano, yang merampungkan pelayaran Magellan. Di kapalnya, Andres de Urdaneta berlayar, yang kemudian menajdi frater Augustinian dan mendampingi ekspedisi Legaspi yang akhirnya berdampak pada pemukiman Filipina. Bukan tanpa kerja keras besar dan kehilangan yang dialami armada melintasi Selat Magellan dan memasuki Samudra Pasifik. Di tengah samudra, Loaisa meninggal, dan empat hari kemudian digantikan oleh Sebastian del Cano. Mengikuti rute yang mirip dengan rute Magellan, armada tersebut mula-mula mencapai Kepulauan Ladrone dan kemudian pantai Mindanao. Dari sana, mereka berniat untuk berlayar ke Cebu, namun muson timur laut kuat mengarahkan mereka ke selatan Maluku, dan mereka mendarat di Tidor pada hari terakhir dari tahun 1526.
Kegagalan Penjelajahan.—Portugis berada pada kesempatan bertarung untuk mengurangi raja asli dari kepulauan tersebut untuk penundukan. Mereka dianggap oleh Spanyol sebagai musuh, dan setiap pihak Eropa tak lama memutuskan untuk bertempur dan membuat penduduk asli melawan satu sama lain. Kondisi Spanyol menjadi sangat tertekan, dan menandakan pengorbanan nyawa yang dialami pada penaklukan abad keenam belas. Kapal-kapal mereka menjadi menghadapi badai kala tak lagi mencapai lautan. Dua perwira, yang berhasil mengikuti komando Loaisa dan El Cano, nampaknya gugur. Dari 450 orang yang berlayar dari Spanyol, hanya 120 yang kini selamat. Di bawah kepemimpinan Hernando de la Torre, mereka membangun benteng di pulau Tidor, tak dapat bergerak lebih jauh atau menarik diri, dan menunggu harapan untuk bala bantuan dari Spanyol.
Pemulihan datang, bukan dari Semenanjung, namun dari Meksiko. Di bawah perintah raja Spanyol, pada Oktober, 1527, Cortes menegrahkan ekspedisi kecil dari Meksiko dalam penugasan D. Alvaro de Saavedra. Tersapu cepatu oleh perdagangan khatulistiwa, dalam beberapa bulan, Saavedra mengerahkan Carolines, yang bergerak ke Mindanao, dan menghampiri para penyintas di Tidor. Sebanyak dua kali, mereka berupaya kembali ke Spanyol baru, namun angin perdagangan kuat berhembus tanpa henti ke utara dan selatan pada setiap sisi khatulistiwa untuk jarak lebih dari seribu dua ratus mil, dan lintang utara tenang dan angin barat tak diketahui.
Sebanyak dua kali, Saavedra mengarungi perjalanannya menuju timur di antara pulau-pulau asing Papua dan Melanesia, hanya untuk berakhir bergerak kembali menuju Tidor dan meninggal disana. Para penyintas terpaksa meninggalkan Maluku. Dengan menyerah keapda Portugis, mereka dibantu untuk kembali ke Eropa lewat jalur Malaka, Ceylon, dan Afrika, dan mereka datang ke Lisboa pada 1536, para penyintas penjelajahan Loaisa, yang telah pergi dari Spanyol sepanjang sebelas tahun.
Upaya takhta Spanyol untuk merebut wilayah Kepulauan Rempah-rempah, Sulawesi dan Maluku, dengan barang-barang kacang kenari, kayu manis dan lada, pada waktu itu berakhir. Lewat Perjanjian Zaragoza (1529), Kaisar Charles V menarik seluruh klaim atas Maluku untuk tunjangan tiga ratus lima puluh ribu emas dukat. Selama tiga belas tahun, dalil perjanjian tersebut dihormati oleh Spanyol, dan kemudian upaay lainnya dibuat untuk menjejakkan kaki di Hindia Timur.
Penjelajahan Kedua ke Filipina.—Fakta bahwa bencana tersebut telah melampaui banyak orang, bahwa dua samudra harus dilintasi dan tak ada rute pelayaran dari Asia kembali ke Amerika diketahui, tak membuat Spanyol rujuk dari penaklukan berbahaya mereka. Pada 1542, penjelajahan lain berlayar dari Meksiko, di bawah komando Lopez de Villalobos, untuk menjelajahi Filipina dan jika memungkinkan mencapai Tiongkok.
Di sepanjang Pasifik, mereka membuat pelayaran aman dan menyenangkan. Di perairan hangat Pasifik, mereka belayar di antara atol karang menakjubkan, cincin pesisir dangkal, berhias kelapa, berkelompok di kepulauan indah, yang penampilannya tak pernah gagal untuk memikat navigator, dan komposisinya adalah salahs atu subyek paling penting yang diketahui murid soal struktur dan sejarah bumi. Pada beberapa kepulauan karang, Villalobos memberikan wilayah tersebut dengan nama Spanyol. Nama-nama tersebut mungkin meliputi Kepulauan Pelew atau Carolines.
Pada akhirnya, Villalobos mencapai pantai timur Mindanao, namun setelah beberapa awak meninggal dan sakit, mereka belayar lagi dan dibawa ke selatan oleh muson ke pulau kecil Sarangani, selatan semenanjung selatan Mindanao. Penduduk aslinya garang, namun Spanyol menjauhkan mereka dari kekuatan emreka dan melakukan beberapa pengambilan terhadap wewangian, bebatuan indah, minyak dan debu emas. Dalam kebutuhan tujuan, mereka menanam jagung India, sereal menakjubkan Amerika, yang ditanam tanpa batas, dan kemudian usai penanaman. Pangan sangat dibutuhkan oleh Spanyol dan sangat sulit untuk didapat.
The Naming of the Islands.—Villalobos equipped a small vessel and sent it northward to try to reach Cebu. This vessel reached the coast of Samar. Villalobos gave to the island the name of Filipina, in honor of the Spanish Infante, or heir apparent, Philip, who was soon to succeed his father Charles V. as King Philip the Second of Spain. Later in his correspondence with the Portuguese Villalobos speaks of the archipelago as Las Filipinas. Although for many years the title of the Islas del Poniente continued in use, Villalobos’ name of Filipinas gradually gained place and has lived.
The End of the Expedition.—While on Sarangani demands were made by the Portuguese, who claimed that Mindanao belonged with the Celebes, that the Spaniards should leave. Driven from Mindanao by lack of food and hostility of the natives, Villalobos was blown southward by storms to Gilolo. Here, after long negotiations, the Portuguese compelled him to surrender. The survivors of the expedition dispersed, some remaining in the Indies, and some eventually reaching Spain; but Villalobos, overwhelmed by discouragement, died on the island of Amboyna. The priest who ministered to him in his last hours was the famous Jesuit missionary to the Indies, Saint Francis Xavier.[119]
Twenty-three years were to elapse after the sailing of Villalobos’ fleet before another Spanish expedition should reach the Philippines. The year 1565 dates the permanent occupation of the archipelago by the Spanish.
Increase in Political Power of the Church.—Under Philip the Second, the champion of ecclesiasticism, the Spanish crown cemented the union of the monarchy with the church and devoted the resources of the empire, not only to colonial acquisition, but to combating the Protestant revolution on the one hand and heathenism on the other. The Spanish king effected so close a union of the church and state in Spain, that from this time on churchmen rose higher and higher in the Spanish councils, and profoundly influenced the policy and fate of the nation. The policy of Philip the Second, however, brought upon Spain the revolt of the Dutch Lowlands and the wars with England, and her struggle with these two nations drained her resources both on land and sea, and occasioned a physical and moral decline. But while Spain was constantly losing power and prestige in Europe, the king was extending his colonial domain, lending royal aid to the ambitious adventurer and to the ardent missionary friar. Spain’s object being to christianize as well as to conquer, the missionary became a very important figure in the history of every colonial enterprise, and these great orders to whom missions were intrusted thus became the central institutions in the history of the Philippines.
The Rise of Monasticism.—Monasticism was introduced into Europe from the East at the very commencement of the Middle Ages. The fundamental idea of the old monasticism was retirement from human society in the belief that the world was bad and could not be bettered, and [120]that men could lead holier lives and better please God by forsaking secular employments and family relations, and devoting all their attention to purifying their characters. The first monastic order in Europe were the Benedictines, organized in the seventh century, whose rule and organization were the pattern for those that followed.
The clergy of the church were divided thus into two groups,—first, the parish priests, or ministers, who lived among the people over whom they exercised the care of souls, and who, because they were of the people themselves and lived their lives in association with the community, were known as the “secular clergy,” and second, the monks, or “regular clergy,” were so called because they lived under the “rule” of their order.
In the early part of the thirteenth century monasticism, which had waned somewhat during the preceding two centuries, received a new impetus and inspiration from the organization of new orders known as brethren or “Friars.” The idea underlying their organization was noble, and above that of the old monasticism; for it was the idea of service, of ministry both to the hearts and bodies of depressed and suffering men.
The Dominicans.—The Order of Dominicans was organized by Saint Dominic, an Italian, about 1215. The primary object of its members was to defend the doctrines of the Church and, by teaching and preaching, destroy the doubts and protests which in the thirteenth century were beginning to disturb the claims of the Catholic Church and the Papacy. The Dominican friars did not live in communities, but traveled about, humbly clad, preaching in the villages and towns, and seeking to expose and punish the heretic. The mediæval universities, through their study of philosophy and the Roman law, [121]were producing a class of men disposed to hold opinions contrary to the teachings of the Church. The Dominicans realized the importance of these great centers of instruction and entered them as teachers and masters, and by the beginning of the fifteenth century had made them strongholds of conservatism and orthodoxy.
The Franciscans.—A few years after this organization, the Order of Franciscans was founded by Saint Francis of Assisi, of Spain. The aims of this order were not only to preach and administer the sacraments, but to nurse the sick, provide for the destitute, and alleviate the dreadful misery which affected whole classes in the Middle Ages. They took vows of absolute poverty, and so humble was the garb prescribed by their rule that they went barefooted from place to place.
The Augustinian Order was founded by Pope Alexander IV., in 1265, and still other orders came later.
The Degeneration of the Orders.—Without doubt the early ministrations of these friars were productive of great good both on the religious and humanitarian sides. But, as the orders became wealthy, the friars lost their spirituality and their lives grew vicious. By the beginning of the sixteenth century the administration of the Church throughout Europe had become so corrupt, the economic burden of the religious orders so great, and religious teaching and belief so material, that the best and noblest minds in all countries were agitating for reform.
The Reformation.—In addition to changes in church administration, many Christians were demanding a greater freedom of religious thinking and radical changes in the Church doctrine which had taken form in the Middle Ages. Thus, while all the best minds in the Church were united in seeking a reformation of character and of administration, [122]great differences arose between them as to the possibility of change in Church doctrines. These differences accordingly separated them into two parties, the Papacy adhering strongly to the doctrine as it was then accepted, while various leaders in the north of Europe, including Martin Luther in Germany, Swingli in Switzerland, and John Calvin in France and Geneva, broke with the authority of the Pope and declared for a liberation of the individual conscience.
Upon the side of the Papacy, the Emperor Charles the Fifth threw the weight of the Spanish monarchy, and to enforce the Papal authority he attacked the German princes by force of arms. The result was a great revolt from the Roman Catholic Church, which spread all over northern Germany, a large portion of Switzerland, the lowlands of the Rhine, and England, and which included a numerous and very influential element among the French people. These countries, with the exception of France, have remained Protestant to the present day; and the great expansion of the English people in America and the East has established Protestantism in all parts of the world.
Effects of the Reformation in the Roman Catholic Church.—The reform movement, which lasted through the century, brought about a great improvement in the Roman Catholic Church. Many, who remained devoted to Roman Catholic orthodoxy, were zealous for administrative reform. A great assembly of Churchmen, the Council of Trent, for years devoted itself to legislation to correct abuses. The Inquisition was revived and put into force against Protestants, especially in the dominions of Spain, and the religious orders were reformed and stimulated to new sacrifices and great undertakings.
But greater, perhaps, than any of these agencies in re-establishing [123]the power of the Pope and reviving the life of the Roman Catholic Church was the organization of a new order, the “Society of Jesus.” The founder was a Spaniard, Ignatius Loyola, The Jesuits devoted themselves especially to education and missionary activity. Their schools soon covered Europe, while their mission stations were to be found in both North and South America, India, the East Indies, China, and Japan.
The Spanish Missionary.—The Roman Catholic Church, having lost a large part of Europe, thus strove to make up the loss by gaining converts in heathen lands. Spain, being the power most rapidly advancing her conquests abroad, was the source of the most tireless missionary effort. From the time of Columbus, every fleet that sailed to gain plunder and lands for the Spanish kingdom carried bands of friars and churchmen to convert to Christianity the heathen peoples whom the sword of the soldier should reduce to obedience.
“The Laws of the Indies” gave special power and prominence to the priest. In these early days of Spain’s colonial empire many priests were men of piety, learning, and unselfish devotion. Their efforts softened somewhat the violence and brutality that often marred the Spanish treatment of the native, and they became the civilizing agents among the peoples whom the Spanish soldiers had conquered.
In Paraguay, California, and the Philippines the power and importance of the Spanish missionary outweighed that of the soldier or governor in the settlement of those countries and the control of the native inhabitants. Churchmen, full of the missionary spirit, pressed upon the king the duties of the crown in advancing the cross, and more than one country was opened to Spanish settlement through the enthusiasm of the priest.
ms360ghgqrywn1q9n76jsl0z01zyvi2
99933
99932
2024-11-11T08:54:25Z
Glorious Engine
9499
99933
wikitext
text/x-wiki
<center>'''Bab VI'''</center>
<center>'''Prajurit Spanyol dan Misionaris Spanyol'''</center>
Sejarah Filipina sebagai Bagian dari Sejarah Koloni Spanyol.—Kami telah melihat bagaimana Filipina ditemukan oleh Magellan dalam pencariannya untuk Kepulauan Rempah-rempah. Brilian dan romantis sebagaimana kisah perjalanan tersebut, ini tak membawa penerimaan langsung untuk Spanyol. Portugal masih menikmati perdagangan Timur dan nyaris separuh abad menaungi sebelum Spanyol menghimpun pemukiman di kepulauan tersebut. Namun jika pada suatu waktu ia merangsek Timur Jauh, Spanyol dari Semenanjung menghimpun dirinya dengan nyaris tenaga tak terbatas dan pencurahan dalam penaklukan material dan spiritual Amerika. Seluruh pengabdian terbesar prajurit Spanyol dan misionaris Spanyol telah diamankan dalam lima puluh tahun dari masa kala Columbus melihat Hindia Barat.
Dalam rangka memahami sejarah Filipina, kami tak harus melupakan bahwa kepulauan tersebut membentuk bagian dari kekaisaran kolonial besar dan di bawah pemerintahan yang sama; bahwa selama lebih dari dua abad, Filipina dicapai melalui Meksiko dan pada keadaan tertentu diperintah oleh Meksiko; bahwa gubernur, hakim dan prajurit yang sama memegang jabatan di kedua hemisfer tersebut, melitnas dari Amerika ke Filipina dan dipromosikan dari Kepulauan tersebut untuk jabatan resmi yang lebih tinggi di Meksiko dan Peru. Sehingga untuk memahami kekuasaan Spanyol di Filipina, kami harus mengkaji pergerakan pemerintahan besar dan badan hukum besar yang berkembang pada pemerintahan Hindia.
Karakter Penjelajah Spanyol.—Penaklukan mereka sendiri banyak terdampak melalui usaha dan kekayaan orang-orangs wasta; namun orang-orang yang memegang jabatan dari takhta Spanyol, tindakan mereka tunduk pada kendali kerajaan yang ketat, dan sebagian besar laba dan hasil dari penjelajahan mereka dibayarkan kepada perbendaharaan kerajaan. Setelah beberapa penakluk, mahkota menyematkan gelar kebanggaan “adelantado.” Bangsawan Spanyol mencurahkan diri mereka sendiri dalam pemahaman berbahaya tersebut dengan keberanian dan penentuan pasti yang lahir dari perjuangan panjang mereka dengan Moor. Terlepas dari keadaan pencobaan jiwa dari penaklukan Barat yang mengembangkan banyak rintangan, meskipun sejumlah semangat brilian mereka,, sampai posisi pasti dan kekuatan; namun jabatan kewalirajaan dan gubernur disandang untuk menggelari orang-orang kesayangan raja.
Audiencia Kerajaan.—Pemerintahan Spanyol paling awal, dalam rangka melindungi otoritasnya sendiri, mendapatinya dibutuhkan untuk meneruskan ambisi dan penakluk petualang oleh penguasa dalam hubungan dekat denagn ketergantungan mutlak pada kehendak kerajaan. Sehingga di Meksiko, Cortes sang penakluk dicopot dan digantikan oleh wali raja Mendoza, yang melakukan penaklukan terhadap bekas koloni Spanyol besar Spanyol Baru, yang sampai saat ini merupakan peristiwa paling sukses dari seluruh negara yang ditanam oleh Spanyol di Amerika.
Untuk membatasi kekuatan gubernur dan wakil raja, serta dintakan pemerintahan tertinggi untuk penetapan tindakan dan pertanyaan hukum, Spanyol menciptakan “Audiencia Kerajaan.” Ini adalah badan golongan bangsawan dan melek hukum, dikirim dari Spanyol uintuk membentuk pemerintahan kolonial di setiap negara; namun kekuatan mereka tak hanya yudisial; mereka juga bersifat administratif. Dalam ketiadaan gubernur, mereka memegang tugas-tugasnya.
Perlakuan Penduduk Asli oleh Spanyol.—Dalam perlakuan terhadap penduduk asli, yang wilayahnya ditaklukan olehnya, raja Spanyol mengupayakan tiga hal,—pertama, untuk mengamankan kolonis dan mahkota pergerakan buruhnya, kedua, untuk memindahkan Indian ke agama Kristen sebagaimana yang diutamakan oleh Gereja Katolik Roma, dan ketiga, untuk melindungi mereka dari kekejaman dan ketidakperikemanusiaan. Edik demi edik, hukum demi hukum, dikeluarkan dari takhta Spanyol dengan akhir pandangan tersebut. Kala mereka berdiri pada buku-buku hukum kolonial terbesar, Recopilacion de Leyes de las Indias, mereka menyimpan kesensitivan untuk kebutuhan Indian dan apresiasi bahaya yang ia hadapi; namun dalam praktek sebenarnya, tujuan bermanfaat tersebut kebanyakan tak berguna.
Keperluan pertama dan ketiga Spanyol dalam perlakuannya terhadap penduduk asli menghimpun ketidakpastian. Sejarah telah menunjukkan bahwa kebebasan dan pencerahan tak dapat diambil dari sebuah ras dengan satu tanagn dan perlindungan yang memberikannya dengan tangan lainnya. Ssleuruh kelas dari pemerintah kolonial Spanyol menyelaraskan kekayaan. Kebanggaan mengisi mereka semua, dan merupakan mata air utama darissetiap penemuan dan setiap ketetapan. Raja menginginkan pendapatan untuk perbendaharaannya; bangsawan dan prajurit, ditugaskan pada keperluan pribadi mereka; frater, diperkaya untuk ordonya; uskup, dikuatkan untuk gerejanya. Seluruh kekayaan tersebut datang dari penghasilan penduduk asli di tanah yang dikuasai penakluk Spanyol; dan sementara motif bangsawan mungkin tak pernah absen dan pada waktu tertentu selaras, sehingga pad autamanya penduduk asli AMerika dan Filipina menjadi terdera di bawah tangan dan kekuasaan Spanyol.
“Encomendero.”—Sistem pengendalian kehidupan Spanyol dan pengerjaan Indian berdasarkan pada keberadaan tertentu pada sistem feodal, masih ada di Semenanjung pada waktu penaklukan kolonialnya. Para kapten dan prajurit serta imam dari penaklukan suksesnya menugaskan mereka untuk pertanahan besar atau lahan berbuah dengan penduduk asli mereka, yang merek aurus dan kuasai untuk laba mereka sendiri. Lahan semacam itu disebut “repartimientos” pertama. Namun kemudian menjadi penerapan, di Amerika, untuk menarik sejumlah ebsar Indian untuk penugasan orang Spanyol, yang menaungi mereka dengan kekuasaan majikan dan yang menikmati laba ketenagakerjaaan mereka. Sebagai balasannya, ia diperintahkan untuk memindahkan agama orang-orang Indian dan perintah agama mereka. Pemberian Indian semacam itu disebut “encomienda.” “Encomendero” bukanlah tuan mutlak dari kehidupan dan harta benda Indian, untuk hukum kerjasama yang dinaungi untuk perlindungan Indian. Sehingga, pemberian subyek tanpa tanah yang ditinggali oleh mereka membuat kemungkinan pemindahan mereka dan penjualan dari satu encomendero ke lainnya, dan dalam cara ini, ribuan Indian Amerika secara terapan dijadikan budak, dan dipaksa menjadi buruh dalam pertambangan.
Sebagaimana yang kami lihat, seluruh sistem tersebut diserang oleh imam Dominikan, Las Casas, seorang sosok bangsawan sebenarnya dalam sejarah kolonisasi Amerika, dan berbagai upaay dibuat di Amerika untuk membatasi encomienda dan untuk mencegah pengenalan mereka ke Meksiko dan Peru; namun kekuatan besar encomendero di America, bersama dengan pengaruh Gereja, yang memegang encomienda secara luas, telah terdorong untuk meluaskan kelembagaan tersebut, bahkan melawan tindakan bersemangat Las Casas. Peniadaannya di Meksiko didekritkan pada 1544, namun “para komisioner mewakili munisipalitas Meksiko dan ordo-ordo keagamaan dikirim ke Spanyol untuk membujuk raja untuk menariks etidaknya bagian-bagian ‘Hukum Baru’ yang emngancam kepentingan pemukim. Lewat dekrit kerajaan 20 Oktober 1545, penerapan yang diinginkan diterima. Tindakan tersebut mengisi pemukim Spanyol dengan kegembiraan dan Indian yang diperbudak dengan perbaikan.”
Ini menjadi kelembagaan yang awalnya didirikan sebagai bagian sistem kolonial dan didatangkan dengan penakluk ke Filipina.
Pembatasan pada Kolonisasi dan Perdagangan.—Untuk kepengurusan setiap urusan kolonial, raja menciptakan badan besar, atau biro, yang dikenal sebagai “Dewan Hindia,” yang duduk di Madrid dan para anggotanya adalah para pejabat tertinggi di Spanyol. Pemerintah Spanyol memegang penaungan terdekat atas seluruh persoalan kolonial, dan kolonisasi tak pernah bebas. Seluruh orang, gudang, dan kapal, yang didatangkan dari Spanyol ke wilayah kolonialnya, ditujukan untuk melintas melewati Sevilla, dan pelabuhan itu sendiri.
Kota kuno kaya, yang terletak di sungai Guadalquivir, Spanyol barat daya, adalah gerbang masuk menuju Kekaisaran Spanyol. Dari pelabuhan tersebut didatangkan prajurit penyurat, frater berjubah, bangsawan petualang, dan wanita-wanita Spanyol pemberani dan mentereng, yang menyertai suami mereka ke wilayah yang sangat jauh sepanjang laut. Dan kemabli ke pelabuhan membawa emas Peru, perak Meksiko, dan sutra dan brodiran Tiongkok, yang diangkut melalui Filipina.
Harus diamati bahwa seluruh perhubungan antara Spanyol dan koloni-koloninya sangat dikendalikan oleh pemerintah. Spanyol berniat untuk menciptakan dan menghimpun monopoli khusus dari perdagangan kolonialnya. Untuk memberlakukan dan mengarahkan monopolinya, di Sevilla, terdapat Dewan Perdagangan, atau “Casa de Contratacion.” Tak ada orang yang dapat berlayar dari Spanyol ke wilayah kolonial tanpa ijin dan melewati pendaftaran pemerintah. Tak ada orang yang dapat mengirim barang ke luar atau mengimpornya kecuali melalui Dewan Perdagangan dan kala pembayaran pengiriman luar biasa. Perdagangan secara mutlak dilarang untuk orang-orang Spanyol tertentu. Dan melalui bentengnya dan armadanya, Spanyol mengisolasi koloninya dari jamahan Portugis, Belanda, atau Inggris, yang kapal-kapalnya, yang diisi awak selain orang-orang Spanyol sendiri, merupakan permulaan untuk mengarungi laut dalam mencari kekayaan dan penghasilan dari penaklukan dan perdagangan asing.
Penjelasan Kebijakan Kolonial Spanyol.—Spanyol mendorong koloni-koloni asing, mula-mula, untuk mengumpulkan kekayaan terakumulasi yang dapat diambil dan dibawa sesekali, dan, kedua, untuk pemasukan yang dapat didapatkan melalui tenaga kerja penduduk wilayah yang dikuasai olehnya. Dalam melingkupi pemerintahan dan kepengurusan koloni-koloninya, ia utamanya mengupayakan pencerahan politik dan kekayaan entah lewat kolonis Spanyol maupun ras penduduk asli, namun kejayaan, kekuaran dan perlindungan mahkota. Aturan komersial dan perdagangan diberlakukan, bukan untuk mengembangkan sumber daya dan meningkatkan kemakmuran koloni, namun untuk menambah kekayaan Semenanjung. Sehingga, keperluan Spanyol jauh dari kesendirian sepenuhnya. Dengan tindakan dan kesuksesan yang dibawa olehnya terhadap pemindahan agama penduduk asli, yang dinaunginya, dan di dalamnya menunjukkan kepentingan kemanusiaan selaras dengan Belanda dan Inggris, yang bersaing dengannya dalam kekaisaran kolonial.
Gagasan kolonial di bawah kebijakan Spanyol dinaungi dari waktu ke waktu. Sepanjang berabad-abad kesuksesannya, kebijaksanaan dan hati nurani masyarakat pada persoalan tersebut terhimpun tanpa batas. Bangsa-bangsa tak lagi melakukan penaklukan untuk mengeksploitasi mereka, namun wacana publik di dunia menawarkan bahwa kesejahteraan subyek kolonial diupayakan dan bahwa ia dilindungi dari penanganan resmi. Terdapat kemajuan besar sampai itu dibuat. Ini dapat dikatakan bahwa dunia mengakui bahwa orang terkuat harsu membantu orang yang lebih lemah tanpa bantuan pemberian material, namun ini merupakan pengarahan yang dalam perasaan paling tercerahkan adalah kemajuan. Setiap penanganan ras kulit putih, yang memiliki tujuan semacam itu dalam pandangannya, adalah eksperimen yang menguntungkan dari kepentingan paling menonjol dan simpati paling mengeratkan.
Hasil Pelayaran Magellan dan El Cano.—Pemikiran petualang Spanyol tersebut sangat terpukau oleh hasil pelayaran Sebastian del Cano. Ini adalah kesempatan untuk perdagangan kaya dan laba besar. Sejumlah penanaman dilayangkan ke hadapan raja, salah satunya untuk pembangunan armada dagang India dan pelayaran tahunan ke Maluku untuk mengumpulkan panen rempah-rempah yang besar.
Portugal memprotes melawan pergerakan tersebut sampai pertanyaan atas klaimnya terhadap Maluku, di bawah pembagian Paus Aleksander, dapat diselesaikan. Lintang pasti dari barat Ternate dari lintang 370 league di luar Kepulauan Verde tidak dikenal. Spanyol berpendapat bahwa ini kurang dari 180 derajat, dan sehingga, di samping penemuan Portugal sebelumnya, masuk pada meeka. Seorang pilot, Medina, contohnya, menjelaskan kepada Charles V bahwa dari meridian 370 league di selatan San Anton (pulau paling barat dari kepulauan Verde) sampai kota Meksiko adalah 59 derajat, dari Meksiko ke Navidad, 9 derajat, dan dari pelabuhan tersebut ke Cebu, 100 derajat, total hanya 168 derajat, meninggalkan margin 12 derajat; sehingga oleh keputusan Paus, Hindia, Maluku, Kalimantan, Gilolo, dan Filipina adalah milik Spanyol. Dewan utusan dan kosmografer ebsar diadakan di Badajoz pada 1524, namun tanpa mencapai kesepakatan. Spanyol mengumumkan resolusinya untuk menduduki Maluku, dan Portugal mengancam mati petualang Spanyol yang ditemukan disana.
Ekspedisi Pertama ke Filipina.—Spanyol bertindak langsung pada keputusannya, dan pada 1525 mengerahkan ekspedisi di bawah naungan Jofre de Loaisa untuk mengumpulkan buah penemuan Magellan. Kapten dari satu kapal adalah Sebastian del Cano, yang merampungkan pelayaran Magellan. Di kapalnya, Andres de Urdaneta berlayar, yang kemudian menajdi frater Augustinian dan mendampingi ekspedisi Legaspi yang akhirnya berdampak pada pemukiman Filipina. Bukan tanpa kerja keras besar dan kehilangan yang dialami armada melintasi Selat Magellan dan memasuki Samudra Pasifik. Di tengah samudra, Loaisa meninggal, dan empat hari kemudian digantikan oleh Sebastian del Cano. Mengikuti rute yang mirip dengan rute Magellan, armada tersebut mula-mula mencapai Kepulauan Ladrone dan kemudian pantai Mindanao. Dari sana, mereka berniat untuk berlayar ke Cebu, namun muson timur laut kuat mengarahkan mereka ke selatan Maluku, dan mereka mendarat di Tidor pada hari terakhir dari tahun 1526.
Kegagalan Penjelajahan.—Portugis berada pada kesempatan bertarung untuk mengurangi raja asli dari kepulauan tersebut untuk penundukan. Mereka dianggap oleh Spanyol sebagai musuh, dan setiap pihak Eropa tak lama memutuskan untuk bertempur dan membuat penduduk asli melawan satu sama lain. Kondisi Spanyol menjadi sangat tertekan, dan menandakan pengorbanan nyawa yang dialami pada penaklukan abad keenam belas. Kapal-kapal mereka menjadi menghadapi badai kala tak lagi mencapai lautan. Dua perwira, yang berhasil mengikuti komando Loaisa dan El Cano, nampaknya gugur. Dari 450 orang yang berlayar dari Spanyol, hanya 120 yang kini selamat. Di bawah kepemimpinan Hernando de la Torre, mereka membangun benteng di pulau Tidor, tak dapat bergerak lebih jauh atau menarik diri, dan menunggu harapan untuk bala bantuan dari Spanyol.
Pemulihan datang, bukan dari Semenanjung, namun dari Meksiko. Di bawah perintah raja Spanyol, pada Oktober, 1527, Cortes menegrahkan ekspedisi kecil dari Meksiko dalam penugasan D. Alvaro de Saavedra. Tersapu cepatu oleh perdagangan khatulistiwa, dalam beberapa bulan, Saavedra mengerahkan Carolines, yang bergerak ke Mindanao, dan menghampiri para penyintas di Tidor. Sebanyak dua kali, mereka berupaya kembali ke Spanyol baru, namun angin perdagangan kuat berhembus tanpa henti ke utara dan selatan pada setiap sisi khatulistiwa untuk jarak lebih dari seribu dua ratus mil, dan lintang utara tenang dan angin barat tak diketahui.
Sebanyak dua kali, Saavedra mengarungi perjalanannya menuju timur di antara pulau-pulau asing Papua dan Melanesia, hanya untuk berakhir bergerak kembali menuju Tidor dan meninggal disana. Para penyintas terpaksa meninggalkan Maluku. Dengan menyerah keapda Portugis, mereka dibantu untuk kembali ke Eropa lewat jalur Malaka, Ceylon, dan Afrika, dan mereka datang ke Lisboa pada 1536, para penyintas penjelajahan Loaisa, yang telah pergi dari Spanyol sepanjang sebelas tahun.
Upaya takhta Spanyol untuk merebut wilayah Kepulauan Rempah-rempah, Sulawesi dan Maluku, dengan barang-barang kacang kenari, kayu manis dan lada, pada waktu itu berakhir. Lewat Perjanjian Zaragoza (1529), Kaisar Charles V menarik seluruh klaim atas Maluku untuk tunjangan tiga ratus lima puluh ribu emas dukat. Selama tiga belas tahun, dalil perjanjian tersebut dihormati oleh Spanyol, dan kemudian upaay lainnya dibuat untuk menjejakkan kaki di Hindia Timur.
Penjelajahan Kedua ke Filipina.—Fakta bahwa bencana tersebut telah melampaui banyak orang, bahwa dua samudra harus dilintasi dan tak ada rute pelayaran dari Asia kembali ke Amerika diketahui, tak membuat Spanyol rujuk dari penaklukan berbahaya mereka. Pada 1542, penjelajahan lain berlayar dari Meksiko, di bawah komando Lopez de Villalobos, untuk menjelajahi Filipina dan jika memungkinkan mencapai Tiongkok.
Di sepanjang Pasifik, mereka membuat pelayaran aman dan menyenangkan. Di perairan hangat Pasifik, mereka belayar di antara atol karang menakjubkan, cincin pesisir dangkal, berhias kelapa, berkelompok di kepulauan indah, yang penampilannya tak pernah gagal untuk memikat navigator, dan komposisinya adalah salahs atu subyek paling penting yang diketahui murid soal struktur dan sejarah bumi. Pada beberapa kepulauan karang, Villalobos memberikan wilayah tersebut dengan nama Spanyol. Nama-nama tersebut mungkin meliputi Kepulauan Pelew atau Carolines.
Pada akhirnya, Villalobos mencapai pantai timur Mindanao, namun setelah beberapa awak meninggal dan sakit, mereka belayar lagi dan dibawa ke selatan oleh muson ke pulau kecil Sarangani, selatan semenanjung selatan Mindanao. Penduduk aslinya garang, namun Spanyol menjauhkan mereka dari kekuatan emreka dan melakukan beberapa pengambilan terhadap wewangian, amber, minyak dan debu emas. Dalam kebutuhan tujuan, mereka menanam jagung India, sereal menakjubkan Amerika, yang ditanam tanpa batas, dan kemudian usai penanaman. Pangan sangat dibutuhkan oleh Spanyol dan sangat sulit untuk didapat.
The Naming of the Islands.—Villalobos equipped a small vessel and sent it northward to try to reach Cebu. This vessel reached the coast of Samar. Villalobos gave to the island the name of Filipina, in honor of the Spanish Infante, or heir apparent, Philip, who was soon to succeed his father Charles V. as King Philip the Second of Spain. Later in his correspondence with the Portuguese Villalobos speaks of the archipelago as Las Filipinas. Although for many years the title of the Islas del Poniente continued in use, Villalobos’ name of Filipinas gradually gained place and has lived.
The End of the Expedition.—While on Sarangani demands were made by the Portuguese, who claimed that Mindanao belonged with the Celebes, that the Spaniards should leave. Driven from Mindanao by lack of food and hostility of the natives, Villalobos was blown southward by storms to Gilolo. Here, after long negotiations, the Portuguese compelled him to surrender. The survivors of the expedition dispersed, some remaining in the Indies, and some eventually reaching Spain; but Villalobos, overwhelmed by discouragement, died on the island of Amboyna. The priest who ministered to him in his last hours was the famous Jesuit missionary to the Indies, Saint Francis Xavier.[119]
Twenty-three years were to elapse after the sailing of Villalobos’ fleet before another Spanish expedition should reach the Philippines. The year 1565 dates the permanent occupation of the archipelago by the Spanish.
Increase in Political Power of the Church.—Under Philip the Second, the champion of ecclesiasticism, the Spanish crown cemented the union of the monarchy with the church and devoted the resources of the empire, not only to colonial acquisition, but to combating the Protestant revolution on the one hand and heathenism on the other. The Spanish king effected so close a union of the church and state in Spain, that from this time on churchmen rose higher and higher in the Spanish councils, and profoundly influenced the policy and fate of the nation. The policy of Philip the Second, however, brought upon Spain the revolt of the Dutch Lowlands and the wars with England, and her struggle with these two nations drained her resources both on land and sea, and occasioned a physical and moral decline. But while Spain was constantly losing power and prestige in Europe, the king was extending his colonial domain, lending royal aid to the ambitious adventurer and to the ardent missionary friar. Spain’s object being to christianize as well as to conquer, the missionary became a very important figure in the history of every colonial enterprise, and these great orders to whom missions were intrusted thus became the central institutions in the history of the Philippines.
The Rise of Monasticism.—Monasticism was introduced into Europe from the East at the very commencement of the Middle Ages. The fundamental idea of the old monasticism was retirement from human society in the belief that the world was bad and could not be bettered, and [120]that men could lead holier lives and better please God by forsaking secular employments and family relations, and devoting all their attention to purifying their characters. The first monastic order in Europe were the Benedictines, organized in the seventh century, whose rule and organization were the pattern for those that followed.
The clergy of the church were divided thus into two groups,—first, the parish priests, or ministers, who lived among the people over whom they exercised the care of souls, and who, because they were of the people themselves and lived their lives in association with the community, were known as the “secular clergy,” and second, the monks, or “regular clergy,” were so called because they lived under the “rule” of their order.
In the early part of the thirteenth century monasticism, which had waned somewhat during the preceding two centuries, received a new impetus and inspiration from the organization of new orders known as brethren or “Friars.” The idea underlying their organization was noble, and above that of the old monasticism; for it was the idea of service, of ministry both to the hearts and bodies of depressed and suffering men.
The Dominicans.—The Order of Dominicans was organized by Saint Dominic, an Italian, about 1215. The primary object of its members was to defend the doctrines of the Church and, by teaching and preaching, destroy the doubts and protests which in the thirteenth century were beginning to disturb the claims of the Catholic Church and the Papacy. The Dominican friars did not live in communities, but traveled about, humbly clad, preaching in the villages and towns, and seeking to expose and punish the heretic. The mediæval universities, through their study of philosophy and the Roman law, [121]were producing a class of men disposed to hold opinions contrary to the teachings of the Church. The Dominicans realized the importance of these great centers of instruction and entered them as teachers and masters, and by the beginning of the fifteenth century had made them strongholds of conservatism and orthodoxy.
The Franciscans.—A few years after this organization, the Order of Franciscans was founded by Saint Francis of Assisi, of Spain. The aims of this order were not only to preach and administer the sacraments, but to nurse the sick, provide for the destitute, and alleviate the dreadful misery which affected whole classes in the Middle Ages. They took vows of absolute poverty, and so humble was the garb prescribed by their rule that they went barefooted from place to place.
The Augustinian Order was founded by Pope Alexander IV., in 1265, and still other orders came later.
The Degeneration of the Orders.—Without doubt the early ministrations of these friars were productive of great good both on the religious and humanitarian sides. But, as the orders became wealthy, the friars lost their spirituality and their lives grew vicious. By the beginning of the sixteenth century the administration of the Church throughout Europe had become so corrupt, the economic burden of the religious orders so great, and religious teaching and belief so material, that the best and noblest minds in all countries were agitating for reform.
The Reformation.—In addition to changes in church administration, many Christians were demanding a greater freedom of religious thinking and radical changes in the Church doctrine which had taken form in the Middle Ages. Thus, while all the best minds in the Church were united in seeking a reformation of character and of administration, [122]great differences arose between them as to the possibility of change in Church doctrines. These differences accordingly separated them into two parties, the Papacy adhering strongly to the doctrine as it was then accepted, while various leaders in the north of Europe, including Martin Luther in Germany, Swingli in Switzerland, and John Calvin in France and Geneva, broke with the authority of the Pope and declared for a liberation of the individual conscience.
Upon the side of the Papacy, the Emperor Charles the Fifth threw the weight of the Spanish monarchy, and to enforce the Papal authority he attacked the German princes by force of arms. The result was a great revolt from the Roman Catholic Church, which spread all over northern Germany, a large portion of Switzerland, the lowlands of the Rhine, and England, and which included a numerous and very influential element among the French people. These countries, with the exception of France, have remained Protestant to the present day; and the great expansion of the English people in America and the East has established Protestantism in all parts of the world.
Effects of the Reformation in the Roman Catholic Church.—The reform movement, which lasted through the century, brought about a great improvement in the Roman Catholic Church. Many, who remained devoted to Roman Catholic orthodoxy, were zealous for administrative reform. A great assembly of Churchmen, the Council of Trent, for years devoted itself to legislation to correct abuses. The Inquisition was revived and put into force against Protestants, especially in the dominions of Spain, and the religious orders were reformed and stimulated to new sacrifices and great undertakings.
But greater, perhaps, than any of these agencies in re-establishing [123]the power of the Pope and reviving the life of the Roman Catholic Church was the organization of a new order, the “Society of Jesus.” The founder was a Spaniard, Ignatius Loyola, The Jesuits devoted themselves especially to education and missionary activity. Their schools soon covered Europe, while their mission stations were to be found in both North and South America, India, the East Indies, China, and Japan.
The Spanish Missionary.—The Roman Catholic Church, having lost a large part of Europe, thus strove to make up the loss by gaining converts in heathen lands. Spain, being the power most rapidly advancing her conquests abroad, was the source of the most tireless missionary effort. From the time of Columbus, every fleet that sailed to gain plunder and lands for the Spanish kingdom carried bands of friars and churchmen to convert to Christianity the heathen peoples whom the sword of the soldier should reduce to obedience.
“The Laws of the Indies” gave special power and prominence to the priest. In these early days of Spain’s colonial empire many priests were men of piety, learning, and unselfish devotion. Their efforts softened somewhat the violence and brutality that often marred the Spanish treatment of the native, and they became the civilizing agents among the peoples whom the Spanish soldiers had conquered.
In Paraguay, California, and the Philippines the power and importance of the Spanish missionary outweighed that of the soldier or governor in the settlement of those countries and the control of the native inhabitants. Churchmen, full of the missionary spirit, pressed upon the king the duties of the crown in advancing the cross, and more than one country was opened to Spanish settlement through the enthusiasm of the priest.
h4nshhb9ds1mjczvlitd72w5ixe5b3q